JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika dan IPA (FMIPA) Universitas Negeri Makassar (UNM) menggelar seminar dan diskusi dengan tema ‘Masa Depan Pendidikan di Bawa Rezim Militer Prabowo-Gibran’.
Kegiatan itu dilakukan di Pelataran Science Square Fakultas FMIPA pada 23 Mei 2025. Mahasiswa Papua di Makassar turut diundang untuk berbagai pengalaman tentang situasi yang ada saat ini di Indonesia.
Narasumber dalam kegiatan tersebut adalah A.M. Ghazi Rizqullah dari Front Mahasiswa Nasional Ranting UNM, Natho Bukega, anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Natho Bukega, Anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Kota Makassar dalam paparannya mengatakan adanya ancam besar bagi demokrasi di Indonesia dengan hadirnya militer di area sipil.
Selain itu kata dia militer juga masuk hingga di ruang-ruang akademik yang mestinya bebas dari tekanan atau kehadiran aparat militer. Ini kebijakan Negara secara sistematis dan terstruktur di bawa rezim Prabowo dan Gibran telah mengancam ruang kebebasan sipil di Negara demokrasi.
“Berbahaya di mana kita melihat kebijakan negara hari ini lewat rezim Prabowo Ggibran secara sistemis, terstruktur mengizinkan militer intervensi dalam area sipil dan sosial. Tidak sampai di situ tapi intervensi militer juga hingga di basis akademik. Ini tidak terlepas dari rezim 30 tahun berkuasanya presiden Soeharto,” kata Natho dalam diskusi itu.
Dalam pemaparannya itu Natho mengatakan, iika militerisme sudah intervensi dalam area sipil, maka kebebasan setiap individu warga negara dari berbagai sektor akan terancam, enta itu kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat di muka umum, bahkan akan dibatasi setiap ruang gerak hingga di lapangan kerja. Semua ini tampak ada dan diintervensi militer.
“Kita bisa melihat di mana negara hari ini sudah tidak sehat lagi, artinya segala aturan yang ditetapkan oleh rezim Prabowo Gibran hanya demi kepentingan orang-orang yang punya kekuasaan di atas, bukan demi kepentingan rakyat di bawah. Nah ini sangat bertentangan dan kontradiksi dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 yang mengatur tentang pendidikan,” jelasnya.
Lanjutnya yang mana dalam pasal 31 itu menyebutkan bahwa (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan bangsa dan negara.
Di situ jelas kata dia bahwa adanya landasan konstitusional bagi pengembangan sistem pendidikan namun melihat dengan realita hari ini , belum tuntas karena dalam poin dua itu sudah jelas artinya untuk mencerdaskan anak bangsa negara harus memberikan jaminan pendidikan gratis, bukan seperti kebijakan sistem pendidikan yang ada hari ini.
“Seharusnya pendidikan negeri di Indonesia, baik dari SD sampai universitas itu digratiskan, bukan bayar membayar. Kalau sistem pendidikan hanya bayar membayar berarti hanya memberikan keuntungan kepada negara dengan merugikan rakyat.”
Selain itu kata dia karena sistem yang mengekang ini, maka terjadi juga pengangguran pada anak bangsa di mana mana. Ini semua karena negara tidak mampu menjaminnya.
Lebih lanjut kata dia jika kontekskan sistem pendidikan Indonesia di Papua, maka kompleksitasnya sangat besar dan jauh dari kata cerdas. Sangat jauh dari kata maju, karena kurikulum yang diajarkan di sana (Papua) tidak sesuai dengan konteks pendidikan yang ada di Indonesia.
Dikatakan intervensi militer Indonesia di arena pendidikan, kesehatan dan lain-lain di Papua adalah bukan hal yang baru. Hal itu dimulai sejak 63 tahun lalu. Kebijakan ini sudah ada, seperti kebijakan militer yang sewenang wenang dalam arena sipil, yang artinya militer yang menyamar sebagai guru dan militer yang menyamar sebagai tenaga kesehatan.
“Jadi intervensi militer itu sudah ada kalau kita kontekskan kondisi objektif di Papua. bagi kawan-kawan Indonesia itu adalah hal yang baru, tapi dari kacamata orang Papua, itu bukan cerita baru lagi, tapi itu adalah cerita lama yang sedang membusuk dalam tubuh negara ini.”
Natho juga menyinggung soal coretan seragam sekolah dengan motif bendera Bintang Kejora yang selama ini dilakukan oleh-siswa-siswi di Papua.
Menurutnya sebenarnya itu muncul dari kesadaran diri siswa-siswi itu sendiri sebagai respon dari kebijakan negara melalui aparat militer yang pernah dilakukan terhadap orang tua mereka.
“Kalau kita bertanya kenapa kesadaran pelajar itu muncul dan terlalu nampak jawabannya hanya simpel yakni karena kebijakan negara yang tidak manusiawi terhadap orang tua mereka, keluarga mereka, soal ketidakadilan, pelanggaran HAM, rasisme, operasi militer ketidaksetaraan pendidikan dalam kurikulumnya. Itu yang membuat setiap generasi selalu menujukan nasionalismenya kepada negara dan publik.”
“Jadi jika kebijakan militer Indonesia kepada rakyat sipil yang terus terjadi maka, ruang kebebasan dan demokrasi bagi individu maupun kelompok sangat terancam.”
“Apalagi kita tahu Prabowo hari ini latar belakangnya adalah seorang militer yang punya kasus pelanggaran terbesar di Indonesia. Maka tentu saja dia akan menjalankan sistem negara dengan watak militeristik.”
Oleh sebab itu melihat persoalan hari ini maka kaum akademik yang terdidik, sebagai mahasiswa yang harus dilakukan adalah lawan untuk mengakhiri segala persoalan yang ada ini.