International Women’s Day (Hari Perempuan Internasional)
“Perempuan di Garis Depan dan Membangun Kesadaran Rakyat”
8 Maret: Hari Perempuan Internasional, Hari Perlawanan Kita!
Hari Perempuan Internasional adalah hari yang diperingati setiap 8 Maret sebagai momentum perlawanan perempuan di seluruh dunia melawan penindasan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Kenapa hari ini penting? Dalam sejarahnya, peringatan ini lahir dari perjuangan perempuan buruh di New York pada tahun 1908, ketika 15.000 perempuan turun ke jalan menuntut upah layak, pemangkasan jam kerja, dan hak suara. Gerakan ini terus berkembang hingga pada 1911, IWD pertama kali dirayakan secara internasional di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss oleh lebih dari satu juta orang. Kemudian tahun 1917, minggu terakhir Februari, perempuan Rusia memulai aksi mogok kerja untuk “Roti dan Perdamaian” sebagai respons atas tewasnya lebih dari 2 juta tentara Rusia dalam Perang Dunia Pertama. Ditentang oleh para pemimpin politik, para perempuan terus melakukan aksi mogok hingga empat hari kemudian Tsar dipaksa turun takhta dan Pemerintah sementara memberikan hak pilih kepada perempuan. Tanggal dimulainya aksi mogok perempuan adalah Minggu, 23 Februari pada kalender Julian yang saat itu digunakan di Rusia. Hari ini pada kalender Gregorian yang digunakan di tempat lain adalah 8 Maret. Sejak itu, IWD menjadi simbol perjuangan global untuk hak-hak perempuan.
Namun, apa yang kita rayakan hari ini? Kita tidak hanya merayakan pencapaian perempuan di berbagai bidang tetapi juga menyuarakan tuntutan atas ketidakadilan yang masih terjadi. Di Indonesia, perempuan masih menghadapi upah rendah, kekerasan berbasis gender, diskriminasi di tempat kerja, dan minimnya perlindungan hukum. Bagaimana kita melawan? Dengan turun ke jalan! Dengan aksi kolektif! Dengan menuntut perubahan nyata! IWD bukan sekadar perayaan —ini adalah panggilan untuk bergerak bersama menuju kesetaraan dan keadilan bagi semua perempuan dan rakyat tertindas.
Hari Perempuan Internasional (IWD) 2025 adalah saat yang tepat untuk menyuarakan tuntutan yang mendesak bagi perempuan dan rakyat Indonesia. Di tengah-tengah penurunan kualitas hidup rakyat dan peningkatan kerusakan yang disebabkan Negara, perempuan adalah subjek paling terdampak atas hal tersebut.
Dapat kita lihat kekerasan berbasis gender masih menjadi masalah serius di Indonesia. Apalagi saat ini, keterwakilan perempuan di legislatif masih jauh dari ideal. 30% kuota jabatan publik yang telah diatur dalam undang-undang masih jauh dari kata merepresentasikan perempuan. Faktor kelas, ras, suku, agama, usia, dan pilihan-pilihan politik turut merintangi keterwakilan kaum perempuan dalam urusan publik.
Ketimpangan berbasis gender juga mengakibatkan perempuan rentan mengalami kekerasan seksual baik di ranah publik maupun privat. Dari data menunjukkan bahwa ada 24.441 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi pada 2024, dengan banyak kasus terjadi di ruang-ruang yang seharusnya aman. Di lembaga pendidikan, kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Survei menunjukkan bahwa 46% anak perempuan mengalami kekerasan. WCC Malang mencatat, sekiranya ada 1000 lebih kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan institusi pendidikan tinggi —yang mana dapat diketahui keterlibatan dan peran relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual. Belum merupakan data kekerasan seksual di lingkungan institusi pendidikan yang lebih rendah (SMA, SMP, dan SD).
Dari ketimpangan gender ini juga berakibat pada kehidupan buruh perempuan. Dimana sekitar 2,6 juta Pekerja Rumah Tangga, mayoritas perempuan, tidak memiliki perlindungan hukum. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) telah diperjuangkan selama 20 tahun, tetapi hingga kini belum juga disahkan. Banyak buruh perempuan juga yang bekerja di sektor informal tanpa perlindungan hukum dan upah yang memadai.
Meskipun UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) memberikan hak cuti melahirkan hingga 6 bulan dalam kondisi tertentu, namun banyak perusahaan belum menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan UMR 2025 yang mengalami kenaikan sebesar 6,5%, akan tetapi angka ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Penindasan (Kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi) terhadap perempuan terjadi secara sistematis, baik dari dalam rumah, dunia pendidikan, dunia kerja, ruang publik, hingga dunia maya. Penindasan tersebut dilandasi oleh nilai hetero-patriarki yakni sistem sosial politik yang menempatkan perempuan sebagai manusia kedua atau objek, yang secara langsung menunjukan laki-laki sebagai pemegeng otoritas.
Hal ini bukan dengan sendirinya ada, melainkan hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan kemudian dilanggengkan melalui institusi agama, budaya, dan negara dengan cara-cara militeristik, manipulatif, berulang dan tidak pernah putus. Hal ini disebabkan karena adanya pengelompokan (kelas) dalam kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, gender, ras, suka, agama dan usia.
Bentuk penindasan yang sistematis tersebut tidak hanya dilihat dari tindakan pelaku seperti kekerasan seksual, baik secara verbal maupun non verbal. Namun, dapat juga dilihat dari dalam sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya yang dipraktekkan oleh Sistem Kapitalisme.
Maka dengan ini, kami dari Aliansi Perempuan Dan Rakyat Melawan menuntut:
- Ciptakan ruang aman dan inklusif untuk semua gender
- Sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan pekerja rumah tangga
- Naikkan UMR buruh perempuan
- Berikan cuti haid, hamil, dan melahirkan
- Kuota 50% untuk perempuan di semua jabatan publik
- Usut tuntas tragedi Kanjuruhan
- Berikan keadilan untuk korban perempuan dan anak dalam tragedi Kanjuruhan
- Aborsi aman untuk korban kekerasan seksual
- Menuntut komitmen institusi pendidikan dalam mengusut kasus kekerasan seksual
- Tunaikan hak perempuan dan anak dalam pengungsian dari dampak agraria
- Berikan hak tanah, fasilitas pendidikandan kesehatan bagi masyarakat pengungsian eks Tim-Tim
- Mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah dan bervisi kerakyatan
- Berikan kesehatan gratis yang berkualitas
- Stop perampasan tanah adat dan sahkan UU masyarakat adat
- Hentikan penggusuran terhadap masyarakat Barabaraya, Pakel, Padang Halaban, Jemboran, dan Naghale
- Hentikan keterlibatan lembaga Agama dalam eksploitasi alam
- Sahkan UU perampasan aset bagi para koruptor
- Tolak program Makan Bergizi Gratis di Tanah Papua
- Buka akses jurnalis lokal, nasional dan internasional di West Papua
- Tolak transmigrasi di Tanah Papua
- Tarik militer organik dan non-organik dari Tanah Papua
- Tutup seluruh perusahaan di Tanah Papua
- Tolak daerah otonom baru di Tanah Papua
- Tolak Makan Bergizi Gratis sebagai program prioritas dan berikan lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat
- Tolak dan hentikan PSN (Proyek Strategis Nasional)
- Tarik militer dari ranah-ranah sipil
- Tolak revisi UU TNI
- Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua
Sekian tuntutan kami.
Malang, 8 Maret 2025