Buku Terbaru Karya Nyamuk Karunggu Disita dan Terancam Diberedel

0
739

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Buku berjudul “Dalam Medan Juang Aku Mengkhianati Dengan Cinta Palsu” karya Nyamuk Karunggu dilarang beredar. Pemerintah melalui Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) di Jakarta melarang buku terbaru itu disebarluaskan ke publik.

Belum diketahui apa alasan hingga buku itu dicekal pemerintah. Tetapi, konon kabarnya buku-buku yang akan dikirim ke Papua disita oknum tertentu untuk tidak dikirim.

Dugaan sementara, setidaknya ada dua aspek. Pertama, isi buku dituding sebarkan ideologi separatisme, meski kesimpulan itu setelah sudah dicerna keseluruhan isi pembahasan atau hanya sebatas dugaan semata. Kedua, sampul buku bercorak warna bendera Bintang Kejora.

Buku terbaru yang akan dikirim ke Papua telah disita oknum tak bertanggungjawab diketahui si penulis meski tak paham dengan tindakan tersebut. Ia mengaku diinformasikan rekannya di Australia, bahwa buku tersebut dilarang pemerintah melalui Perpusnas RI di Jakarta.

“Saya barusan mendapat informasi dari kawan Max di Australia dengan mengirim video bahwa Perpusnas RI menahan dan mencoba melarang penyebaran buku saya yang berjudul “Dalam Medan Juang Aku Mengkhianati Dengan Cinta Palsu”. Bukan hanya menahan buku, melainkan dalam proses pengiriman buku dari Yogyakarta ke Papua ditahan oleh oknum-oknum buta huruf,” kata Nyamuk Karunggu, Kamis (13/3/2025).

ads

Menanggapi larangan itu, ia lantas bertanya-tanya, apa salahnya dari buku karyanya itu hingga pemerintah harus melarang beredar?.

“Beberapa pertanyaan saya untuk Perpusnas RI. Apakah buku bisa membunuh dan menembak orang? Kenapa harus takut dengan buku karya anak bangsa? Bukankah buku-buku terbaru akan membantu Perpusnas RI dan memberikan ilmu pengetahuan baru kepada NKRI? Mengapa buku bisa ditahan oleh Perpusnas RI? Saya minta ini harus ada klarifikasi terbuka,” ujarnya.

Baca Juga:  Diskriminasi Terhadap Mahasiswa Papua Tumbuh Subur di Universitas Mataram

Nyamuk Karunggu kemudian mempersoalkan alasan pencobaan pelarangan penyebaran buku karyanya.

“Karya tulis dalam bentuk buku saja penghuni NKRI takut, panik dan gelisah. Kalau begini, kapan kalian mau selesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan sekarang yang telah membusuk dan menjadi nanah dalam tubuh NKRI? Saran saya anak kampung kepada kalian penguasa Indonesia, bahwa seharusnya kalian membaca dan memahami karya tulis anak-anak negeri bangsa West Papua agar kalian paham keinginan dan kemauan rakyat Papua dengan seutuhnya,” tutur Karunggu.

Mahasiswa Papua asal Ndugama yang sempat bikin geger di kampus Universitas Mataram (Unram) dengan beberapa aksi spontanitas itu berharap sebuah karya ilmiah tak perlu dilarang, apalagi oleh negara melalui kaki tangannya.

“Karena persoalan pelanggaran HAM berat sudah menjadi seperti luka yang membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia yang sedang disembunyikan dengan pemaksaan Otsus jilid dua dan DOB boneka dan topeng, stigma, label separatis, KKB, makar, OPM dan teroris,” tegasnya.

Dalam beberapa bagian isi buku itu menyinggung banyaknya luka membusuk dan luka bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia yakni adanya terjadinya pelanggaran HAM berat di Tanah Papua. Antara lain Biak berdarah 6 Juli 1998, Abepura (Abe) berdarah 7 Desember 2000, Wasior berdarah 13 Juni 2001, kasus Dortheys Hiyo Eluay dan Aristoteles Masoka 10 November 2001, Wamena berdarah 4 April 2003, kasus penembakan Musa (Mako) Tabuni 14 Juni 2012, Paniai berdarah 8 Desember 2014, dan kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani 19 November 2020.

