Angelia Kondomo sedang mendengar penjelasan dari petugas di Puskesmas Tanjung Kasuari, kota Sorong, Papua Barat Daya, Selasa (22/4/2025), tentang prosedur minum obat karena kedua anaknya sedang sakit malaria. (Maria Baru - Suara Papua)
adv
loading...

SORONG, SUARAPAPUA.com — Yulminan Yekwam, warga kelurahan Tampa Garam, distrik Maladumes, kota Sorong, Papua Barat Daya, menceritakan tiga keponakannya yang terkena malaria berkali-kali meski telah minum obat penurun demam. Ketiganya mengeluhkan demam, menggigil, dan sakit kepala sepanjang Januari hingga Maret 2025.

“Nafsu makan mereka menurun dan muntah,” kata Yulminan kepada Suara Papua, Selasa (22/4/2025).

Karena kondisi mereka tak segera membaik, Yulminan Yekwam membawa keponakannya ke rumah sakit swasta untuk mengecek darah. Hasilnya, mereka terkena malaria tertiana, penyakit infeksi karena gigitan nyamuk Anopheles.

Malaria dapat menyebabkan komplikasi penyakit yang serius, seperti anemia, gagal ginjal, koma, dan berujung pada kematian bila tak mendapatkan penanganan yang tepat.

Ketiganya mengakses obat malaria di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) terdekat menggunakan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Obat malaria itu berupa 3 tablet berwarna biru yang diminum sehari sekali dan obat berwarna cokelat yang diminum selama 14 hari.

ads

Menurut Yulminan, ketiganya tinggal di rumah dengan banyak genangan air dan sampah plastik yang menumpuk selama musim penghujan.

“Banyak saluran air tra lancar. Nyamuk datang serang. Dong pu suara merdu sekali bikin stress,” katanya.

Kedua anaknya sedang sakit malaria tertiana, sehingga selain obat, diberikan juga kelambu gratis oleh petugas Puskesmas Tanjung Kasuari, kota Sorong, Papua Barat Daya, Selasa (22/4/2025). (Maria Baru – Suara Papua)

Yulminan berharap pemerintah kota Sorong setiap tiga bulan sekali menyemprotkan obat anti nyamuk, menyediakan tempat sampah, dan mengatasi drainase air yang buruk di wilayah Tampa Garam.

Sama dengan Yulminan Yekwam, Angelia Kondomo, seorang ibu muda di kelurahan Tampa Garam, menyebutkan, dua anaknya terkena malaria. Keduanya berusia tiga dan satu tahun. Mereka demam dan menggigil. Ketiganya minum obat penurun demam dan obat malaria dari Puskesmas.

Kelurahan Tampa Garam termasuk kategori zona merah dengan jumlah kasus malaria yang banyak.

Samuel Merin, ketua Rukun Tetangga (RT), menyatakan, sejak tahun 2019, kasus malaria terus bertambah. Malaria menyerang anak-anak dan orang-orang lanjut usia. Menurut dia, tiga tahun terakhir jumlah kasus malaria meningkat drastis, bahkan ada sejumlah warga yang meninggal.

Baca Juga:  Merajut Budaya Pangan Lokal di Era Modern Melalui Festival Tumpe Klawalu

Merin menjelaskan, pemerintah kota Sorong telah menyemprotkan obat pencegah malaria, membagikan kelambu gratis, dan sosialisasikan pentingnya pemeriksaan darah warga.

Menurut dia, kurangnya kesadaran masyarakat menjaga kebersihan lingkungan di tengah cuaca ekstrem menjadikan serangan nyamuk penyebab malaria bertambah.

“Puskesmas sering bagi kelambu gratis, tetapi dong malas pakai,” kata Samuel.

Salah satu lokasi pesisir laut di kelurahan Tampa Garam yang selalu dijadikan tempat sampah dan ketika pasang surut dan hujan, genangan airnya tetap seperti itu, sehingga menjadi salah satu tempat nyamuk Anopheles berkembang biak, Selasa (22/4/2025). (Maria Baru – Suara Papua)

Di kelurahan Kalawasi, distrik Sorong Barat, malaria juga menyerang anak-anak. Gejala yang mereka alami, yakni demam, batuk, beringus, gatal-gatal, dan mencret.

Yohan Adine, ketua RT setempat, mengatakan, selepas hujan deras, sebagian anak terkena malaria. Di kawasan itu dihuni masyarakat adat suku Kokoda yang sebagian besar hanya berjualan di pasar dengan penghasilan yang minim.Widya Ramba, dokter umum Puskesmas Tanjung Kasuari, menjelaskan, jumlah pasien Puskesmas yang terkena malaria meningkat ketika curah hujan tinggi.

Kata Widya, Puskesmas melayani 100 pasien positif malaria dalam sebulan. Setiap hari, Puskesmas menerima lima hingga sepuluh pasien.

Di distrik yang sama, seorang anak terkena malaria. Suatu hari, malam tiba, satu keluarga panik karena anak tadi demam dan menggigil. Rambut anak itu tipis dengan tangan berukuran kecil dan berperut buncit. Bibirnya putih pucat. Keluarga membawanya ke sebuah rumah sakit swasta. Rupanya, dokter rumah sakit tersebut tak segera menangani anak itu.

Kitong datang dengan pakaian kotor, robek, bau, tra pakai sendal. Tra pu uang, jadi kami ditolak,” kata seorang ibu.

