
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mendesak agar dugaan gratifikasi antara PT Freeport Indonesia (FI) dan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) provinsi Papua serta pemerintah kabupaten Mimika diusut tuntas.
Emanuel Gobay, direktur LBH Papua yang juga kuasa hukum dari 8.300 buruh mogok kerja PT FI, mengungkapkan, berdasarkan hasil audit Inspektorat tertanggal 21 Juni 2021, ditemukan adanya aliran dana dari PT FI ke Disnaker Papua.
“Laporan ini baru kami terima pada tanggal 13 Januari 2025. Setelah kami pelajari, ternyata ditemukan dua dugaan gratifikasi. Pertama, dana Rp29.621.200 yang diberikan PT FI kepada Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UMKM, dan Ketenagakerjaan provinsi Papua untuk kegiatan di Jakarta yang berkaitan dengan nasib 8.300 buruh mogok kerja. Kedua, pemberian fasilitas berupa akomodasi dan transportasi senilai Rp62.452.400 kepada dinas yang sama,” ujar Gobay saat konferensi pers di kota Jayapura, Senin (3/2/2025).
Gobay menduga gratifikasi tersebut berkaitan langsung dengan mogok kerja ribuan buruh PT FI yang berlangsung sejak 1 Mei 2017. Kata Gobay, aksi mogok kerja 8.300 buruh PT FI dipicu oleh kebijakan furlough yang diterapkan manajemen perusahaan raksasa itu sebagai dampak dari sengketa saham antara pemerintah Indonesia dan PT FI.
“Kebijakan furlough ini tidak ada dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Itu adalah kebijakan ketenagakerjaan Amerika Serikat yang diadopsi oleh manajemen Freeport tanpa dasar hukum yang jelas di Indonesia,” tegasnya.
Gobay menyebut para buruh PT FI telah mengikuti prosedur mogok kerja sesuai undang-undang. Antara lain, para buruh mengirimkan surat pemberitahuan ke Disnaker kabupaten Mimika dan manajemen PT FI tujuh hari sebelum aksi mogok dimulai. Tetapi surat mereka diabaikan kedua pihak.
“Karena tidak ada tanggapan, para buruh memutuskan mogok kerja sejak 1 Mei 2017 hingga sekarang. Sesuai regulasi, mogok kerja ini sah. Namun, PT FI tetap melakukan pelanggaran terhadap hak-hak buruh,” ujar Gobay.
Parahnya, imbuh Emanuel, manajemen PT FI tidak menindaklanjuti Nota Satu yang dikeluarkan Dinas Pengawas Ketenagakerjaan, yang seharusnya menjadi dasar penerbitan Nota Dua jika pelanggaran tidak diperbaiki dalam 30 hari.
“Karena Nota Dua tidak dikeluarkan, kami menggugat Disnaker Papua ke PTUN Jayapura. Dalam sidang, yang justru menjadi kuasa hukum Disnaker adalah pihak PT FI, padahal pemerintah memiliki biro hukum sendiri,” ungkapnya.
LBH Papua juga menyinggung Disnaker Papua tidak menjalankan rekomendasi dari Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dapat dikategorikan sebagai tindakan maladministrasi.
“Komisi ASN telah mengeluarkan surat kepada gubernur Papua untuk menegur kepala Dinas Ketenagakerjaan, tetapi tidak ada tindakan. Karena itu, kami membawa kasus ini ke Ombudsman Republik Indonesia,” kata Emanuel.
Sementara itu, Antonius Awom, koordinator karyawan PT Freeport yang mogok, menyoroti kebijakan PT FI yang menganggap mogok kerja mereka tidak sah dan menyatakan buruh telah mengundurkan diri.
“Kata ‘dianggap’ ini menjadi penyebab utama penderitaan kami sejak tahun 2017 hingga sekarang [tahun 2025]. Akibatnya, lebih dari 200 buruh telah meninggal dunia tanpa mendapat haknya,” kata Awom.
Antonius Awom menyatakan, kasus ini harus diangkat agar keadilan bagi buruh mogok kerja dapat ditegakkan.
“Kami tidak hanya mempersoalkan jumlah uang yang diberikan PT FI kepada pejabat terkait, tetapi juga penyalahgunaan kewenangan yang menyebabkan ribuan buruh kehilangan haknya. Kami tuntut, pemberi dan penerima gratifikasi itu harus diproses secara hukum,” tegasnya. []