SORONG, SUARAPAPUA.com— Kebebasan Pers di Papua berada pada urutan paling terendah yakni angka ke-34 dari 34 provinsi di Indonesia dalam lima tahun terakhir dengan nilai indikator 64,1 persen yang artinya agak bebas atau tidak bebas.
Hal itu disampaikan Lucky Ireeuw, Ketua Aliansi Juranlis Independent (AJI) Kota Jayapura, Papua di Podcast Jubi TV pada, Kamis (6/2/2025).
Kata Ireeuw setiap tahun pemerintah Indonesia dalam hal ini dewan pers melakukan penelitian tentang kebebasan pers di seluruh Indonesia, sehingga kebebasan pers yang dilaporkan dari tahun 2019, 2020, 2023 menunjukan kebebasan pers di Papua tidak bebas dan sangat jelek.
Sedangkan di tahun 2021 peringkat kebebasan pers di Papua berada di peringkat 33 dan tahun 2022 berada di peringkat 30 dari lima provinsi se-Indonesia.
“Pemerintah Indonesia setiap tahun meneliti indeks kebebasaran pers di seluruh Indonesia. Tidak hanya melibatkan wartawan tetapi semua stakeholder. Dari penelitian tersebut, mereka memberikan angka kebebasan pers sebagai akumulasi secara nasional. Provinsi Papua berada di bawah. Mereka memberikan angka dari kebebasan pers sebagai akumulusasi secara nasional, di mana Papua berada di urutan ke-34 dari 34 provinsi dalam lima tahun terakhir,” tukas Ireeuw.
“Tetapi pemerintah tidak rasa aman, sehingga menggunakan kata agak bebas. Jadi kondisi kebebasan pers di Papua sangat jelek. Tahun 2024 kita punya kasus bom di kantor redaksi, Jubi, kita tambah merosot ke bawah. Jadi kondisi jurnalis di Papua sedang tidak baik-baik saja,” jelas Ireeuw.
Oleh sebab itu ia berharap agar semua elemen baik pemerintah, masyarakat maupun aparat harus memahami tugas dan tanggung jawab pers serta kerja-kerja jurnalistik di lapangan. Karena menurutnya bagaimanapun juga, jurnalis dilindungi UU Pers No.40 Tahun 1999.
“Pemerintah, masyarakat dan aparat harus memahami apa pekerjaan jurnalis, karena pekerjaan jurnalis menyampaikan informasi kepada publik sesuai fakta dan data di lapanga. Pekerja jurnalis dilindungi oleh UU Pers dan UU [19]45.”
Oleh sebab itu sekali lagi ia berharap kepada pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat memahami apa itu tugas wartawan. Karena dia tidak bekerja untuk diri sendiri tetapi kerja untuk publik. Maka itu mereka harus melindungi, jaga dia. Supaya dia bisa kerja dengan baik agar informasi bisa terbuka, orang bisa tahu.
Ia juga berharap dengan kondisi keamanan pers di Papua yang sedang tidak baik-baik saja harusnya menjadi suatu informasi yang perlu diketahui oleh semua masyarakat dan stakeholder di seluruh tanah Papua. Sehingga pemerintah dan pihak keamanan wajib menjamin keselamatan bagi seluruh journalis di tanah Papua.
“Kondisi ini harusnya diketahui oleh pemerintah, pihak keamanan dan stakeholder lainya sehingga kita minta aparat dan pemerintah untuk bener-benar melindungi Jurnalist.”
Tetapi kata dia jika pemeritaan yang tidak sesuai keiniginan narasumber, maka narasumber bisa menggunakan hak jawab atau hak koreski yang tertuang di dalam UU Pers untuk meminta koreski pemberitaan.
Selain itu jika pihak narasumber tidak puas dengan pemberitaan, tidak sertamerta melaporkan wartawan bersangkutan ke pihak kepolisian. Melainkan sesuai mekanisme dapat melaporkan ke dewan pers.
“Ada dewaan pers yang menilai apakah kasus ini melanggar UUD pers atau melanggar aturan di luar pers. Sehingga kasus itu masuk ke kepolisian. Apakah kasus tersebut sudah melalui proses hak jawab. Tidak langsung wartawan ditetapkan sebagai tersangka atau wartawan dipanggil dan diperiksa,” tambahnya.
Elisa Sekenyap, Ketua Asosiasi Wartawan Papua, mengatakan kondisi keamanan jurnalis di Papua mengalami kemerosotan.
Sejak 2023 sudah terjadi bom dan pengerusakan kaca mobil Victor Mambor. Wartawan diintimidasi saat melakukan peliputan dan diusir walapun sudah menunjukan ID Card.
Oleh sebab itu semua orang harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan pers, khususnya di tanah Papua.
“Harus menghormati pers, karena kita didirikan berdasarkan UU yang melindungi pers itu,” pungkasnya.