JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kabupaten Nabire sebagai ibu kota provinsi Papua Tengah ternyata memiliki potensi konflik tanah atau konflik sumber daya alam (SDA). Terbukti dari dua kejadian konflik tanah antara beberapa marga yang berujung ricuh hingga berdarah-darah.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mencatat konflik SDA atau konflik tanah yang terakhir tejadi di Yaro, pekan kemarin, melibatkan orang nomor satu kabupaten Nabire. Dugaan itu didukung dengan adanya 2 surat dari bupati Nabire yang ditujukan ke salah satu kelompok marga, sehingga menimbulkan kemarahan hingga terjadi kaos yang berujung penangkapan dan penahanan 13 orang di sel Polres Nabire.
Dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/5/2025), LBH Papua mengungkapkan, pasca pemberlakuan kebijakan revisi Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menjalankan politik daerah otonomi baru di seluruh tanah air Papua telah memfasilitasi berbagai konflik terjadi salah satunya adalah konflik sumber daya alam (SDA).
“Secara hukum telah ada mekanisme hukum yang dibentuk untuk menyelesaikan konflik SDA sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial, sehingga akan sangat keliru dan dapat dikategorikan sebagai praktek kriminalisasi jika aparat kepolisian setempat menggunakan mekanisme Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana dalam penyelesaiannya,” kata Festus Ngoranmele, direktur LBH Papua, dalam siaran pers nomor 005/SK-LBH-P/V/2025.
Diuraikan, konflik SDA atau konflik tanah di Yaro, khususnya sebelum ada praktek kaos hingga penangkapan dan pemenjaraan sesungguhnya sudah ada penyelesaian di kantor Polres Nabire, dimana kedua belah pihak didudukan dan dimediasi langsung oleh Kapolres Nabire dan telah ada kesepahaman antara kedua belah pihak.
“Tetapi setelah adanya kesepakatan itu konflik kemudian terjadi lagi pasca ada dua surat yang dikeluarkan bupati Nabire.”
Dari fakta tersebut, LBH Papua menyimpulkan siapa pemicu konflik serta konflik apa yang terjadi. Lalu, profesionalisme aparat kepolisian dalam melakukan penegakan hukum atas konflik sumber daya alam atau konflik tanah juga dipertanyakan.
“Pada prinsipnya secara hukum konflik sumber daya alam atau konflik tanah adalah konflik sosial sebagaimana ditegaskan pada Pasal 5 Undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial. Melalui fakta adanya penangkapan 13 orang masyarakat adat akibat konflik sumber daya alam atau konflik tanah di Nabire itu menunjukan bahwa Kapolres Nabire dan jajarannya telah mengabaikan mekanisme penyelesaian konflik sesuai ketentuan Pasal 8 UU nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial,” bebernya.
LBH Papua menilai sikap Polres Nabire menangkap dan menahan 13 orang masyarakat adat tanpa memfasilitasi mediasi antara kedua belah pihak dan diselesaikan secara damai menimbulkan pertanyaan dasar hukum apa yang dijadikan pijakan dalam menyelesaikan konflik sosial akibat konflik SDA atau konflik tanah di Yaro.
“Terlepas itu, sikap dan tindakan bupati kabupaten Nabire yang mengeluarkan dua surat serta rekaman suara yang menyatakan akan menangkap beberapa orang masyarakat adat yang terlibat dalam konflik sosial akibat konflik sumber daya alam atau konflik tanah itu menunjukan bukti bahwa bupati mengabaikan tugasnya untuk menciptakan peringatan dini sesuai perintah Pasal 10 Undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial.”
Mencermati fakta tersebut, LBH Papua menyatakan, tindakan Kapolres Nabire dan jajarannya yang menangkap dan menahan 13 masyarakat adat dalam kasus konflik sumber daya alam atau konflik tanah adalah murni tindakan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur pada Pasal 5 huruf q Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2003 tentang disiplin Kepolisian Republik Indonesia.
“Sedangkan tindakan bupati Nabire yang mengeluarkan dua surat dan rekaman suara yang menyatakan akan menangkap masyarakat adat dalam konflik sumber daya alam atau konflik tanah jelas-jelas membuktikan bahwa bupati Nabire telah melakukan tindakan yang melanggar asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 29 tahun 1999 tentang pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme,” ujarnya.
Dengan demikian, LBH Papua menggunakan kewenangannya sebagaimana diatur pada Pasal 100 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM menegaskan kepada:
Pertama: Bupati kabupaten Nabire dan Kapolres Nabire segera bebaskan 13 masyarakat adat yang ditangkap secara sewenang-wenang.
Kedua: Ketua Komisi ASN Republik Indonesia dan Ombudsman Republik Indonesia segera berikan sanksi berat kepada bupati kabupaten Nabire.
Ketiga: Ketua Kompolnas Republik Indonesia dan Propam Polda Papua segera tangkap dan adili Kapolres Nabire bersama jajarannya yang menangkap dan menahan 13 masyarakat adat secara sewenang-wenang.
Keempat: Kapolda Papua Tengah segera mediasi kedua kelompok yang terlibat dalam konflik SDA sesuai mekanisme Undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial. []