Baca Juga:  Mahasiswa Puncak Papua Tolak Pemekaran Tiga DOB yang Sarat Kepentingan 

Penulis buku mempertanyakan, “Bagaimana dan sejauhmana penguasa Indonesia bertanggungjawab untuk pengembalian 60.000 orang asli Papua ke kampung halaman mereka yang sampai saat ini masih ada di daerah-daerah pengungsian akibat operasi militer besar-besaran di Nduga, Intan Jaya, Maybrat, Puncak, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang?.”

Pemerintah Indonesia menurut Karunggu, perlu merenungkan dan mengevaluasi pernyataan dari Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dan Pastor Frans Lieshout yang merupakan fakta, realitas, kenyataan, bukti tentang apa yang dilakukan penguasa Indonesia terhadap rakyat Papua.

Karunggu menyebut Papua adalah negeri dengan sejarah konflik terlama dan terpanjang di dunia, terutama di kawasan Asia Pasifik.

“Oleh karena fakta sejarah berdarah-darah, saya menulisnya, mengabadikan dengan dengan pulpen tulang belulang, tintanya air mata, darah dan penderitaan bangsaku, orang asli Papua di atas tanah leluhur kami West Papua,” ujarnya.

Lanjut ditulis dalam surat terbuka, “Seluruh penderitaan orang asli Papua sejak tahun 1960-an, 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963 sampai sekarang yang ditulis dengan tinta akan terhapus, tetapi saya menulis penderitaan bangsaku ini semua dengan pulpen tulang belulang, tinta air mata dan darah di atas tanah ini dengan keterbatasan kapasitas saya, kemampuan saya, dan saya adalah anak kampung tidak cerdas seperti bapak-bapak sekalian di Jakarta. Tetapi saya menulis tentang penderitaan bangsaku dengan kemampuan yang seadanya untuk dikenang oleh dua bangsa, yaitu bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat.”

Nyamuk Karunggu mencermati politik pecah belah kepada orang asli Papua diwujudkan dengan kebijakan paksa Otsus jilid dua dan pemekaran banyak provinsi yang dinilainya sebagai bukti miskin kajian akademik, miskin pertimbangan administrasi, miskin dukungan rakyat dan hanya bermuatan kepentingan politik dan keamanan menjadi landasan keputusan politik sepihak.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua Soroti Maraknya Aksi Begal di Kota dan Kabupaten Sorong

“Kami tahu, mengerti dan sadar bahwa pemaksaan Otsus jilid dua dan pemekaran DOB itu mencerminkan bahwa  penguasa Indonesia benar-benar berwatak rasialisme, fasisme, kolonialisme, militerisme, kapitalisme, dan penuh ketidakadilan. Pemaksaan Otsus jilid dua dan DOB boneka itu mesin penghancur dan pembunuh serta pemusnah orang asli Papua yang dikemas dalam slogan pembangunan dan kesejahteraan. Padahal faktanya kebijakan politik sepihak itu untuk pendudukan, remiliterisasi dan retransmigrasi di tanah jajahan Papua Barat,” bebernya.

Tiga pernyataan ditulis Nyamuk Karunggu dalam surat terbuka tertanggal 12 Maret 2025.

Pertama: Saya minta kepada pimpinan Perpusnas RI segera klarifikasi atas penahanan buku karya saya yang dilindungi dan dijamin Undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta.

“Saya mendesak Kapolri tangkap akun Tiktok @Lambe yang telah mencemarkan nama baik saya dengan tuduhan penyebaran ideologi separatisme hingga viralkan foto-foto saya di akun tiktok. Ini akunnya: https://vt.tiktok.com/ZSMs6mhcA/. Saya minta kepada Perpusnas RI segera mengembalikan buku-buku yang telah disita atau ditahan saat proses pengiriman ke Papua.”

Kedua: Akhir dari surat ini, saya mau sampaikan dari perspektif atau dimensi kemanusiaan, bahwa darah, air mata, tulang belulang dan penderitaan orang-orang asli Papua selamanya mengejar penguasa Indonesia dan anak cucu. Hari ini mereka berpikir hebat dan menang, tetapi siapa menanamkan kejahatan pasti akan memetik hasil kejahatan juga. []

Artikel sebelumnyaSertijab Kepala Dinsos Kabupaten Deiyai, Begini Kesan Kepala Dinas Lama dan Baru
Artikel berikutnyaWabup Lanny Jaya Temui Lenis Kogoya Saat Sosialisasi Program MBG