Sebanyak 31 foto karya 16 orang peserta program Photovoices ditampilkan dalam kegiatan pameran foto bertema “Suara Kampung Imsar”, Kamis (13/2/2025) di Sentani, kabupaten Jayapura, Papua. (Dok. Suara Grina)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Memilih enam isu utama yang dialaminya selama ini, 16 anak muda dari kampung Imsar, distrik Nimboran, kabupaten Jayapura, Papua, menceritakan berbagai keresahan masyarakat melalui photovoice. Hasil foto karya mereka dipamerkan di Sentani, Kamis (13/2/2025). Sedikitnya 31 foto karya peserta Program Photovoices Kampung Imsar ditampilkan dalam kegiatan pameran foto bertema “Suara Kampung Imsar”.

Foto-foto tersebut menceritakan realitas kehidupan mereka dalam enam isu utama, yakni pendidikan, kesehatan, pertanian dan perkebunan, kepemudaan, budaya, dan pariwisata. Diceritakan melalui foto dengan harapan agar pengambil kebijakan tahu kenyataan di lapangan sekaligus bertindak demi perubahan di kampung mereka.

Pameran dan diskusi foto tersebut diselenggarakan atas hasil kolaborasi antara Photovoices International (PVI), Organisasi Perempuan Adat (ORPA) Suku Namblong, dan Suara Grina (Grime Nawa), serta mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten Jayapura.

Fadillah Aksamina Hamong, salah satu anak muda kampung Imsar, mengatakan, melalui program Photovoices mereka menyuarakan setiap aspirasi dan realita agar ditindaklanjuti pihak terkait demi kebaikan bagi masyarakat kampung Imsar.

“Program Photovoices dipilih karena dianggap tepat untuk menyuarakan. Selama ini mungkin pemerintah belum melihat secara baik, sehingga dengan foto-foto ini mau menampilkan realita sekaligus membantu melanjutkan aspirasi, keresahan dan kerinduan masyarakat kampung Imsar,” jelasnya.

ads

Hamong menyebut banyak dari cerita yang terekam dalam foto-foto itu belum terungkap selama ini. Misalnya potensi kearifan lokal yang belum terekspos, termasuk proses pengolahan sagu secara tradisional, juga pembuatan noken yang hampir punah lantaran tak ada penerusnya, dan banyak hal lainnya.

Ini diakui Vebbry Hembring, koordinator Suara Grina.

Kata Vebbry, melalui foto dan narasi, para peserta mencoba mendokumentasikan kekayaan tari tradisional Imsar, proses pengolahan sagu secara tradisional, pembuatan noken yang kini hampir punah, dan banyak hal lain, termasuk pelayanan medis, pendidikan dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Ratusan Warga di Kota Sorong Andalkan WC Terbang, Pemda Belum Seriusi Masalah Sanitasi Buruk

“Dengan dokumentasi foto dan cerita ini, budaya dan tradisi kami tertangkap dengan baik, serta menjadi suatu cara untuk memperkenalkan dan mengingatkan generasi muda. Kami ingin agar tradisi kami dilestarikan, budaya kami tidak sirna, dan generasi muda tetap merasa bangga terhadap bahasa dan budayanya,” jelas Vebbry.

Menurutnya, metode Photovoices masih jarang ditemukan, apalagi di Tanah Papua. Sebenarnya dengan foto dan cerita, masyarakat dapat mengungkap berbagai isu di sekitarnya.

“Jarang kita temukan metode Photovoices dan kegiatan foto yang interaktif seperti ini. Sebenarnya ini sangat tepat dilakukan untuk menyampaikan apapun konteksnya.”

“Dengan foto dan cerita, masyarakat dapat mengungkap berbagai isu di sekeliling mereka, sehingga mereka dapat lebih peka terhadap kondisi lingkungan, mendengarkan serta menggali cerita-cerita yang bisa mengeksplorasi isu dan mencari solusi terbaik untuk menciptakan perubahan bagi masyarakat itu sendiri,” tutur Hembring.

Kegiatan pameran dan diskusi foto program Photovoices bertema “Suara Kampung Imsar”, Kamis (13/2/2025) di Sentani, kabupaten Jayapura, Papua. (Dok. Suara Grina)

Marthen Giay, salah satu peserta pameran Photovoices, misalnya, lebih menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak negatif minuman keras (Miras). Ia memotret satu pemandangan miris, dimana banyak botol Miras berbagai lebel berhamburan di salah satu lokasi.

Sementara, Yulianus Giay, kepala kampung Imsar, berharap, melalui kegiatan ini ada kerjasama yang baik dari semua pihak untuk mengatasi berbagai persoalan sebagaimana terpotret melalui foto.

“Harapannya kami akan bekerja sama dengan berbagai pihak agar ada kegiatan-kegiatan positif di kampung kami. Supaya masa depan pemuda-pemudi kampung Imsar lebih maju dan berkembang,” kata Yulianus.

Ia akui selama ini banyak keluhan masyarakat dan ada niat dari anak-anak muda, hanya saja belum ada dorongan dari pihak terkait untuk mewujudkannya.

