
SORONG, SUARAPAPUA.com — Di malam puncak kemeriahan perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-22 kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, yang berlangsung di Pantai Waisai Torang Cinta (WTC), distrik Kota Waisai, Jumat (9/5/2025) malam, ada pesan dan peringatan keras terhadap ancaman kehancuran ekologi yang disampaikan anak muda di kabupaten Raja Ampat.
Di tengah keramaian, dua pemuda menyuarakan perlawan terhadap PT Mulia Raymond Mulia dengan mengangkat pamflet bertuliskan “Save Raja Ampat! Stop Nikel dan cabut IUP Nikel PT Mulia Raymond Perkasa di Manyaifun dan Batang Pele.”
Aksi kedua pria itu merupakan lanjutan dari rentetan aksi yang telah dilakukan selama ini.
Ronisel Mambrasar, pemuda dari pulau Manyaifun, menegaskan, aksi mereka merupakan bentuk kekecewaan dan keresahan atas ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati di Raja Ampat, akibat ekspansi pertambangan nikel yang tak dapat dibendung oleh pemerintah provinsi Papua Barat Daya dan kabupaten Raja Ampat.
“Kami tidak ingin merayakan ulang tahun ini dengan pura-pura bahagia. Di balik perayaan, ada luka mendalam yang sedang menganga. Hutan kami ditebang, laut kami tercemar, dan ruang hidup kami digusur atas nama investasi,” ujar Roni sapaan akrab Ronisel Mambrasar.
Roni menyatakan, kabupaten Raja Ampat adalah pulau surga yang selama dua dekade terakhir dikenal dunia sebagai ikon pariwisata bahari dan pusat konservasi global. Dengan gugusan pulau, laut sebening kristal, terumbu karang beragam, dan habitat biota laut langka seperti pari manta dan penyu sisik, Raja Ampat adalah jantung dari segitiga karang dunia.
Namun, Roni bilang ada sisi gelap yang sengaja disembunyikan di balik brosur wisata bahari.
“Pulau surga di Tanah Papua itu mulai koyak. Pohon-pohon di sana ditebang, tanah dikeruk, dan laut mulai keruh. Sedimentasi dari tambang menutup karang, menghambat fotosintesis, dan membunuh ekosistem laut perlahan. Ini kejahatan lingkungan yang legal karena dilegalkan oleh izin tambang,” tegasnya.
Mambrasar berujar dampak aktivitas pertambangan akan membawa konsekuensi serius seperti pencemaran laut, deforestasi, privatisasi wilayah pesisir, hingga konflik horizontal antarwarga yang telah terjadi beberapa waktu lalu.
“Kalau perusahaan mulai beroperasi, jangan salahkan rakyat kalau nanti muncul konflik sosial. Ini bukan sekadar persoalan lingkungan, ini tentang keadilan, tenang ruang hidup kami,” tuturnya.
Kata Roni, rencana ekspansi PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Manyaifun dan Batang Pele dengan luas 2.194 hektare adalah lonceng bahaya bagi keberlangsungan hidup masyarakat lokal.
“Kami petani, nelayan, pemandu wisata, semua hidup dari alam. Kalau tambang masuk, kami bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi kehilangan identitas.”
Oleh karenanya, Roni mendesak pemerintah provinsi Papua Barat Daya, DPR, Majelis Rakyat Papua provinsi Papua Barat Daya dan Pemkab serta DPRK Raja Ampat untuk segera mencabut IUP PT Mulia Raymond Perkasa.
“Pemerintah, DPR dan MRP jangan hanya diam dan lihat saja. Kami masyarakat sudah menolak dengan berbagai aksi, tetapi sampai saat ini belum ada gerakan yang dilakukan oleh DPR dan MRP,” ungkapnya.
Terpisah, Fiktor Kafiyu, juru kampanye Gerakan Malamoi, mengatakan, dalam lima tahun terakhir, ekspansi izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat melonjak drastis, dengan penambahan wilayah konsesi seluas 494 hektare.
Situasi ini dinilai ironis, karena terjadi meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa pulau-pulau kecil harus dilindungi dari eksploitasi.
“Walaupun ada aturan hukum, tetapi dijalankan setengah hati. Pemerintah pusat dan daerah seperti tutup mata. Undang-undang nomor 1 tahun 2014, dengan jelas melarang penambangan di pulau kecil, tetapi kenyataannya izin terus dikeluarkan,” kata Fiktor.
Menurutnya, narasi global soal transisi energi hijau yang kini mendorong permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik, justru dibayar mahal masyarakat di Tanah Papua demi gaya hidup ramah lingkungan di belahan dunia lain.
“Orang di negara maju bisa mengendarai mobil listrik tanpa rasa bersalah. Padahal untuk itu kami harus kehilangan tanah, laut, dan udara bersih. Ini bentuk kolonialisme baru, baik ekologis maupun sistematis,” ucapnya.
Fiktor juga menyebut aktivitas ekstraktif yang masif sedang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap negara. Alih-alih melindungi warisan dunia, pemerintah justru membuka jalan bagi oligarki tambang untuk merampas pulau-pulau kecil.
“Kini Raja Ampat bukan lagi jantung konservasi dunia, tetapi jantung investasi tambang. Hutan hilang, laut berubah warna, ikan menghilang, dan masyarakat dimiskinkan,” pungkasnya. []