Oleh: Aleks Giyai*
*) Pegiat Literasi Papua
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kemajuan teknologi, masih ada sekelompok masyarakat di Indonesia yang belum dapat menikmati hak dasar dalam dunia pendidikan: kemampuan membaca, menulis dan menghitung. Salah satu wilayah yang masih menghadapi tantangan serius dalam hal ini adalah Papua dan wilayah sekitarnya. Maka dari itu, pemberantasan buta huruf dan buta aksara di Papua masih sangat relevan, bahkan mendesak untuk terus dilakukan.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Papua merupakan salah satu provinsi dengan angka buta aksara tertinggi di Indonesia. Kondisi geografis yang sulit dijangkau, minimnya infrastruktur pendidikan, serta keterbatasan tenaga pengajar menjadi faktor penghambat utama. Selain itu, Papua memiliki kekayaan budaya dan bahasa daerah yang luar biasa, namun hal ini juga menimbulkan tantangan tersendiri dalam penerapan pendidikan.
Bila seseorang tidak memiliki kemampuan dasar literasi, maka ia akan kesulitan mengakses berbagai informasi penting dalam kehidupan sehari-hari. Buta aksara bukan hanya soal tidak bisa membaca buku, tetapi juga tidak bisa membaca label obat, rambu peringatan, bahkan hak-hak dasar sebagai warga negara. Ini membuat masyarakat rentan terhadap eksploitasi dan terpinggirkan dari proses pembangunan.
Pemberantasan buta aksara di Papua harus dilakukan dengan pendekatan kontekstual dan budaya, tidak bisa disamaratakan dengan daerah lain. Pendidikan berbasis komunitas, pelibatan tokoh adat, serta pengembangan bahan ajar berbahasa daerah bisa menjadi strategi yang efektif. Pemerintah pusat dan daerah juga harus lebih aktif menyediakan dukungan logistik, pelatihan guru, dan insentif untuk mereka yang mengabdi di wilayah pedalaman.
Menjadikan literasi sebagai prioritas bukan hanya tentang meningkatkan angka statistik pendidikan. Lebih dari itu, ini adalah langkah nyata untuk menghormati martabat dan potensi manusia Papua. Dengan literasi, akan tumbuh keberdayaan. Dengan keberdayaan, akan lahir perubahan. Sehingga pemerintah harus mampu mendorong program gerakan literasi masyarakat (GLM), gerakan literasi keluarga (GLK) dan gerakan literasi sekolah (GLS) yang melibatkan semua komponen termasuk para pegiat literasi anak-anak asli Papua.
Oleh karena itu, perjuangan memberantas buta aksara di Papua bukanlah perjuangan yang usang, melainkan perjuangan kemanusiaan yang terus relevan hingga kini.
Angka buta aksara di provinsi Papua dan Papua Barat tahun 2023, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Papua, sebagai berikut:
Provinsi |
Angka Buta Aksara(%) |
Papua | 1,63 |
Papua Barat | 2,11 |
Papua Barat Daya | 2,16 |
Papua Selatan | 5,70 |
Papua Pengunungan | 8,60 |
Papua Tengah | 8,50 |
Data di atas menunjukkan bahwa tantangan pemberantasan buta aksara melalui gerakan literasi di Papua masih signifikan dan sangat perlukan dalam program prioritas. Upaya pemberantasan buta aksara tetap menjadi prioritas penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia melalui gerakan literasi masyarakat, selain pendidikan Formal.
Literasi merupakan kemampuan individu dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas melalui berbagai aktivitas baca tulis. Pemerintah, pegiat literasi, serta kaum terpelajar memiliki peran penting dalam meningkatkan budaya baca dan pengetahuan masyarakat dimulai dari keluarga, kampung, dusun atau setiap komplek melalui gerakan literasi dengan membentuk kelompok belajar, perpustakaan maupun edukasi-edukasi, seperti diskusi buku, launching buku, bedah buku, panggung buku, dan sebagainya.
Ketika gerakan literasi masyarakat ini dijalankan sebagai upaya dalam memberantas buta huruf dan buta aksara akan mengurangi angka kemiskinan dan upaya membangun standar kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat dalam kehidupan.
Selain itu, upaya semacam ini juga akan mengurangi melek angka, melek huruf, dan angka buta aksara. Dimana gerakan literasi seperti benar-benar membangun sumber daya manusia dari tingkat akar rumput untuk pendidikan masa depan Papua. (*)