Oleh: Mirah Lanio Wenda)*
)* Penulis adalah mahasiswa HI FISIP Uncen
Pengantar
Kampung Yoka, sebuah kampung yang terletak di pinggiran Danau Sentani dan di kaki Pegunungan Cyclops, Jayapura. Selama ini dikenal dengan kekayaan alam dan budayanya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Kampung Yoka menghadapi kenyataan pahit, yakni krisis air bersih yang kian mengancam kehidupan sehari-hari mereka. Fenomena ini bukan terjadi secara tiba-tiba. Ia merupakan akibat dari kombinasi kompleks antara perubahan iklim, kerusakan lingkungan, serta minimnya perhatian terhadap infrastruktur dasar, terutama sistem penyediaan air bersih.
Secara administrasi, Kampung Yoka merupakan salah kampung di distrik Heram, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Indonesia.
Penyebab Krisis Air Bersih
Perubahan iklim global telah memberikan dampak langsung terhadap pola cuaca di Tanah Papua. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa terjadi pergeseran musim hujan dan musim kemarau yang tidak menentu di wilayah Papua, termasuk Jayapura. Akibatnya, kampung-kampung yang bergantung pada sumber mata air alami, seperti Kampung Yoka, mengalami penurunan debit air yang signifikan.
Selain itu, deforestasi di kawasan Pegunungan Cyclops menjadi salah satu faktor penting yang memperparah krisis. Laporan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Papua tahun 2023 menunjukkan bahwa hutan lindung di kawasan ini terus tergerus oleh aktivitas pembukaan lahan, pembalakan liar, dan pembangunan. Hutan yang seharusnya menjadi spons alami untuk menyerap dan menyimpan air hujan kini kehilangan fungsinya. Air tidak lagi tertahan di lapisan tanah, tetapi langsung mengalir menjadi limpasan permukaan, yang menyebabkan sumber air cepat mengering di musim kemarau dan banjir di musim hujan.
Infrastruktur air bersih yang ada di Kampung Yoka pun tidak memadai. Banyak warga masih mengandalkan sumur tradisional dan mata air alami yang tidak terlindungi dari pencemaran. Tidak adanya sistem distribusi air bersih dari pemerintah membuat masyarakat harus berjalan jauh untuk mengambil air, yang belum tentu layak konsumsi.
Dampak Krisis Air Bersih
Dampak krisis air bersih di Kampung Yoka sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kesulitan akses air bersih menjadi beban harian, terutama bagi ibu-ibu dan anak-anak. Dalam wawancara dengan beberapa warga setempat, mereka mengaku harus berjalan lebih dari satu kilometer hanya untuk mendapatkan seember air bersih.
Masalah ini tidak hanya berdampak pada kehidupan domestik, tetapi juga pada kesehatan masyarakat. Dinas Kesehatan Kota Jayapura mencatat peningkatan kasus penyakit kulit, diare, dan infeksi saluran pencernaan yang berkaitan dengan penggunaan air yang tidak higienis. Kekurangan air bersih juga memengaruhi kebersihan lingkungan dan kualitas hidup secara umum.
Secara ekonomi dan sosial, krisis ini memperlambat produktivitas. Aktivitas pertanian kecil dan peternakan terganggu karena minimnya air untuk irigasi dan kebutuhan ternak. Waktu yang seharusnya digunakan untuk kegiatan produktif justru habis untuk mencari air. Hal ini memperburuk ketimpangan sosial dan membuat masyarakat kian rentan terhadap kemiskinan.
Tanggapan Masyarakat
Warga Kampung Yoka menunjukkan keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi ini. Ada kekhawatiran besar bahwa jika situasi ini tidak segera ditangani, generasi mendatang akan tumbuh dalam kondisi yang lebih buruk. Banyak tokoh adat dan pemuda desa mulai menyuarakan kebutuhan akan perubahan, baik dalam bentuk kebijakan maupun kesadaran kolektif.
Beberapa inisiatif lokal pun mulai muncul. Masyarakat melakukan penghijauan secara swadaya, membersihkan sumber mata air, dan mendiskusikan solusi dalam forum kampung. Mereka juga mengikuti pelatihan yang diberikan oleh organisasi lingkungan untuk memahami dampak perubahan iklim dan bagaimana cara mitigasinya.
Namun, semua ini belum cukup jika tidak mendapat dukungan sistemik dari pemerintah dan pihak terkait.
Peran Pemerintah dan Pihak Lain
Pemerintah memiliki tanggung jawab utama untuk menjamin hak dasar masyarakat, termasuk akses terhadap air bersih. Sayangnya, hingga kini intervensi pemerintah di Kampung Yoka masih sangat terbatas. Proyek penyediaan air bersih sering tidak berkelanjutan, dan tidak memperhatikan kondisi geografis serta kearifan lokal.
Diperlukan komitmen yang lebih besar dari pemerintah daerah dan pusat untuk memperbaiki infrastruktur air, membangun sistem distribusi yang layak, serta menjaga kawasan hulu dari eksploitasi. Selain itu, sinergi dengan organisasi masyarakat sipil dan lembaga internasional perlu diperkuat untuk mendukung inisiatif masyarakat dan meningkatkan kapasitas lokal dalam menghadapi krisis.
Penting pula membangun kesadaran kolektif di kalangan masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan sebagai sumber kehidupan. Pendidikan iklim dan pelibatan anak muda dalam kampanye pelestarian lingkungan harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang.
Solusi dan Harapan
Solusi terhadap krisis air bersih di Kampung Yoka tidak bisa bersifat parsial. Ia harus mencakup:
- Pembangunan infrastruktur air berkelanjutan – seperti instalasi penampungan air hujan, sumur dalam yang terlindungi, dan sistem distribusi berbasis energi terbarukan.
- Perlindungan kawasan hulu dan konservasi hutan – dengan memberdayakan masyarakat adat sebagai penjaga kawasan Pegunungan Cyclops dan memberikan insentif atas jasa lingkungan.
- Pendidikan dan kesadaran perubahan iklim – dengan memasukkan isu ini dalam kurikulum lokal dan program komunitas.
- Kemitraan multipihak – melibatkan pemerintah, LSM, sektor swasta, dan lembaga adat dalam perencanaan dan pelaksanaan solusi.
Harapan kami sebagai masyarakat Kampung Yoka adalah agar suara kami didengar dan kondisi ini segera ditangani. Air bukan hanya kebutuhan, tapi sumber kehidupan. Jika tidak ada tindakan segera, maka bukan hanya air yang hilang, tetapi juga harapan dan masa depan kami.
Sudah saatnya perubahan iklim dan krisis air tidak lagi dipandang sebagai isu global semata, tetapi sebagai kenyataan lokal yang memerlukan solusi nyata, cepat, dan berkelanjutan. (*)