Keluarga itu kemudian melanjutkan perjalanan sepanjang 12 kilometer ke kota Sorong menggunakan sepeda motor. Ini dilakukan agar anak mereka mendapatkan penanganan medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sele Be Solu, rumah sakit pemerintah.

Tetapi, pihak rumah sakit menyatakan penuh pasien dan dokter memberikan resep obat malaria dan obat lainnya. Di rumah sakit itu obat malaria telah habis. Keluarga tersebut kemudian membeli obat malaria di apotik terdekat dengan harga Rp90 ribu.

Baca Juga:  Diduga Dua Calon DPRK Maybrat Masih Berstatus ASN Aktif

Direktur RSUD Sele Be Solu, drg. Susi Petronela Djitmau, mengatakan, obat malaria dipasok pemerintah melalui Dinas Kesehatan. Jika persediaan obat di rumah sakit habis, berarti sedang kosong di gudang atau proses penyaluran.

“Obat malaria dari pemerintah itu gratis,” katanya.

Susi menjelaskan prosedur pasien yang terkena malaria. Bila pasien datang melalui jalur unit gawat darurat dan di luar jam kantor, maka pasien tersebut termasuk pasien umum. Pasien yang terkena malaria, kata dia, tak termasuk pasien gawat darurat. Bila pasien datang pada jam kerja, rumah sakit melayani dan mengarahkan ke fasilitas poli yang menangani penyakit malaria.

Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang fokus membantu dan melindungi hak-hak anak di seluruh dunia, menunjukkan pada tahun 2023 perubahan iklim ditandai dengan peningkatan suhu udara dan pola curah hujan yang tak menentu. Perubahan iklim mempengaruhi penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor atau perantara, seperti malaria dan demam berdarah yang mengancam kesehatan anak-anak. Perubahan pola curah hujan juga dapat menimbulkan genangan air yang berpotensi menjadi habitat nyamuk berkembang biak.

Ibnu Subrata Aji, prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kota Sorong, mengatakan, di kota Sorong, hujan turun sepanjang tahun. Curah hujan di kota Sorong rata-rata 150 dan di atas 150 milimeter.

Pada April hingga Mei, curah hujan meningkat dan puncaknya terjadi pada Juni, Juli, dan Agustus. Adapun pada September, Oktober, November, dan Desember hujan turun dengan intensitas rendah.

“Curah hujan di kota Sorong tergolong tinggi, karena berada di wilayah pesisir pantai dengan pengaruh angin darat dan angin laut yang kuat,” kata Ibnu.

Eirene Sophie Mandala Wutoy-Hallatu, dosen Universitas Negeri Papua yang sedang studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menjelaskan, curah hujan yang tinggi di kota Sorong mengakibatkan penumpukan air dan genangan air di aliran sungai, danau, rawa, got dan tepian pantai. Hal tersebut membuat volume air bertambah dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan vektor pembawa penyakit malaria.

Baca Juga:  Oknum TNI AL Diduga Bunuh Wartawati, FJPI Papua Barat Daya Minta Polisi Usut Tuntas

“Curah hujan yang tinggi membuat nyamuk Anopheles berkembang biak,” kata Eirene.Sophie pun akui nyamuk Anopheles suka hidup di hutan dan genangan air di tepi sungai, danau, pesisir, rawa dan parit. Di sanalah tempat nyamuk mencari makan untuk tetap hidup dan bertelur. Sanitasi lingkungan yang buruk, yakni genangan air dan sampah membuat nyamuk hidup dan berkembang biak.

Anak-anak menurut dia lebih rentan terdampak perubahan iklim, karena kekebalan tubuh anak-anak belum terbentuk secara sempurna.

“Sistem imunitas anak-anak belum terbentuk secara maksimal, sehingga mempercepat proses masuknya infeksi bakteri atau penyakit,” jelas Sophie.

Hermanus Kalasuat, kepala Dinas Kesehatan kota Sorong, menjelaskan, pemerintah daerah mengatasi malaria melalui berbagai program menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Ia menyebutkan dana APBD digunakan untuk membiayai pengadaan kelambu, alat-alat kesehatan untuk mengecek darah, dan lain-lain.

Dinas Kesehatan Kota Sorong, imbuh Kalasuat, menargetkan pengurangan malaria pada 2030. Tetapi, kota Sorong sebagai ibu kota provinsi Papua Barat Daya menurutnya, punya tantangan tersendiri karena menjadi pusat transit orang-orang dari lima kabupaten yang berpotensi menjadi salah satu sumber penularan malaria.

Itu sebabnya, Hermanus berencana mencegah penularan malaria secara lebih masif.

Teryy Anderson, ketua Papua Youth Climate Action Network Indonesia, mengkritik pemerintah provinsi yang belum serius menangani krisis iklim.

Kata Teryy, anak-anak merupakan kelompok paling rentan yang menjadi korban akibat dampak krisis iklim.

“Jumlah kasus malaria terus meningkat seiring dengan krisis iklim yang menyokong nyamuk berkembang biak secara cepat.” []

Liputan ini didukung UNICEF dan AJI Indonesia

Artikel sebelumnyaRaker Para Bupati se-Papua Tengah, Gubernur Meki Nawipa Tekankan Kolaborasi Pemprov dan Pemkab
Artikel berikutnyaNebot Widigipa Terpilih Sebagai Ketua FIM-WP Manokwari