
Oleh: John NR Gobai*
*) Tokoh masyarakat adat Papua Tengah
Hari ini pemerintah Indonesia bangga karena presiden Prabowo Subianto telah meresmikan produksi Smelter Emas milik PT Freeport Indonesia (FI) di Gresik, Jawa Timur, Senin (17/3/2025). Ini adalah smelter kedua setelah pada tahun 1996 PT FI membangun smelter peleburan tembaga pertama di Indonesia, yang kini dikenal dengan nama PT Smelting Gresik.
Peresmian smelter atau pabrik pemurnian logam mulia milik PT FI ini merupakan pabrik pemurnian terbesar di dunia. Dari smelter inilah akan memurnikan bahan baku konsentrat menjadi logam mulia, emas, perak, hingga produk lainnya.
Namun di sisi lain, masyarakat Mimika di pesisir sedang menderita karena tailing Freeport. Ini dua fakta yang kontradiktif yang harus dicari solusi.
Smelter Freeport
Presiden Prabowo Subianto kepada wartawan usai acara peresmian, mengaku bangga dan bersyukur bahwa Indonesia akhirnya telah memiliki pabrik yang memproses logam-logam murni. Menurut presiden, Indonesia tidak lagi mau menjual sumber alam dari Indonesia sebagai bahan baku dengan harga murah, tetapi akan dikelola di Indonesia supaya memiliki nilai tambah bagi kekayaan negara untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Bahlil Lahadalia mengemukakan bahwa Smelter Gresik ini akan memproduksi 3 juta konsentrat menjadi 50 ton emas setiap tahunnya.
Sedangkan presiden direktur PT FI Tony Wenas usai acara peresmian kepada wartawan juga menegaskan bahwa Smelter Gresik akan memproduksi emas sebanyak 32 ton di tahun 2025, dan nanti mulai tahun depan baru dapat memproduksi emas sebanyak 50 ton (Baca, https://salampapua.com/2025/03/tuan-tanah-papua-terlupakan-pada-peresmian-produksi-smelter-freeport.html).

Tailing Freeport
Berdasarkan riset Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh (Lepemawi) pada 2017 lalu, terdapat 6 sungai hilang. Hilangnya sungai tidak hanya karena tertimbun oleh endapan tailing. Beberapa sungai yang direklamasi dan ditutup adalah sungai Yamaima, sungai Ajikwa/Wanagong, sungai Kopi, dan sungai Nipah. Sungai-sungai ini sudah tidak bisa lagi dijadikan jalur transportasi warga, tempat berburu, serta sumber pangan lokal. Ini yang menyebabkan masyarakat harus berhadapan dengan ombak laut yang berbahaya.
Masih di sekitaran tanggul PT Freeport Indonesia, ada fenomena jutaan ikan mati mendadak di area tanggul timur, pusat pembuangan limbah tailing Freeport.
Menurut laporan pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), karena sungai yang ditutup membuat ikan tidak dapat bermigrasi mencari air tawar. Tetapi, PT Freeport berdalih bahwa fenomena matinya ikan-ikan di area tanggul timur adalah fenomena alam.
Tailing PT Freeport yang dibuang serampangan ini mempengaruhi kesehatan warga, terutama di wilayah pembuangan limbah.
Amatus, salah satu warga masyarakat adat yang terdampak, berkata, “Anak-anak perempuan di kampung Pasir Hitam mempunyai penyakit akut yakni sakit kepala yang datang tiba-tiba, terus penyakit kulit, sesak nafas, kaki dan tangan kram, serta hilangnya nafsu makan.”
Air karena sudah tidak lagi bersih, menurut warga setempat, mereka sering konsumsi air hujan saja. Atau kadang mereka harus ke kota bermil-mil jauhnya.
Jalur transportasi masyarakat juga terganggu karena tailing Freeport yang telah mendangkalkan sungai dan laut. Akibatnya banyak masalah yang timbul, seperti perahu kandas, masyarakat harus mendorong perahu hingga 5-6 jam lamanya.

Fakta ini yang kemudian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI menyetujui adanya kapal perintis Sabuk Nusantara (Sanus) 114 melayari Pomako-Jita-Agats-Keppi-Merauke. Namun kini tidak melayani lagi karena masih ada area pendangkalan. Hal ini sama seperti yang terjadi di Kokonao beberapa tahun silam.
Penutup
Dua hal diatas adalah dua fakta yang sangat kontradiktif yang harus dapat disikapi.
Perjuangan Lepemawil Timika untuk memperjuangkan nasib masyarakat adat terdampak tailing di Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga, haruslah menjadi perhatian serius. Sama seperti hari ini smelter dibangun di Gresik, manfaat ekonomi tentu dirasakan masyarakat di Jawa Timur, sementara masyarakat di Mimika tetap akan hidup dengan tailing.
Dengan kalimat sederhana: “enaknya di tempat lain, yang menderita tetap masyarakat di Mimika”.
Akhirnya, saya ingin menyarankan kepada pemerintah dan PT FI agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat di tiga distrik terdampak, yakni distrik Mimika Timur Jauh, Agimuga, dan Jita, kabupaten Mimika, Papua Tengah.
Kebutuhan masyarakat di tiga distrik terdampak itu, antara lain sarana air bersih, rumah singgah bagi warga terdampak, dan kapal hovercraft (kapal yang bisa layari di daerah dangkal).
Selain itu, PT Freeport Indonesia tidak lagi menggunakan batu kapur, pengerukan alur kapal perintis di depan pulau Tiga, dan perbaikan pola pembuangan tailing. (*)