Oleh: Edowarda Safalina Mate*
*) Mahasiswi Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura
Hutan dengan tutupan yang sangat luas dengan keanekaragaman hayati merupakan aset berharga bagi negara Indonesia dan dunia. Hutan bukan hanya sumber kayu, namun ada berbagai produk hutan lainnya. Juga sebagai garda terdepan dalam menghadapi krisis kekeringan, penyebab ekosistem seperti sumber kehidupan bagi masyarakat adat Papua, maupun wilayah adat. Secara umum ada ancaman terhadap hutan Papua yang semakin nyata dan kentara terutama dengan berkembangnya berbagai proyek yang mengancam kelestarian hutan.
Kehadiran perusahaan-perusahaan besar turut menghancurkan tanah adat. Salah satunya perkebunan sawit di Arso, kabupaten Keerom, Papua, yang wilayah operasinya mencapai 11.250 hektare.
Perkembangan adanya dampak masyarakat adat yang menggantikan hidupnya mereka dengan hutan karena kehidupan sumber mata pencaharian, ekosistem hutan. Kita tidak bisa membiarkan kehancuran hutan di Keerom terus berlanjut. Hutan Papua adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya dan spiritual masyarakat adat, serta merupakan penghasilan bagi mereka.
Kehilangan hutan sama seperti kehilangan identitas mereka, kehitangan mata pencaharian, atau kehilangan. Menjaga keseimbangan ekosistem alam di serikat mereka pentingnya untuk melindungi hutan Papua dengan cara yang berkelanjutan dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Hutan Papua sebagai paru-paru dunia dan sumber kehidupan bagi masyarakat adat untuk harus dilindungi dengan ketat. Larangan hutan bukan sekadar menjaga kelestarian alam, tetapi juga tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari selagi mereka masih hidup di tanah air mereka sendiri, termasuk pangan, sandang, dan papan.
Perlawanan Masyarakat Adat
Banyak masyarakat adat di Tanah Papua lebih khususnya di kabupaten Keerom yang telah berjuang melawan perampasan hutan dan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan besar. Mereka menolak keras rencana pembangunan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka dan tidak memperhatikan kepentingan mereka dan hak-hak mereka atas hutan mereka sendiri.
Larangan hutan sebagai solusi atau larangan hutan bukan berarti menutup pintu bagi mereka untuk pembangunan, tetapi lebih pada mencari cara pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pembangunan yang tidak merusak hutan dan menghargai masyarakat adat adalah kunci keberhasilan.
Peran Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil, termasuk aktivis lingkungan, organisasi non-pemerintah, juga jurnalis, harus terus mengawal dan mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak pro-lingkungan dan pro-masyarakat adat. Perlawanan masyarakat adat ini terjadi karena adanya sengketa lahan dan tuntutan hak ulayat dari masyarakat adat terhadap perusahaan kelapa sawit.
Masyarakat adat di kabupaten Keerom menurut ganti rugi penggunaan tanah selama puluhan tahun dan pengambilan hak ulayat atas lahan yang telah dikelola perusahaan sawit.
Masyarakat adat telah menarik kembali tanah adat mereka dengan secara adat, yang berdampak pada para petani yang dimana mencari masyarakat adat meminta pemetaan konsesi yang jelas untuk memastikan kepastian lahan dan pembayaran hak ulayat yang layak dan adil.
Perusahaan wajib mematuhi peraturan hukum mengenai tanah adat. Peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkebunan, mengatur tentang bagaimana perusahaan dapat memanfaatkan tanah adat mereka, termasuk kewajiban musyawarah dan persetujuan dengan masyarakat adat terkait penyerahan tanah adat mereka dan ganti rugi.
Perusahaan yang membabat hutan adat tanpa izin dari kepala suku, maka dikenai sanksi pidana menurut Undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Atau dengan kata lain, perusahaan harus memahami dan mematuhi keseluruhan peraturan hukum yang berlaku terkait tanah adat untuk menghindari sengketa, konflik dan sanksi pidana.
Maka, perusahaan harus mengikuti peraturan hukum. Perusahaan wajib mematuhi peraturan hukum mengenai tanah adat. Peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkebunan, mengatur tentang bagaimana perusahaan dapat memanfaatkan tanah adat mereka, termasuk kewajiban musyawarah dan persetujuan dengan masyarakat adat terkait penyerahan tanah adat mereka dan ganti rugi.
