JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Kantor Wilayah Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Tanah Papua bersama Foker dan mitra CSO maupun pemerintah daerah mendorong pengakuan wilayah adat di tanah Papua.
Kasmita Widodo, Kepala BRWA mengatakan, hingga saat ini, BRWA telah meregistrasi 291 wilayah adat di tanah Papua dengan luas mencapai 13,8 juta hektar yang tersebar di 5 provinsi dan 20 kabupaten kota.
Namun kata Widodo, dari total tersebut pemerintah daerah baru menetapkan 30 wilayah adat dengan luas 1.041.183 juta hektar.
Katanya, capaian ini menunjukkan bahwa pengakuan oleh pemerintah daerah masih sangat rendah, hanya sekitar 8 persen dari total wilayah adat yang telah teregistrasi di BRWA.
Dikatakan hal ini terjadi karena kompleksitas penyelenggaraan yang bersyarat dan berliku serta minimnya alokasi dana untuk pengakuan wilayah adat menjadi faktor utama lambannya proses pengakuan tersebut.
Tanpa adanya komitmen nyata dari pemerintah, masyarakat adat terus menghadapi ketidakpastian hukum atas wilayah yang mereka kelola secara turun-temurun.
“Lambat dan sedikitnya pengakuan wilayah adat berimplikasi pada meningkatnya potensi konflik tenurial di wilayah adat. Selain itu, deretan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan perijinan berusaha berbasis lahan yang mengubah bentang alam berpotensi mengancam keanekaragaman hayati, sumber pangan lokal, dan kebudayaan masyarakat adat yang memiliki hubungan erat dengan ruang hidupnya di darat, pesisir dan laut,” ungkap Kasmita Widodo, Kepala BRWA.
BRWA adalah salah satu lembaga yang dibentuk pada 2010 oleh beberapa organisasi masyarakat sipil, sementara di Papua BRWA bekerja sama dengan sejumlah pihak, seperti Forum LSM dan CSO lainnya.
Selain itu pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah, penetapan hutan adat juga masih jauh dari harapan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK-35) telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara, melainkan bagian dari hak masyarakat adat.
Namun hingga saat ini, Kementerian Kehutanan baru menetapkan 156 wilayah adat dengan luas 322.505 hektar sebagai hutan adat.

“Tanah Papua belum mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yakni 39.912 atau sekitar 0,32 persen. Padahal berdasarkan data BRWA, potensi hutan adat yang dapat ditetapkan mencapai 12,4 juta hektar.”
Katanya kesenjangan ini mencerminkan masih besarnya pekerjaan rumah pemerintah dalam menjalankan mandat MK-35.
Maka diperlukan langkah strategis yang lebih konkret dan keberpihakan politik yang lebih kuat untuk mempercepat pengakuan dan perlindungan hutan adat.
Zoel Hasbullah, Kepala Kantor Wilayah BRWA Tanah Papua mengatakan, momentum ini menjadi pengingat bahwa perjuangan masyarakat adat dalam memperoleh pengakuan atas wilayahnya masih panjang.
Pengakuan ini bukan sekadar angka dalam laporan, tetapi soal keadilan, perlindungan hak, dan keberlanjutan ekosistem yang telah mereka jaga selama berabad-abad.
Oleh sebab itu kata Hasbullah, pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih nyata dan sistematis untuk mempercepat pengakuan wilayah adat dan hutan adat. Ini mencakup perancangan kebijakan yang lebih progresif, memperkuat implementasi MK-35, serta memberikan dukungan anggaran dan mekanisme yang lebih jelas bagi pemerintah daerah agar proses pengakuan dapat berjalan lebih efektif dan cepat.
“Kaitannya dengan percepatan Pengakuan Wilayah Adat se-Tanah Papua, setidaknya terdapat 12 Perda di tingkat Kabupaten/Kota, dan yang lainnya masih dalam proses,” tukas Hesbullah.
Tak kalah penting katanya yakni pengesahan RUU Masyarakat Adat harus menjadi prioritas agar masyarakat adat mendapatkan perlindungan hukum yang kuat dan tidak lagi terpinggirkan oleh kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka.
Dengan komitmen bersama dari berbagai pihak, pengakuan wilayah adat di Indonesia dapat menjadi kenyataan yang membawa manfaat bagi masyarakat adat, lingkungan, dan masa depan bangsa ini.