SORONG, SUARAPAPUA.com— Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kaki Abu secara resmi mengajukan surat keberatan ke Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Sorong terkait proses seleksi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Khusus (DPRK) jalur pengangkatan kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Keberatan itu diajukan LBH Kaki Abu pada, Jumat 7 Februari 2025 lantaran ditemukan berbagai kejanggalan dalam tahapan seleksi anggota DPRK jalur pengangkatan yang dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) kabupaten Sorong.
Ambrosius Klagilit, kuasa hukum dari enam calon DPRK yang merasa dirugikan mengatakan LBH Kaki Abu menduga proses seleksi DPRK kabupaten Sorong tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua, serta peraturan internal Pansel DPRK kabupaten Sorong.
“Kami melihat bahwa tahapan seleksi ini tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Ada kekeliruan dalam prosesnya sehingga keputusan yang dihasilkan patut dipertanyakan,” ujarnya.
Pengacara muda asli suku Moi ini juga mengungkapkan adanya dugaan kebocoran informasi terkait nama-nama yang lolos seleksi sebelum pengumuman resmi.
“Kami menerima informasi bahwa daftar nama yang lolos telah tersebar sebelum pengumuman resmi. Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa proses seleksi hanya formalitas dan telah diarahkan untuk menguntungkan pihak tertentu,” tambahnya.
Klois Yable, salah satu calon anggota DPRK yang digugurkan menegaskan bahwa gugatan terhadap hasil seleksi ini akan terus berlanjut hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kami telah mengajukan surat keberatan ini dan akan terus memperjuangkannya melalui jalur hukum,” tegas Klois.
Klois mengatakan Pansel DPRK kabupaten Sorong tidak menjalankan tahapan seleksi sesuai aturan sehingga calon-calon yang memenuhi syarat justru digugurkan tanpa alasan yang jelas.

“Kerja yang tidak sesuai aturan mengakibatkan calon-calon yang memenuhi syarat banyak yang digugurkan,” ujarnya.
Klois menduga adanya kepentingan tertentu dalam proses seleksi yang menyebabkan sebelas calon yang memenuhi syarat tidak lolos.
“Jika ada yang tidak memenuhi syarat, mereka seharusnya digugurkan sejak awal. Namun, proses tetap berjalan hingga tahap akhir dengan keputusan yang tidak transparan,” ungkapnya.
Kezia Asrima, perwakilan perempuan dari Suku Moi Salkma turut menyampaikan kekecewaannya terhadap hasil seleksi.
Menurutnya, keterwakilan perempuan dalam proses seleksi DPRK seharusnya bisa menjadi bahan pertimbangan apalagi mendapatkan rekomendasi adat dari lembaga adat yang terdaftar.
“Saya mewakili perempuan adat dan memiliki rekomendasi resmi, tetapi nama saya tidak masuk. Sementara ada calon lain yang lolos tanpa rekomendasi yang jelas. Kami hanya menginginkan transparansi dan keadilan dalam proses ini,” tegas Kezia.
Keenam calon yang merasa dirugikan ini berharap tidak ada proses pelantikan anggota DPRK jalur pengangkatan sebelum proses hukum berakhir.