Jikalau perusahaan membabat hutan adat tanpa izin dari kepala suku, maka dikenai sanksi pidana menurut Undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Atau dengan kata lain, perusahaan harus mahamari dan mematuhi keseluruhan peraturan hukum yang berlaku terkait tanah adat untuk menghindari sengketa, konflik dan sanksi pidana..masyarakat adat.
Perlawanan masyarakat adat ini terjadi karena adanya sengketa lahan dan tuntutan hak ulayat dari masyarakat adat terhadap perusahaan kelapa sawit. Masyarakat kabupaten Keerom menurut ganti rugi penggunaan tanah selama puluhan tahun dan pengambilan hak ulayat atas lahan yang telah dikelola perusahaan sawit.
Masyarakat adat telah menarik kembali tanah adat mereka dengan secara adat, yang berdampak pada para petani yang dimana mencari masyarakat adat meminta pemetaan konsesi yang jelas untuk memastikan kepastian lahan dan pembayaran hak ulayat yang layak, dan adil.
Perusahaan tanah adat di kabupaten Keerom perusahaan perkebunaan perkebunan sawit, seperti PT Perusahaan Negara (PN) II, telah menjadi pusat perselisihan dengan masyarakat adat yang merasa kehilangan tanah ulayat mereka. Selain itu, aktivitas tambang emas ilegal di sungai Takai, distrik Senggi, juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan tanah adat.
Perampasan tanah adat, salah satunya perusahaan sawit, khususnya PT PN II, telah menempati lahan adat masyarakat Keerom yang luasnya melebihi kesepakatan awal, yaitu 5.000 hektare yang seharusnya dikelola sebagai lahan sawit.
Faktanya adalah masyarakat adat Keerom tidak mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan luas lahan mereka yang digunakan oleh perusahaan sawit tersebut. Banyak buruh di perkebunan sawit. Maka terjadilah pecah belah masyarakat adat. Pemerintah dan perusahaan sawit diduga memecah belah masyarakat adat dengan melakukan negosiasi dan memberikan janji-janji yang menguntungkan sebagian kelompok.
Ancaman Lingkungan
Penebangan pohon-pohon yang liar dan eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah, dan termasuk kehilangan keanekaragaman hayati, mempotensi akan mengakibatkan ancaman banjir.
Ada beberapa ahli lingkungan menyampaikan bahwa kerusakan hutan di Keerom juga dipicu oleh kebijakan pemerintah yang cenderung mendukung investasi besar-besaran tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan masyarakat adat.
Adapun perlawanan masyarakat terhadap perusahaan kelapa sawit bertujuan untuk menuntut perubahan karena telah merusak lingkungan dan melindungi wilayah adat mereka yang terancam oleh aktivitas perkebunan sawit. Perlawanan ini seringkali melibatkan aksi damai, gugatan hukum, dan pemortalan jalan sebagai bentuk penolakan terhadap kehadiran perusahaan tersebut.
Adapun mengatasi masalah kerusakan tanah adat harus melibatkan pendekatan yang menggabungkan upaya fisik, hukum, dan sosial. Upaya fisik meliputi rehabilitasi struktur tanah melalui penambahan bahan organik, peningkatan keanekaragaman tanaman, dan pengelolaan air yang berkelanjutan.
Secara hukum, pentingnya untuk memastikan hak tanah adat diakui dan dilindungi melalui sertifikasi dan pendapatan tanah. Secara sosial, diperlakukan komunikasi yang efektif dan penyelesaian sengketa melalui mediasi dan musyawarah adat.
Perusahaan Wajib Patuhi Peraturan Hukum
Setiap perusahaan harus mematuhi peraturan hukum mengenai tanah adat. Peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkebunan, mengatur tentang bagaimana perusahaan dapat memanfaatkan tanah adat mereka, termasuk kewajiban musyawarah dan persetujuan dengan masyarakat adat terkait penyerahan tanah adat mereka dan ganti rugi.
Perusahaan yang membabat hutan adat tanpa izin dari kepala suku, maka dikenai sanksi pidana menurut Undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Atau dengan kata lain, perusahaan harus memahami dan mematuhi keseluruhan peraturan hukum yang berlaku terkait tanah adat untuk menghindari sengketa, konflik dan sanksi pidana. (*)