
SORONG, SUARAPAPUA.com — Persatuan pelaku usaha wisata di kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, menolak tegas investasi pertambangan dengan cara memasang baliho di sejumlah titik sentral di kabupaten Raja Ampat, Selasa (11/3/2025) malam.
Aksi penolakan dilakukan sejumlah organisasi pelaku usaha wisata, antara lain Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat, Asosiasi Pramuwisata Indonesia, Profesional Associaton of Drivers Raja Ampat, dan Asosiasi Speetboat Raja Ampat, dan Asosiasi Homestay Raja Ampat.
Pemasangan baliho penolakan pertambangan dilakukan di beberapa titik sentral, salah satunya di pelabuhan Waisai. Dalam baliho yang dipasang tertulis: “Menolak keras aktivitas tambang di Raja Ampat, karena akan merusak pariwisata Raja Ampat dan akan meninggalkan air mata bagi anak cucu kita”.
Chris Sauyai, ketua Asosiasi Homestay Raja Ampat, saat dihubungi Suara Papua, menjelaskan, tujuan pemasangan baliho tersebut adalah untuk menyikapi ekspansi pertambangan yang saat ini sedang gencar dilakukan dan berpotensi mengancam kehidupan masyarakat di kabupaten Raja Ampat.
Sauyai menegaskan, masyarakat kabupaten Raja Ampat pada umumnya terutama para pelaku usaha wisata tidak mengharapkan kehadiran tambang, karena justru tambang menjadi ancaman serius bagi masyarakat setempat.
“Kami tidak makan dari tambang. Selama ini kami hidup dari hasil laut dan hutan. Kami tegas menolak tambang,” ujarnya melalui telepon seluler.
Kehadiran tambang menurut Sauyai ancaman serius bagi pelaku usaha wisata di kabupaten Raja Ampat. Karena itu, ia minta pemerintah kabupaten Raja Ampat dan pemerintah provinsi Papua Barat Daya segera mencabut izin perusahaan pertambangan di kabupaten yang dijuluki “surga bawah laut” itu.
“Ini mata pencaharian kami orang Raja Ampat. Wisata adalah sumber kehidupan masyarakat. Kami tidak makan dari hasil tambang. Pemkab Raja Ampat dan Pemprov Papua Barat Daya segera cabut izin pertambangan itu,” tegasnya.
Sauyai mengatakan, Persatuan Pelaku Usaha Wisata telah mengirim surat penolakan kepada DPRK Raja Ampat yang pada intinya meminta pihak legislatif melanjutkan ke provinsi Papua Barat Daya dan kementrian terkait.
Selain itu, Persatuan Pelaku Usaha Wisata juga sedang mengkonsolidasi seluruh pelaku usaha wisata dan masyarakat Raja Ampat untuk melakukan aksi penolakan secara besar-besaran.
“Ini ancaman serius untuk kami di Raja Ampat. Kami melakukan aksi penolakan sesuai prosedur yang berlaku. Kami sudah menyurati DPRK, selanjutnya kami tunggu hasil. Jika aspirasi kami tidak ditanggapi, maka kami siap bikin aksi yang lebih besar dengan jumlah massa banyak,” tandas Chris.
Sementara, Melki Rumbewas, sekretaris Asosiasi Homestay Raja Ampat, mengatakan, masyarakat di kabupaten Raja Ampat sangat bergantung pada jasa pariwisata. Kehadiran tambang sangat mengancam usaha wisata milik masyarakat Raja Ampat. Tidak hanya itu, dampaknya juga mengancam terumbu karang di sana.
“Selain usaha wisata milik masyarakat, aktivitas tambang akan berdampak pada hutan, terumbu karang dan segala makhluk hidup di dasar laut. Itu pasti terkena dampaknya,” kata Melki. []