Oleh: Agustinus Apintamon*
*) Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura
Pembangunan jembatan Merah Teluk Youtefa adalah salah satu infrastruktur yang ada di kota Jayapura, provinsi Papua, Indonesia. Jembatan ini menghubungkan kota Jayapura dengan distrik Muara Tami di sebelah timur, melintasi Teluk Youtefa yang merupakan salah satu teluk besar di kawasan tersebut, sebagai bagian dari proyek besar yang direncanakan pemerintah Indonesia.
Jembatan Merah Teluk Youtefa mulai dibangun pada tahun 2015 dan selesai pada tahun 2019. Pembangunan jembatan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur transportasi di Papua, khususnya di kota Jayapura yang dikenal dengan medan geografis sulit dan terlindungi. Selain memberikan akses bagi masyarakat Enggros dan Tobati, di sisi yang lain justru membawa masalah untuk masyarakat lokal.
Jembatan Merah Teluk Youtefa dibangun sebagai simbol kemajuan penghubung antar wilayah, namun dibalik keindahan dan fungsinya, jembatan ini menimbulkan persoalan lingkungan yang serius, terutama terkait sampah yang berdampak langsung pada masyarakat pesisir Engros dan Tobati. Pembangunan ring road dan jembatan Youtefa ditengarai menjadi sebab dari makin buruknya kualitas hidup orang-orang Tobati dan Enggros.
Penelitian dari Tim Assessment Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa) tahun 2018 menemukan bahwa pembangunan jembatan Merah turut memperparah proses pencemaran Teluk Youtefa dalam beberapa tahun terakhir. Proyek yang diresmikan pada tahun 2019 itu telah menggusur beberapa titik hutan dan gunung yang berdampak pada tidak berfungsinya beberapa air minum yang bisa dimanfaatkan oleh warga kampung Tobati dan Enggros.
Dengan melihat banyaknya sampah di sekitar jembatan Merah akibat aktivitas para pengunjung, warga setempat juga mempertanyakan analis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) kepada pemerintah kota Jayapura untuk memberikan kepastian kepada masyarakat setempat.
Terkait AMDAL terhadap pembangunan jalan jembatan Youtefa, salah satu warga Erik Merauje memperkirakan 10 hingga 20 tahun kedepan akan terjadi pergeseran pasir mulai dari tanjung Kasuari sampai Holtekamp. Apabila tidak dikaji segera, maka akan terjadi banyak masalah lingkungkan.
Penilaian lain dikemukakan bapak Mebri yang mengakui kawasan Teluk Youtefa sudah tercemar dengan adanya pembuangan dari hulu bermuara ke Teluk Youtefa menyebabkan arus air di teluk tersebut tersumbat, sehingga diperlukan pembangunan beronjong dari hulu untuk mencegah pencemaran sampah.
Pasca jembatan Merah Youtefa diresmikan Presiden Joko Widodo, banyak warga yang datang untuk melihat langsung jembatan ini.
Markus Itaar, salah satu petugas kebersihan kota Jayapura, meminta masyarakat siapapun menjaga kebersihan jembatan Youtefa. Sebab jika tidak dijaga, tentu akan berdampak buruk bagi warga setempat yang ada di sekitar Teluk Youtefa, terutama masyarakat Enggros dan Tobati. Tidak hanya mereka, bisa jadi jembatan yang mempunyai peran dan fungsi penting itu rusak.
Semenjak jembatan ini diresmikan memang menarik minat para pengunjung untuk datang berkunjung baik dari luar maupun masyarakat kota Jayapura itu sendiri. Tetapi Markus Itaar berharap kepada mereka yang berkunjung ke jembatan Merah, “Kalau datang harus sadar, buang sampah dan ludah pinang pada tempatnya.”
Masih Dipenuhi Sampah
Seiring bertambahnya jumlah pengunjung, sampah di sekitar jembatan Merah meningkat drastis. Sampah plastik, botol, dan limbah makanan kerap dibuang sembarang oleh para pengunjung. Sampah-sampah tersebut terbawa arus hingga ke wilayah pesisir Enggros dan Tobati. Masyarakat yang sebagian besar hidup dari laut, mengeluhkan penurunan hasil tangkapan ikan, pencemaran laut, dan dan kerusakan pada ekosistem mangrove yang menjadi bagian penting dari kehidupan mereka.
