SORONG, SUARAPAPUA.com— Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) terus mendesak pemerintah kabupaten Raja Ampat, pemerintah provinsi Papua Barat Daya dan pemerintah Pusat untuk segera mencabut izin usaha pertambangan di Raja Ampat
Wilayah Kabupaten Raja Ampat terdiri dari gugusan pulau daratan dan perairan laut. Ada 610 pulau-pulau kecil dengan panjang garis pantai 753 km, dengan ekosistem yang sangat kaya dan beragam.
Wilayah laut dan darat seluas 4,6 juta hektar merupakan rumah bagi 540 jenis karang, 1.511 spesies ikan, dan ribuan biota laut lainnya kini sedang berada dalam ancaman industri ekstra aktif.
Koordinator Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA), Yohan Sauyai dalam keterangannya mengatakan pemerintah memberikan izin kepada korporasi untuk menguras kekayaan alam dan penambangan nikel kepada segelintir perusahaan.
Akibatnya kata dia operasi perusahaan tambang nikel menimbulkan permasalahan sosial ekonomi dan kerusakan lingkungan skala luas.
“Saat ini, pemerintah memberikan izin baru kepada PT Mulia Raymond Perkasa untuk perluasan dan operasi pertambangan nikel di pulau Manyaifun dan Batang Pele, Kabupaten Raja Ampat. Bisnis ekstraktif ini menimbulkan ancaman serius terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pencemaran perairan laut, hilangnya hutan, mengancam ekologi dan keanekaragaman hayati ekosistem bawah laut dan darat di kabupaten Raja Ampat,” kata Yohan pada, Senin (26/5/2025) di Waisai Raja Ampat.
Oleh sebab itu kata dia pihaknya melakukan aksi yang dilakukan ratusan masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan pelaku pariwisata yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) melakukan aksi protes menolak aktivitas dan izin pertambangan nikel Raja Ampat di Kantor DPRD Kabupaten Raja Ampat.
Aksi ini merupakan serangkaian penolakan yang telah dilakukan ALJARA pada bertemun dengan perwakilan DPRD dan pemerintah daerah Kabupaten Raja Ampat pada Maret 2025, namun belum ada hasil yang positif.

Menurutnya, kehadiran aktivitas pertambangan nikel PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di wilayah pulau Batang Pele dan Manyaifun akan berdampak terhadap kerusakan ekologi di pesisir pulau, nelayan lokal menjadi kesulitan untuk menemukan ikan saat melaut.
“Kesulitan akan terjadi, karena limbah dari aktivitas tambang nikel akan berakhir di pesisir atau laut dan memicu kerusakan terumbu karang yang menjadi habitat ikan dan biota laut.”
“Masyarakat setempat di wilayah pulau Batang Pele dan Manyaifun secara turun temurun hidup menggantungkan diri pada sumber daya alam, sebagai nelayan tradisional, petani, pelaku pariwisata. Karenanya masyarakat tidak menginginkan kerusakan lingkungan akibat industri nikel, akuisisi lahan pertanian, degradasi sumber air bersih, dan kerusakan sumber perikanan, yang mempersulit kehidupan sosial masyarakat,” ujarnya.
Maka itu, ALJARA menuntut dan mendesak pemerintah mencabut dan menghentikan izin PT Mulia Raymond Perkasa.
ALJARA juga menolak ekspansi dan eksploitasi perusahaan pertambangan nikel PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Batang Pele, serta meminta pemerintah mengevaluasi semua izin pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat.
“Kami tidak butuh janji manis. Kami butuh tindakan nyata menyelamatkan Raja Ampat, sekarang juga,” kata Yohan Sauyai.
Aksi itu direspon Bupati Raja Ampat, Orideko Iriano Burdam yang didampingi Wakil Bupati Raja Ampat, Mansyur Syahdan, Ketua DPRD Raja Ampat, Mohammad Taufik Sarasa, Wakapolres Raja Ampat, dan beberapa anggota DPRD Raja Ampat.
Dalam poin penyampaiannya mengatakan dirinya sebagai kepala daerah akan menindaklanjuti terkait tuntutan, aspirasi masyarakat ke pemerintah pusat.
Bupati berujar, berbagai kewenangan di beberapa bidang seperti perikanan, pertambangan dan pariwisata diatur oleh pemerintah pusat.
“Kewenangan pemerintah daerah dibatasi. Namun apa yang menjadi tuntutan masyarakat Raja Ampat sebagai kepala daerah tetap kami akan menindaklanjuti aspirasinya,” ujarnya.