Oleh: Adelaida Selebo)*
)* Penulis adalah perempuan Papua penggemar senja, tinggal di Teluk Cenderawasih
RUU TNI telah disahkan menjadi UU. Revisi RUU TNI berpotensi memperburuk situasi di Papua. Implikasi dari revisi TNI di Papua, negara akan memperkuat dominasi militer dalam berbagai sektor sipil dan pemerintahan yang seharusnya dikelola oleh tenaga profesional sipil.
Perubahan dalam Pasal 47 memperbolehkan prajurit TNI aktif menduduki lebih banyak posisi di kementerian dan lembaga negara semakin menegaskan peran TNI yang meluas, termasuk di lembaga-lembaga yang seharusnya berfokus pada pembangunan sipil seperti Badan Penanggulangan Bencana dan Kejaksaan. Selain itu, Pasal 7 yang memperluas tugas pokok TNI, termasuk menanggulangi ancaman siber dan perlindungan kepentingan nasional di luar negeri. Ini jelas mempertegas bahwa TNI akan semakin terlibat dalam urusan yang jauh melampaui peran tradisional mereka sebagai penjaga keamanan.
 Semua ini menunjukkan bagaimana TNI semakin terlibat dalam kehidupan sipil di Papua yang sudah lama mengalami militerisasi yang berlebihan dan memperburuk ketergantungan. Militer akan semakin banyak dilibatkan dalam urusan-urusan sipil. Apalagi selama ini TNI dengan senjata lengkap masuk ke ruang kelas untuk mengajar, juga melayani pelayanan kesehatan. Revisi UU TNI ini memberikan angin segar bagi tentara untuk lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang harusnya dilakukan pemerintah dan menjadi tanggung jawab pemerintah sipil.
Lebih jauh lagi, pemerintah pusat cenderung melihat Papua melalui kaca mata TNI, yang berperan seolah sebagai pahlawan yang menyelesaikan masalah, tanpa mempertimbangkan perspektif dari masyarakat Papua. Pemerintah lebih banyak percaya laporan yang disampaikan aparat yang seringkali bersifat sepihak dan tidak menggambarkan secara akurat tentang realitas yang terjadi di lapangan. Laporan-laporan tersebut sering kali berupa pernyataan atau potongan-potongan video yang dipilih dengan cermat, menampilkan narasi yang menguntungkan aparat. Tapi mengabaikan suara dan pengalaman masyarakat Papua yang sebenarnya. Hal ini menciptakan kesenjangan yang besar antara apa yang dilihat oleh pemerintah pusat dan realitas yang dialami oleh rakyat Papua.
Masyarakat Papualah yang mengalami, merasakan, melihat dan menjalani dampak dari kehadiran TNI sejak awal Papua diambil paksa. Dimana negara hadir dengan kekuatan militer dan kekerasan. Hal ini membuat masyarakat Papua merasa bahwa kehadiran Indonesia di tanah Papua merupakan malapetaka. Karen kehadiran Indonesia di papua adalah untuk melakukan pelanggaran HAM, penindasan, marginalisasi, pendudukan dan perampokan SDA.
Peningkatan peran TNI dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi domain pemerintah dan masyarakat sipil. Tidak hanya menambah ketegangan di Papua, tetapi juga memperpanjang masalah yang ada.
Misalnya, keterlibatan TNI dalam dunia pendidikan dan kesehatan selama ini justru mencerminkan kegagalan pemerintah pusat, provinsi dan daerah dalam menyediakan layanan dasar yang memadai. Ini semakin mengaburkan peran sipil dan militer, memperburuk persepsi masyarakat Papua bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas masa depan mereka sendiri.
Pemerintah pusat yang lebih mempercayakan penyelesaian masalah kepada TNI, tanpa memberikan ruang bagi suara masyarakat sipil, memperburuk ketidakpercayaan antara Papua dan negara. Ketergantungan yang meningkat pada militer untuk mengelola sektor-sektor sipil ini menunjukkan ketidaksiapan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Papua dan hanya memperburuk hubungan yang sudah tegang antara militer dan masyarakat. Jika kebijakan ini terus dilanjutkan, Papua berisiko terperangkap dalam lingkaran militerisasi yang semakin mendalam, yang hanya akan memperburuk ketidakstabilan dan ketidakadilan yang sudah ada.
Dukungan yang diberikan oleh pemerintah pusat dengan disahkannya RUU TNI membuka peluang lebih besar bagi TNI untuk semakin memperkuat posisinya di Papua, dan memperkuat narasi bahwa mereka adalah “pahlawan” yang datang untuk menyelesaikan masalah. Pernyataan dari pimpinan TNI yang mengklaim bahwa TNI-lah yang mengambil alih peran pengajaran dan pemberian layanan kesehatan di Papua semakin memperlihatkan bagaimana TNI berusaha mendefinisikan dirinya sebagai penyelamat bagi masyarakat setempat.
Dengan disahkannya RUU ini, TNI mendapatkan legitimasi lebih besar untuk terlibat dalam urusan sipil, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan tenaga profesional sipil. Hal ini tidak hanya memperkuat narasi yang dibangun oleh TNI sebagai pihak yang diperlukan di wilayah tersebut, tetapi juga menambah ketergantungan masyarakat pada militer untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Pemerintah pusat memberikan dukungan tanpa mempertimbangkan perspektif masyarakat Papua ini membuka jalan bagi TNI untuk semakin mendominasi kehidupan sipil , sekaligus memperpanjang proses militerisasi yang sudah berlangsung lama.