SORONG, SUARAPAPUA.com— Sekjen Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) Elias Hindom mengecam keras aksi dukungan terhadap undang-undang TNI yang dilakukan oleh sekelompok orang di Tanah Papua.
Semenjak DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) untuk disahkan menjadi UU pada 20 Maret 2025 lalu mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan di beberapa daerah seperti di Jakarta, Makasar, Surabaya, Malang dan kota lainnya.
Hal ini berbeda dengan di Tanah Papua, dimana ada sejumlah kelompok yang menfaatkan situasi berbagi takjil di bulan Ramadan menyatakan dukungan terhadap UU TNI, seperti yang dilakukan di Kota Sorong, distrik Aitinyo kabupaten Maybrat dan Fakfak.

Menurut Sekretaris Jenderal GPRP aksi dukungan terhadap UU TNI di kabupaten Fakfak itu merupakan penggiringan opini publik tanpa berbasiskan pemikiran kritis. Ia juga menegaskan aksi dukungan tersebut telah melecehkan masyarakat adat Mbaham Matta.
“Aksi itu hanya mewakili kepentingan segelintir orang di Fakfak. Mereka mengatasnamakan masyarakat adat Mbaham Matta dan mahasiswa padahal tidak semua mendukung [pengesahan Undang Undang TNI],” kata Hindom melalui telepon.
Hindom menilai tuntutan aksi mereka tidak lahir dari pemikiran objektif terhadap kondisi yang terjadi di Tanah Papua. Karena itu, dia menganggap peserta aksi hanya dijadikan objek kampaye kepentingan pihak tertentu.
“Tanah Papua sudah sejak lama menjadi ladang operasi militer sehingga menimbulkan berbagai permasalahan HAM [hak asasi manusia]. Banyak aktivis menyuarakan keprihatinan ini. Keberadaan militer [di Tanah Papua] juga erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi dan penguasaan terhadap sumber daya alam oleh korporasi besar,” kata Hindom.
Aksi mendukung pengesahan Undang Undang TNI digelar di Fakfak pada Sabtu pekan lalu. Peserta aksi terdiri atas Organisasi Kemasyarakatan Barisan Merah Putih, Forum Komunikasi Putra-Putri TNI (FKPPI), Pemuda Panca Marga (PPM), masyarakat adat Mbaham Matta, dan mahasiswa.
“Mahasiswa harus menjadi pengawal kebijakan negara dan tidak boleh terbawa arus opini yang menyesatkan. Meskipun mendukung penguatan TNI, kami tetap akan kritis terhadap kebijakan yang berpotensi mengganggu keseimbangan [peran] sipil dan militer,” kata Haydar.

Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Sorong, M. Risal Abusama, menjelaskan bahwa revisi Undang-Undang TNI merupakan isu yang cukup krusial, terutama terkait keterlibatan aparat dalam sejumlah aspek yang diatur dalam UU tersebut.
“Sebagai Ketua Permahi, saya berharap revisi undang-undang yang kini telah menjadi UU Nomor 34 Tahun 2025 dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat di berbagai penjuru Tanah Air,” katanya.
Rizal juga mengimbau agar pihak-pihak yang memiliki pandangan berbeda terhadap UU tersebut tetap menggunakan jalur hukum yang elegan.
“Pengujian pasal demi pasal di Mahkamah Konstitusi (MK), dibanding melakukan aksi demonstrasi yang berpotensi mengganggu aktivitas masyarakat,” pungakasnya.