ArtikelBeri 'Kami' Pendidikan Gratis, Bukan Makan Siang Gratis

Beri ‘Kami’ Pendidikan Gratis, Bukan Makan Siang Gratis

Oleh: Made Supriatma*
*) Peneliti di Yusof Ishak Institute Singapura.

Penolakan atas program makan siang gratis datang dari para murid di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, dan Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah.

Di Papua, program MBG ini dijalankan oleh TNI. Itu juga menjadi satu alasan untuk menolak makan siang gratis ini. Ketidakpercayaan (distrust) kepada militer Indonesia demikian tinggi. Jangankan makan siang, ketika riset lapangan, saya mendengar orang tidak mau berobat ke rumah sakit karena takut “disuntik mati.”

Terlepas dari alasan itu, tuntutan murid-murid dari dua kabupaten di Papua ini masuk akal. Pendidikan gratis lebih masuk akal ketimbang makan gratis. Tapi bukankah selama ini pendidikan sudah gratis? Secara teoritik, iya. Namun masih banyak pungutan ini dan itu sehingga sekolah menjadi mahal juga.

Baca Juga:  Penting dan Tidaknya Program MBG, Apakah Bisa Terealisasi Secara Baik di Tanah Papua?

Pemerintahan yang sekarang berkuasa memang sedang menerapkan pengetatan ikat pinggang secara besar-besaran (austerity measures). Mereka butuh penerimaan lebih besar dan penghematan.

Dari sisi penerimaan, PPN 12% memang ditunda. Namun, saya mendengar kalangan bisnis diam-diam tetap menerapkannya karena ketidakpastian aturan. Kalau tidak dipungut, ya kalau nanti beneran dicabut. Kalau nggak? Kita harus bayar plus dendanya. Itu yang dikatakan kepada saya.

Di sisi lain, pengeluaran dihemat. Dalam hal ini, subsidi dipotong. Beras bansos tidak akan dibagikan lagi. Gas elpiji 3 kg (gas melon) diperketat subsidinya. Alasannya, banyak orang kaya memanfaatkannya.

Baca Juga:  Dari Aneka Obrolan Melahirkan Alternatif Aksi Perlawanan Bangsa Papua Perdana di Jakarta

Berita buruk untuk pegawai negeri. Gaji ke 13 tidak akan diberikan. THR pun tidak dibayar penuh. Untuk para dosen, tukin juga tidak akan diberikan. Dan, kementrian-kementrian dituntut melakukan penghematan. Sementara jumlah kementriannya bertambah dan menjadi gendut sehingga pengeluarannya membengkak.

Namun, ditengah-tengah austerity measures ini ada yang mendapat tambahan. Itu adalah militer.

Kasad sudah mengumumkan bahwa pada tahun ini akan ada 5 Kodam baru dibentuk. Jika ada 5 Kodam baru, setiap Kodam punya paling tidak 2 Korem; setiap Korem membawahi paling tidak 10 Kodim; setiap Kodim paling tidak membawahi 12 Koramil. Nah, hitung sendiri dan, ini pengeluaran yang abadi (perennial) karena prajurit dan keluarganya harus dikasih makan dan ditanggung kesejahteraannya hingga dia pensiun.

Baca Juga:  Semua Milik Kita Sedang Mereka Kuasai, Mari Rebut Kembali!

Mengapa harus menambah jumlah tentara ketika rakyat banyak justru harus mengetatkan ikat pinggang? Ini adalah soal kebijakan.

Sebagai warga, saya kira, Anda sekalian boleh menilai apakah ini kebijakan yang tepat? Apakah kita memerlukan ini? Mana yang harus diprioritaskan? Makan siang atau pendidikan gratis? Subsidi untuk rakyat atau memperbesar jumlah militer untuk pertahanan negara? Kalau untuk pertahanan, apakah kita memiliki ancaman yang serius?

Sumber:
Link untuk demo murid sekolah di Yahukimo dan Intan Jaya:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cy7gj17p0vgo

Link untuk penambahan Kodam:
https://www.tempo.co/…/ksad-akan-tambah-5-kodam-baru…

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ketika Lumbung Kebudayaan dan Hutan Hujan Tropis Dunia Terancam Serius di...

0
Papua memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang luar biasa kini berada di bawah ancaman serius akibat deforestasi, perubahan iklim, serta eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Masyarakat Papua yang sangat bergantung pada alam dan hutan untuk kelangsungan hidup mereka kini menghadapi ancaman langsung terhadap ekosistem yang menopang kehidupan mereka. Keberlangsungan budaya masyarakat Papua sangat terkait dengan kelestarian alam sekitar mereka. Tanpa adanya ekosistem yang mendukung, warisan budaya mereka pun akan terancam hilang.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.