SORONG, SUARAPAPUA.com — Perubahan penguasaan lahan milik masyarakat dan ekspansi proyek-proyek industri di Sorong, Papua Barat Daya, telah membawa dampak buruk yang signifikan terhadap budaya pangan dan identitas masyarakat adat suku Moi di provinsi Papua Barat Daya.
Sagu merupakan sumber pangan tertua yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, selain pisang dan umbi-umbian. Bagi sebagian besar masyarakat adat di Tanah Papua, sagu terkenal sebagai makanan pokok yang dipertahankan hingga kini. Sagu pun tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan masyarakat Tanah Papua.
Apalagi sagu telah menjadi penanda identitas, batas wilayah, serta berperan krusial dalam ritual dan adat pada suku-suku di dataran rendah yang secara tradisional memanfaatkannya.
Dalam diseminasi hasil penelitian dan diskusi bersama yang diadakan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dengan tema “Metabolisme Sosial Orang Moi Yang Hilang dan Kerja Paksa Masyarakat Adat di Perkebunan Sawit di Tanah Merauke dan Boven Digoel” di aula STFT ‘Fajar Timur’, Abepura, Jayapura, Senin (24/2/2025), terungkap adanya perubahan ini menyebabkan pergeseran pola konsumsi masyarakat adat suku Moi, yang kini semakin bergantung pada makanan dari luar dibandingkan pangan lokal.
Penelitian yang dilakukan Laksmi Adriani Savitri menyoroti budaya pangan, tanah, dan identitas suku Moi di dua kampung, yaitu kampung Sakarum dan kampung Klatomok di kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan kedua kampung ini memiliki cerita yang berbeda dalam menghadapi perubahan lingkungan dan sosial.
Kampung Sakarum, yang dibentuk sejak 2013 sebagai pemekaran dari kampung Klayas, kini terhimpit oleh industri ekstraktif, termasuk tambang migas, perkebunan kelapa sawit, dan tambang batu bara.
Dari total wilayah adat yang dulu tersedia, kini hanya sepertiganya yang masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Akibatnya, masyarakat semakin bergantung pada bahan makanan dari luar.
Sebaliknya, kampung Klatomok masih memiliki kondisi alam yang relatif terjaga, tanpa perombakan hutan besar-besaran. Masyarakat di kampung ini masih bisa mengandalkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
“Sebagian besar tanah orang Moi di Sorong telah dialokasikan untuk berbagai proyek, seperti pertambangan, perkebunan sawit, proyek strategis nasional (PSN), smelter nikel, dan pembangunan waduk. Proses ini sudah berlangsung sejak era kolonial Belanda dan terus berlanjut hingga kini. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat Moi dapat mempertahankan budaya pangannya dalam kondisi seperti ini?” ujar Laksmi.
Menurutnya, perubahan pola makan masyarakat Moi disebabkan sebagian besar masyarakat Moi mulai mengadopsi pola makan yang lebih umum di Indonesia. Tetapi di tengah perubahan itu ada sebagian masyarakat Moi masih berusaha mempertahankan sagu sebagai bahan pangan lokal.
“Di beberapa tempat ada yang sudah tidak lagi konsumsi sagu karena wilayah adat mereka telah diubah menjadi proyek industri. Tetapi di tengah keterbatasan, orang Moi tetap mempertahankan budaya pangan mereka sebisa mungkin,” katanya.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa di kampung Sakarum, banyak warga kehilangan akses terhadap tanah mereka sendiri. Hal ini menciptakan dinamika sosial baru, di mana individu atau keluarga yang tak lagi memiliki tanah harus bergantung pada marga lain yang masih memiliki hak atas lahan.
“Ada fenomena ‘punya marga tapi tak bertanah’. Orang Moi yang kehilangan tanah akhirnya harus bergantung pada marga lain yang masih memiliki hak atas lahan. Ini menyebabkan kontraksi dalam adat di satu sisi ada solidaritas untuk saling membantu, tetapi di sisi lain, kondisi ini juga membuka peluang bagi perusahaan untuk lebih mudah menguasai tanah adat,” jelas Laksmi.

Ayub Paa, pemuda dari suku Moi, menganggap penelitian ini sebagai langkah penting untuk memahami dan mempertahankan budaya asli mereka. Ia menyoroti bagaimana perubahan lingkungan telah mengubah struktur sosial di masyarakat Moi.
“Penelitian ini sangat baik untuk membuka perspektif anak muda agar lebih memahami budaya kami. Pergeseran budaya tidak hanya terjadi dalam pola pangan, tetapi juga dalam kehidupan sosial. Di Sakarum, misalnya, laki-laki pemilik hak wilayah adat bisa saja menindas keluarga lain yang bermarga sama tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, di kampung Klatomok, kehidupan sosial masih lebih harmonis, dengan praktik berburu dan bekerja bersama,” ungkapnya.
Ayub berpendapat, perubahan akibat proyek industri telah memutus hubungan masyarakat Moi dengan hutan dan budaya pangan lokal. Sehingga ia berharap hal ini perlu menjadi perhatian serius agar generasi saat ini tetap memahami dan melestarikan budaya suku Moi mendatang.
“Ini bukan hanya untuk generasi saya, tetapi juga untuk generasi berikutnya. Kita perlu mendiskusikan hasil penelitian ini secara luas di kalangan anak muda Moi agar kita bisa memahami apa yang telah hilang dan bagaimana cara menjaganya,” kata Ayub.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran bagi masyarakat Moi dan pemerintah kabupaten Sorong dalam menghadapi perubahan yang terus terjadi. Dengan pemahaman yang lebih baik, mereka dapat mencari strategi untuk mempertahankan budaya pangan dan identitas mereka di tengah tantangan modernisasi dan ekspansi industri. []