JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Beredar sebuah surat dari Komando Distrik Militer (Kodim) 1707/Merauke meminta data mahasiswa Papua di berbagai kota studi menuai perdebatan panjang. Bahkan tak sedikit pihak mempertanyakan hal itu karena selain tak sesuai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi), juga tanpa dasar hukum yang jelas. Meski diklaim permintaannya sesuai program kerja bidang intelijen/pengamanan Kodim 1707/Merauke tahun anggaran 2025.
Elias Ndiwaen Mahuse mengemukakan, selain data mahasiswa Papua yang sedang menempuh pendidikan di berbagai kota studi, Kodim 1707/Merauke juga meminta kepastian tergabung dalam organisasi mahasiswa kedaerahan dari kabupaten Merauke atau di dalam surat tersebut ditulis organisasi daerah (Orda) Papua binaan pemerintah kabupaten Merauke.
Relawan Walhi Papua ini menyatakan, dari sudut pandang hukum, permintaan data mahasiswa dari pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam surat bernomor B/331/III/2025 tertanggal 25 Maret 2025 itu mengundang sejumlah pertanyaan yang perlu dikaji lebih lanjut.
Pertama, kewenangan dan dasar hukum patut diipertanyakan.
“Dalam sistem hukum Indonesia, setiap tindakan lembaga negara, termasuk TNI, harus memiliki dasar hukum yang jelas. Sejauh ini tidak ada regulasi yang secara eksplisit memberikan kewenangan kepada institusi militer untuk meminta data pribadi mahasiswa. Jika permintaan ini tidak memiliki landasan hukum yang sah, maka jelas tindakan tersebut melampaui kewenangan dari Kodim 1707/Merauke,” ujarnya.
Selain itu, berdasarkan Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, tugas pokok dalam bidang pertahanan negara tidak mencakup pengumpulan data sipil secara langsung, kecuali dalam keadaan tertentu yang diatur secara khusus dalam undang-undang.
“Oleh karena itu, perlu ada klarifikasi mengenai apakah permintaan ini telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.”
Kedua, kata Elias, hal tersebut berpotensi terjadi pelanggaran perlindungan data pribadi.
“Indonesia telah memiliki Undang-undang nomor 27 tahun 2022 tentang perlindungan data pribadi (PDP) yang mengatur bahwa data pribadi tidak dapat diserahkan tanpa persetujuan dari pemiliknya, kecuali dalam kondisi tertentu yang diatur secara ketat oleh hukum,” lanjutnya.
Ditegaskan, data mahasiswa termasuk nama, institusi pendidikan, dan afiliasi organisasi, merupakan data pribadi yang dilindungi undang-undang.
“Apabila pemerintah kabupaten Merauke menyerahkan data tersebut tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa persetujuan mahasiswa yang bersangkutan, maka hal ini berpotensi melanggar hak privasi mereka dan dapat berimplikasi hukum,” tegasnya.
Ketiga, resiko diskriminasi dan profiling.
“Fakta bahwa permintaan ini hanya menyasar mahasiswa Papua menimbulkan kekhawatiran terkait profiling terhadap kelompok tertentu. Dalam sistem hukum yang menjunjung hak asasi manusia, tindakan seperti ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena dapat berpotensi menciptakan stigma atau perlakuan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua.”
Ndiwaen mempertanyakan, apakah permintaan tersebut bertujuan untuk perlindungan atau justru dapat menimbulkan efek pengawasan yang berlebihan?
“Tanpa transparansi yang memadai, tindakan ini bisa menimbulkan rasa tidak aman bagi mahasiswa yang menjadi sasaran permintaan data tersebut.”
Keempat, transparansi dan administrasi yang akuntabel.
“Dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), setiap permintaan data harus disertai dengan alasan yang jelas, mekanisme penggunaan data, serta jaminan bahwa data tersebut tidak akan disalahgunakan. Sayangnya, surat ini tidak menjelaskan secara rinci untuk apa data mahasiswa tersebut akan digunakan, bagaimana data itu akan disimpan, dan siapa saja yang akan memiliki akses terhadapnya?.”
Tanpa transparansi, kata Elias, sulit untuk memastikan bahwa permintaan ini bertujuan baik dan tidak akan disalahgunakan di masa depan. Oleh karenanya, sebelum memenuhi permintaan ini, pemerintah daerah perlu meminta kejelasan lebih lanjut dari Kodim 1707/Merauke terkait tujuan dan urgensinya.
Dengan merujuk catatan tadi, ia kemudian mengungkapkan beberapa alasan kuat mengapa permintaan tersebut tidak seharusnya dipenuhi tanpa kajian lebih lanjut.
Pertama, tidak adanya dasar hukum yang jelas yang memberikan kewenangan kepada TNI untuk meminta data mahasiswa Merauke di seluruh kota studi.
Kedua, berpotensi melanggar undang-undang perlindungan data pribadi jika dilakukan tanpa persetujuan mahasiswa.
Ketiga, resiko profiling terhadap mahasiswa Papua yang dapat menimbulkan diskriminasi.
Keempat, kurangnya transparansi dalam tujuan dan penggunaan data tersebut.
Karena itu, ditegaskan kepada pemerintah kabupaten Merauke sebaiknya tidak serta-merta menyerahkan data mahasiswa tanpa memastikan aspek legalitas dan perlindungan hak asasi mereka.
“Langkah yang lebih bijak adalah meminta klarifikasi resmi kepada pihak TNI, berkonsultasi dengan kementerian terkait, serta memastikan bahwa setiap tindakan tetap sejalan dengan prinsip perlindungan data dan hak sipil.”
“Dalam negara hukum, setiap kebijakan harus berlandaskan pada aturan yang jelas, bukan sekadar instruksi dari suatu lembaga. Mahasiswa sebagai bagian dari warga negara, juga memiliki hak atas perlindungan data dan privasi mereka,” ujar Ndiwaen.
Surat tersebut ditandatangani Munda Alim Loukaki Letnan Satu Inf NRP 640147 selaku Danunit Intel Kodim 1707/Merauke, dan ditujukan kepada kepala bagian Kesra Setda kabupaten Merauke. []