Menurut beberapa laporan media massa, seperti Jubi, menyebutkan bahwa sejak jembatan Merah dibuka, volume sampah yang mengotori kampung sekitar meningkat dua kali lipat. Sayangnya, hingga kini belum ada sistem pengelolaan sampah yang memadai dari pemerintah maupun kesadaran dari para pengunjung.
Jenis sampah seperti, plastik, botol plastik, sisa makanan, bahkan botol minuman beralkohol terlihat dari bibir jalan sepanjang kawasan jembatan Youtefa yang menghubungkan wilayah kota Jayapura dan distrik Muara Tami.
Selain itu, diperparah juga oleh pengendara yang memarkir kendaraannya untuk melakukan aktivitas di jembatan yang dinilai tidak menjaga sampah.
Wakil wali kota Jayapura Rustan Saru mengaku telah menyampaikan imbauan, peringatan, bahkan ditindak saat ketahuan membuang sampah. Tetapi, dalam kenyataannya, masih saja ada orang yang belum sadar, karena sampah selalu dibuang sembarangan.
Sampah yang dibuang secara tidak sadar oleh para pengunjung di jembatan Youtefa ditambah dengan pengiriman sampah dari kota Jayapura memberikan dampak negatif terhadap masyarakat kampung Tobati dan Enggros. Situasi kontras dengan sampah-sampah itu selalu dikeluhkan.
Berbagai jenis sampah yang dibuang di sekitar jembatan Merah oleh pengunjung dan kiriman sampah dari kota Jayapura dengan jumlah yang sangat besar setiap harinya, telah mencemari laut sebagai tempat yang memberikan kehidupan kepada masyarakat setempat.
Sampah-sampah yang selalu mencemari laut di sekitar Teluk Youtefa berdampak pada sistem mata pencaharian warga kampung Enggros yang umumnya nelayan. Selain itu, sampah yang terdampar ke pantai juta turut berdampak kepada kesehatan warga setempat.
Berdampak Terhadap Ekonomi Warga
Masyarakat yang sebagian besar hidup dari laut, mengeluhkan penurunan hasil tangkapan ikan, akibat pencemaran laut, dan kerusakan pada ekosistem (mangrove) yang menjadi bagian penting dari kehidupan mereka. Warga kampung Enggros yang sehari-hari sebagai nelayan mengalami dampak dari sampah-sampah yang mencemari laut di sekitar Teluk Youtefa.
Selain itu, sampah yang terdampar ke pantai sampai dalam hutan mangrove telah merusak mata pencaharian mereka yang dulunya untuk mudah mendapatkan ikan. Dulunya masyarakat tidak perluh pergi jauh-jauh, tetapi karena sampah mencemari laut, sehingga susah untuk melihat ikan. Itulah sebabnya untuk mendapatkan ikan dan jenis daging lain harus berjalan jauh, misalnya ke air laut yang dalam.
Pengakuan mama-mama dari kampung Enggros, situasi sekarang tidak seperti beberapa tahun lalu. Air laut yang bersih kini berubah dengan banyaknya sampah. Hasil tangkapan ikan juga tidak seberapa dulu.
“Dulu kami tidak seperti sekarang. Untuk makan sehari-hari saja kami kerja keras. Dulu itu kami punya laut ini masih bersih, jadi mudah untuk tangkap ikan. Kemudian, untuk makanan tambahan lainnya, seperti bia itu kan kami tangkap di hutan mangrove, tetapi sayang sekarang sudah tidak ada lagi, karena beberapa jenis hewan termasuk bia hidupnya di pohon mangrove. Setelah ada jembatan ini, terus beberapa perusahaan juga masuk beroperasi, jadi ekosistem yang ada di laut rusak,” tuturnya dalam percakapan dengan penulis.
Pembangunan infrastruktur seperti jembatan seharusnya disertai perhatian serius terhadap dampak lingkungannya. Pemerintah daerah perlu segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang berdampak buruk pada masyarakat Enggros dan Tobati. Baik melalui edukasi publik, penyediaan tempat sampah maupun kerja sama dengan komunitas lokal untuk menjaga kebersihan kawasan di sekitar jembatan Merah Teluk Youtefa. (*)