NABIRE, SUARAPAPUA.com — Titus Pekei, tokoh sentral yang memperjuangkan Noken hingga diakui UNESCO, menanggapi pernyataan “stop bakar batu” sebagaimana disinggung gubernur Papua Tengah Meki Nawipa beberapa hari lalu dari Timika, kabupaten Mimika.
Sebagai salah satu tokoh penting dalam kebudayaan Papua, Titus menilai pernyataan tersebut tidak akan menghambat usulan “bakar batu” sebagai warisan budaya takbenda UNESCO, menyusul Noken.
“Walaupun ada pendapat atau kebijakan tertentu yang menyerukan penghentian tradisi tersebut, dalam konteks upaya agar bakar batu tetap diakui sebagai bagian penting dari warisan budaya Papua dan Indonesia. Upaya ini bisa memberikan pengakuan internasional bagi keunikan budaya masyarakat Papua, sebagaimana telah terjadi juga dengan noken yang berhasil diakui oleh UNESCO,” kata Titus Pekei kepada Suara Papua, Selasa (1/4/2025) siang.
Titus menyebut pesta bakar batu menggambarkan kebersamaan sekaligus rasa hormat terhadap alam dan sesamanya.
“Bakar batu adalah salah satu tradisi yang memiliki nilai budaya mendalam, yang melibatkan proses memasak dengan cara membakar batu panas. Itu biasanya dilakukan dalam acara adat atau perayaan penting. Proses ini melibatkan seluruh komunitas dan menggambarkan kebersamaan serta rasa hormat terhadap alam dan sesamanya.”
Lanjut Titus, “Pada masa orang tua dulu, mereka bekerja kebun untuk makanan bagi diri, keluarga, sesama dan untuk makanan ternak piaraannya. Ubi juga dimasak untuk menjadi makanan ternak dan ternak yang mereka pelihara akan ambil atau jual untuk mendukung ucapan syukur pada acara penting dalam keluarga atau orang yang membeli ternaknya. Keluarga siapkan bahan persiapan kayu bakar, batu, ubi, keladi, daun pisang untuk bungkus dan lainnya. Masa sekarang kadang menjadi masalah, kita ambil ternak siapa karena tidak pelihara ternak babi sendiri, tetapi beli dari orang yang memeliharanya.”
Poin Penting
Titus Pekei berpendapat, seruan untuk “stop bakar batu” itu berbobot nilainya dari aspek penghematan anggaran pemerintah daerah, tetapi tidak dalam konteks kebiasaan masyarakat adat melakukan seremonialnya. Karena itu tentu tak akan menghambat pengusulan tradisi bakar batu sebagai warisan budaya takbenda UNESCO di Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.
Ia kemudian mengemukakan sejumlah poin penting.
Pertama, fokus pada nilai budaya. Titus menyadari pengakuan UNESCO biasanya didasarkan pada nilai budaya dan filosofi yang terkandung dalam tradisi bakar batu, bukan semata-mata pada praktik harfiahnya saat ini.
Kedua, evolusi tradisi. Ia memahami tradisi dapat dan memang berevolusi seiring waktu. Seruan untuk “stop” mungkin lebih berkaitan dengan isu-isu kontekstual terkini di provinsi Papua Tengah.
Ketiga, dokumentasi yang kuat. Dalam hal ini yang terpenting untuk pengusulan ke UNESCO adalah dokumentasi yang kuat tentang sejarah, makna, dan praktik bakar batu di masa lalu dan kini. Bila ini terpenuhi, perubahan dalam praktik saat ini tidak serta merta menggagalkan pengusulan.
Keempat, pengalaman noken. Titus Pekei sendiri punya pengalaman langsung dengan proses pengajuan Noken ke UNESCO. Ia tahu persis, yang dinilai adalah nilai universal dan pentingnya warisan budaya bagi masyarakat.
“Memang ada banyak pihak kaget dan melihat seruan gubernur sebagai penghalang tradisi bakar batu. Tetapi, saya melihatnya sebagai dinamika internal masyarakat Papua yang tidak secara langsung mempengaruhi potensi pengakuan UNESCO terhadap nilai budaya bakar batu,” tandasnya.
Peneliti yang juga akademisi itu menggarisbawahi pengakuan internasional terhadap salah satu kebudayaan unik dilihat dari aspek nilainya yang disertai hasil riset dan pendokumentasiannya.
“Pengusulan yang kuat dengan riset dan dokumentasi mendalam akan menjadi kunci utama,” imbuh Pekei. []