Oleh: Hendrik Rikarsyo Rewapatara*
*)Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikelola oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Program ini merupakan salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto.
Program MBG sendiri diluncurkan pada 6 Januari 2025. Program ini bergulir secara bertahap di sejumlah kota/kabupaten di 26 provinsi di Indonesia.
Anggaran program MBG di APBN 2025 sebesar Rp71 triliun. Anggaran tersebut sepenuhnya dialokasikan di bawah BGN.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menjadi mitra program MBG karena sebagian dari pelaksanaan program berada di sekolah.
Program MBG tersebut bertujuan untuk mendukung tumbuh kembang anak, meningkatkan kualitas pendidikan, memastikan pemenuhan kebutuhan gizi, memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat, dan meningkatkan kualitas gizi anak Indonesia.
Lantas, apakah MBG bisa terealisasi secara baik di tanah Papua dan kenapa terjadi penolakan?
Beberapa waktu lalu, pelajar di tanah Papua yang tergabung dalam Front Solidaritas Pelajar West Papua (SPWP) menggelar aksi demonstrasi menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Demonstrasi itu berlangsung di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua Pegunungan, Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Nabire Provinsi Papua Tegah.
Dalam aksi itu, para pelajar menyuarakan tuntutan agar pemerintah memberikan pendidikan gratis bagi seluruh siswa di tanah Papua, bukan memberikan makanan bergizi.
Namun dalam aksi itu menimbulkan pro kontra – penolakan dan dukungan program MBG tersebut di bumi Cenderawasih.
Oleh karena itu menurut saya, tidak salah siswa-siswi pelajar ini menyatakan sikap penolakan program tersebut.
Kenapa tolak? Karena sebagian wilayah di Papua belum terekspos secara baik tentang pendidikan, serta belum merasakan yang namanya “Pendidikan” yang layak seperti halnya sekolah-sekolah di kota/kabupaten lain di Tanah Papua.
Dengan tolak ukur itulah mereka menolak makanan gratis dan menuntut agar diberlakukannya sekolah gratis.
Tapi perlu dipahami secara baik dan harus mempunyai dasar yang kuat untuk melakukan penolakan. Karena, program Makanan Bergisi gratis (MBG) dan Sekolah gratis adalah dua hal yang berbeda.

Bahkan, tidak segampang itu kita mengratiskan suatu hal tanpa melewati banyak tahapan, pertimbangan dan bentuk satu regulasi yang kuat untuk program gratis itu.
Sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus Papua Nomor 2 Tahun 2021 yang merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Di mana telah tertulis dengan jelas bahwa besaran dana Otsus untuk pendidikan di Papua adalah 30 persen dari total penerimaan dana Otsus daerah.
Dana itu dialokasikan untuk membiayai kegiatan pendidikan di PAUD, SD, SMP, dan perguruan tinggi.
Meski begitu, dana Otsus yang dialokasikan sebanyak 30 persen itu difokuskan untuk kegiatan prioritas diantaranya; membayar tenaga guru honor, pembangunan gedung sekolah, biaya operasional sekolah, beasiswa dan peralatan belajar mengajar.
Oleh sebab itu perlu cermati program MBG ini secara baik, karena program tersebut menggunakan dana APBN. Tidak ada sangkut pautnya dengan dana otonomi khusus. Untuk itu sekali lagi ingin saya ingatkan bahwa perlu melihat sesuatu lebih jelih.
Meski demikian, imbas dari MBG adalah sebagian besar kementerian terkait terkena efisiensi anggaran. Dana dipangkas untuk mensukseskan program unggulan dari Presiden Prabowo, yakni MBG.
Bahkan, efisiensi anggaran ini timbul bukan hanya dalam beberapa hari terakhir, namun dunia pendidikan dihebohkan oleh aksi advokasi dan konsolidasi dari beragam institusi sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana kebijakan efisiensi anggaran pendidikan.
Hal itu dilakukan demi memperjuangkan hak atas pendidikan yang layak, adil, dan terjangkau.
Kekecewaan terhadap pemerintah tercermin dari tagar #DaruratPendidikan yang ramai di media sosial.
Mahasiswa, dosen, hingga masyarakat membanjiri ruang publik digital dan mempertanyakan efisiensi anggaran yang dinilai mengabaikan sektor pendidikan.
Keramaian bermula ketika Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada Rabu 22 Januari 2025.
Instruksi ini mengharuskan lembaga dan kementerian mengidentifikasi rencana efisiensi belanja sesuai besaran yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Pemerintah menetapkan target penghematan anggaran bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (Pemda) hingga mencapai Rp306 triliun.
Inpres tersebut diduga diterapkan untuk menekan beban utang negara yang telah jatuh tempo (sumber: kompas.com).
Sebagai penutup saya ingin menyampaikan,”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah sila ke-5 Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia”.
Sila ini mengandung makna bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan perlakuan yang adil. Maka itu perlu mendapatkan perlakuan yang sama bagi segenap bangsa Indonesia.
Saya juga mengutip pernyataan salah satu pemuda di Sorong, Papua Barat Daya yang viral di media sosial ketika pada masa kampanye Pilpres 2024 yang menyatakan “Jangan anggap kami separatis, kami mencintai Republik ini.”