Oleh: Titus Pekei*
*) Penggagas Noken ke UNESCO, Peneliti dan Akademisi
Pemerintah pusat, dari presiden ke presiden, hingga kini masih terlihat menggunakan kacamata gelap dalam memandang Papua. Sebagai akibatnya, segala masalah yang terjadi di wilayah ini terus dibiarkan tanpa penyelesaian yang memadai.
Pendekatan yang diambil cenderung bersifat otoriter, dengan pemikiran yang lebih berorientasi pada kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek, daripada mempertimbangkan keberlanjutan dan kesejahteraan jangka panjang masyarakat serta pelestarian budaya lokal.
Papua, yang dikenal sebagai pulau lumbung kebudayaan, merupakan rumah bagi berbagai warisan budaya yang sangat kaya. Salah satunya adalah noken. Sebagai simbol budaya yang sangat penting, noken bukan hanya sekadar alat untuk membawa barang, tetapi juga menyimpan nilai-nilai sosial, budaya, dan filosofi mendalam yang mencerminkan hubungan masyarakat Papua dengan alam dan lingkungan sekitar mereka.
Namun, keberadaan noken dan kekayaan budaya lainnya kini terancam oleh proyek-proyek pembangunan nasional yang seringkali diimplementasikan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial terhadap masyarakat adat di Tanah Papua.
Perubahan iklim, deforestasi yang masif, serta eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat lokal. Ketergantungan mereka pada hutan dan alam sekitar, yang selama ini menjadi sumber kehidupan sekaligus pelestari tradisi dan budaya, semakin terancam. Dampaknya tidak hanya terhadap ekosistem yang menjadi habitat bagi berbagai flora dan fauna, tetapi juga ancaman terhadap eksistensi budaya itu sendiri, yang sangat bergantung pada kelestarian lingkungan alam Papua.
Pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan tidak mempertimbangkan keberlanjutan telah menempatkan masyarakat Papua dalam dilema besar. Warisan budaya seperti noken yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan mereka kini terancam punah jika ekosistem yang menopang hidup mereka dihancurkan tanpa pertimbangan matang. Selain itu, hilangnya hutan dan sumber daya alam yang menjadi bagian integral dari kebudayaan Papua akan berdampak langsung pada hilangnya kearifan lokal yang menjadi landasan hidup masyarakat.
Pemerintah Indonesia, bersama dengan konglomerat pengusaha yang berperan dalam proyek-proyek pembangunan, harus mengambil tanggung jawab besar dalam menjalankan proyek-proyek yang tidak hanya mengutamakan aspek ekonomi, tetapi juga memprioritaskan keberlanjutan lingkungan dan keberlanjutan budaya.
Pembangunan yang ramah lingkungan, berbasis pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sangat dibutuhkan agar generasi mendatang masih bisa mewarisi budaya yang kaya ini dan menjaga keseimbangan alam Papua yang sangat vital bagi kehidupan masyarakatnya.
Papua tidak hanya merupakan lumbung kekayaan alam dan sumber daya bagi Indonesia, tetapi juga lumbung kebudayaan yang memiliki potensi besar dalam memperkaya identitas bangsa. Jika kita tidak segera bertindak untuk menjaga dan melestarikan budaya serta lingkungan di Papua, maka warisan yang sangat berharga ini akan hilang begitu saja, dan kita akan kehilangan bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia.
Tanggung jawab kita sebagai bangsa adalah memastikan bahwa pembangunan di Tanah Papua tidak hanya menguntungkan sebagian pihak, tetapi juga menjaga dan melestarikan budaya, ekosistem, dan kesejahteraan masyarakat Papua. (*)