“Tim Photovoices membantu anak-anak muda dari kampung Imsar. Mereka ini kami mau bisa membawa perubahan di lembah Grime Nawa, terutama kampung Imsar,” kata Giay berharap.

Baca Juga:  Pendidikan Gratis dan Makan Bergizi Gratis Sama Penting

Data dari PVI, metode Photovoices atau fotografi partisipatif pertama kali dikembangkan oleh Caroline Wang dan Mary Ann Burris pada awal 1990-an. Metode ini melibatkan masyarakat dalam mengidentifikasi dan menyuarakan isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan cara kreatif.

Tri Soekirman, direktur eksekutif PVI, mengemukakan, dari sejak awal kegiatan di lapangan dapat terlaksana karena ada kolaborasi berbagai pihak dengan melibatkan masyarakat setempat.

“Program ini sejak Mei 2024, kami melatih saudara-saudari ini dengan foto bercerita untuk merekam hal-hal yang terjadi di kampung dan hasilnya bisa tersampaikan kepada pembuat kebijakan khusus yang berdampak langsung kepada masyarakat kampung,” tuturnya.

Potret kampung sebagaimana diabadikan 16 peserta Photovoices, harap Soekirman, dapat bermanfaat, setidaknya disikapi dalam proses pembangunan, baik melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) tingkat kampung, distrik sampai kabupaten.

Soekirman berharap hal sama juga dapat diterapkan ketika kegiatan musyawarah adat berlangsung. Metode Photovoices bisa digunakan agar kemudian setiap permasalahan masyarakat di kampung dapat terdokumentasikan melalui foto.

Sejak awal dimulai pada Mei lalu, kata Soekirman, program ini melibatkan peserta dari berbagai latar belakang usia dan profesi. Difasilitasi PVI sebagai sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Bali, mereka kemudian berdiskusi dan menentukan enam isu utama yang diangkat, dan hasilnya sebagaimana foto-foto yang dipamerkan itu.

“Kami berhasil mengumpulkan 16 orang peserta dari kampung Imsar. Setiap anggota difasilitasi kamera, kemudian diajari teknik memotret, dan sebagainya. Hasil dari pelatihan itu mereka mengangkat enam isu tadi itu. Tujuan kami, dengan membentuk komunitas foto ini terjadi dialog kritis antar peserta, pemerintah dan pihak terkait lainnya mengenai isu-isu di dalam kehidupan sehari-hari. Bersyukur hari ini foto-foto mereka bisa dipamerkan di sini,” urai Soekirman.

Baca Juga:  Satu Perusahaan Beroperasi di Kampung Ajuda, Hutan Mulai Dihancurkan

Ia menambahkan, pameran dan diskusi foto menjadi penutup dari program Photovoices Kampung Imsar yang sekaligus menyerahkan rekomendasi kepada pengambil kebijakan di tingkat kabupaten, organisasi dan mitra lainnya.

Salah satu pengunjung menyaksikan foto-foto karya 16 orang peserta program Photovoice Kampung Imsar”, Kamis (13/2/2025) di Sentani, kabupaten Jayapura, Papua. (Dok. Suara Grina)

Penjabat bupati Jayapura Ir. Semuel Siriwa diwakili Asisten 1 bidang Pemerintahan Umum Setda kabupaten Jayapura, Dr. Elphyna Situmorang, menyambut hangat program Photovoices dengan 31 foto karya 16 anak muda dari kampung Imsar.

“Kegiatan ini sangat baik, karena melalui foto-foto ini anak-anak muda kampung Imsar menceritakan kondisi kampungnya melalui enam bidang tadi. Ini luar biasa karena berhasil memotret realita di kampung mereka. Terima kasih banyak atas program Photovoices ini,” ucapnya.

Situmorang akui metode ini baru, dan ini sangat menginspirasi karena telah mendokumentasikan dan turut disampaikan ke publik melalui pameran foto.

“Selama ini kami hanya mendengarkan program yang disampaikan kepada masyarakat, tetapi ini dalam bentuk cerita yang digambarkan melalui foto, dengan melihat masalah-masalah sosial yang sudah ada di kampung mereka.”

Sejumlah aspirasi sebagaimana terkaver dalam foto-foto, seperti bidang kesehatan di kampung Imsar butuh Pustu, kekurangan gizi yang menimpa anak-anak kampung Imsar, termasuk masalah stunting dan sebagainya, juga isu-isu lainnya, akan menjadi perhatian pemerintah daerah melalui setiap organisasi perangkat daerah (OPD).

“Dengan begini kita jadi lebih cepat mengingat dan OPD teknis bisa tindaklanjuti. Akomodir dalam program kerja tahun ini, kalau tidak memungkinkan, harap masuk perencanaan tahun depan,” ujar Elphyna.

Sekira 9 bulan waktu yang dibutuhkan PVI untuk menuntaskan program Photovoices hingga diakhiri dengan pameran dan diskusi foto di salah satu hotel di kota Sentani. []

Artikel sebelumnyaMahasiswa Papua Soroti Maraknya Aksi Begal di Kota dan Kabupaten Sorong
Artikel berikutnyaSolidaritas Pelajar WP Gelar Aksi Penolakan Program MBG di Sejumlah Kota di Tanah Papua