Rilis PersPara-Para Bacarita Papua: Mengusut Papua Dalam Kabinet Merah Putih

Para-Para Bacarita Papua: Mengusut Papua Dalam Kabinet Merah Putih

Editor :
Elisa Sekenyap

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Diskusi publik online Para-Para Bacarita Papua bertajuk; “Mengusut Papua dalam Kabinet Merah Putih” sukses diselenggarakan melalui Zoom Meeting. Kegiatan ini merupakan program kelas Studi HAM yang berafiliasi dengan Ikatan Mahasiswa Pegunungan Arfak, BEM STH Manokwari, Amnesty Chapter Universitas Papua, Lalo-Lao Papua, dan KoSaPa.

Diskusi yang berlangsung dari pukul 11.23 WIT hingga 13.54 WIT dihadiri oleh 24 peserta dengan menghadirkan dua narasumber utama. Dr. Filep Wamafma selaku ketua Komite III DPD RI/anggota DPR RI perwakilan Papua Barat.

Dalam diskusi itu Dr. Filep Wamafma menyampaikan pandangannya terkait posisi Papua dari sebelumnya dan saat dalam bingkai pemerintahan Indonesia.

“Kalau kita melihat dari histori kebijakan pemerintah untuk Papua dari jaman presiden Habibie, sudah menucul kebijakan politiknya. Jaman Habibie menerima tim seratus, jaman Gusdur menyelenggarakan Mubes dan kongres rakyat Papua, jaman Megawati pemekaran provinsi Papua Barat, jaman SBY, Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, jaman Jokowi sama juga dibentuklah disebut dengan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua,” kata Wamafma.

Baca Juga:  Sekjen Amnesty International Memantau Situasi HAM dan Maraknya Praktik Otoriter di Indonesia

Ia lalu bertanya tentang jaman Prabowo saat ini, terutama seratus hari kerja ini, “kita sebagai wakil rakyat juga menilai bahwa belum ada yang spektakuler terhadap Papua dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya.”

“Di jaman Prabowo, saya menilai pertama beliau mencoba merangkul dua putra putri terbaik baik. Natalius Pigai sebagai menteri hak asasi manusia, ibu kita [Dr Ribka Haluk] sebagai wakil menteri dalam negeri. Ada juga salah satu menteri yang menyebut dirinya juga Papua. Dalam pemerintahan suda terlihat jabatan politik, sudah diberikan 2 orang asli dan 1 orang berdomisili di Papua.”

Baca Juga:  Keterlibatan DPN Mengindikasi Mengaktifkan Kembali Dwifungsi ABRI

Sementara itu, Dr. Cypri Dale, peneliti dari Universitas Wisconsin Madison USA memberikan perspektif antropologi yang berbeda bahwa perekrutan dan penempatan jabatan termasuk pemimpin daerah adalah komprador-komprador yang menjadi tim sukses pelaksanaan agenda negara.

Dia menilai kabinet Merah Putih akan melanjutkan dan memperparah keadaan Papua dari sebelumnya.

Pandangan ini disampaikan melalui judul materinya “Analisis 100 Hari pertama rezim Prabowo-Gibran di Papua; Kelanjutan pendekatan kolonial dengan potensi daya rusak yang lebih jahat,” tukas Dr Dale.

Beberapa alasan analisis yang dikemukakan pada 100 Hari pertama rezim Prabowo-Gibran kata dia diantarnya  pertama, tidak ada terobosan pada perbaikan pada perbaikan layanan dasar seperti di bidang pendidikan dan kesehatan untuk OAP. Lebih banyak aparat keamanan dari pada petugas kesehatan dan pendidikan.

Baca Juga:  Aliansi Perempuan dan Rakyat Melawan: Tuntut Keadilan dan Kesetaraan!

Kedua, tidak ada upaya perbaikan atas kesalahan-kesalahan di masa lalu dibidang hak asasi manusia, sipil politik dan ekosop.

Ketiga, rezim izin adalah kelanjutan dari rezim-rezim sebelumnya yang berkarakter colonial. Ini adalah sebuah kelanjutan dengan potensi kejahatan dan daya rusak yang lebih besar.

Alasan menuju kepada lainnya, orang Papua terus dipaksa berhadapan dengan proses-proses genosida dan ecocida.

Para peserta diskusi terlibat aktif, yang membahas isu representasi Papua dalam kabinet serta tantangan pembangunan dan keterlibatan masyarakat asli Papua dalam pengambilan kebijakan nasional.

Melalui diskusi ini, diharapkan tercipta pemahaman yang lebih luas mengenai peran strategis Papua dalam pemerintahan Indonesia serta terciptanya sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat Papua untuk mendorong kebijakan yang inklusif dan berkeadilan.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Tak Malu Jual di Pinggir Jalan, Decon Way Bangga Bersaing dengan...

0
“Kenapa kita malu di negeri sendiri, orang luar biasa datang berdagang, lalu kita tidak bisakah? Saya sendiri tidak merasa malu. Justru merasa senang bisa bersaing dengan orang non Papua. Mereka datang dari jauh bisa jualan di sini, kita anak muda Papua sebagai pemilik negeri juga harus bisa. Awalnya malu, tetapi setelah diviralkan dan ada komentar mendukung banyak jadi saya tambah semangat dan bangga sekali,” tuturnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.