Oleh: Adelaida Selebo)*
)* Penulis adalah perempuan Papua penggemar senja, tinggal di Teluk Cenderawasih
Beberapa waktu lalu, saya menonton film Killers of the Flower Moon. Sebuah karya film yang disutradarai oleh Martin Scorsese dan dibintangi oleh Leonardo DiCaprio, Lily Gladstone, serta Robert De Niro. Ceritanya diadaptasi dari buku non-fiksi karya David Grann yang mengisahkan pembunuhan sistematis terhadap suku Osage di Amerika. Isi film ini sangat menyayat hati, selain karena diangkat dari kisah nyata, juga karena sangat kontras dengan apa yang terjadi dan dialami oleh orang Papua di Tanah Papua.
Judul film ini sendiri memiliki makna yang sangat simbolik dan penuh luka. Flower Moon dalam tradisi suku asli Amerika merujuk pada bulan purnama di musim semi, saat bunga-bunga bermekaran-simbol harapan, kehidupan baru, dan kebangkitan. Namun, kata killers merusak semua itu. Film ini bukan sekadar tentang pembunuhan fisik, tetapi juga tentang pembunuhan harapan, budaya, dan masa depan sebuah bangsa yang sedang tumbuh. Ketika saya menonton film ini, saya seperti sedang bercermin. Saya melihat kisah suku Osage. Pada saat yang sama, saya mendengar jeritan hati yang masih hidup dari tanah kelahiran saya: Papua.
Film ini berlatar situasi di Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Ia menceritakan tragedi yang menimpa suku Osage, penduduk asli Oklahoma. Setelah ditemukannya minyak di tanah mereka, suku Osage menjadi salah satu komunitas terkaya di dunia pada masanya. Namun kekayaan itu membawa petaka. Orang-orang kulit putih datang bukan untuk membantu, melainkan untuk menguasai. Mereka menikahi perempuan Osage agar bisa mendapatkan hak atas tanah dan warisan minyak. Di balik senyuman dan pernikahan yang tampak sah itu, terjadi pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan secara perlahan dan terselubung-racun, tembakan, kecelakaan yang direkayasa. Hal-hal ini terjadi juga pada orang Papua di tanah Papua. Semua dilakukan demi satu tujuan, yakni mengambil alih kekayaan yang bukan milik mereka. Negara dan sistem hukum pun tidak segera bertindak. Banyak aparat justru ikut terlibat atau berpura-pura tidak tahu.
Lebih dari sekadar kekerasan fisik, penjajah juga melakukan penghancuran yang lebih dalam-pada struktur sosial dan jiwa masyarakat Osage. Bukan hanya perempuan yang dijadikan alat untuk mendapatkan kekayaan melalui pernikahan, tetapi para laki-laki pun dilemahkan. Mereka dibuat bergantung pada alkohol, dipengaruhi oleh gaya hidup konsumtif, dan dijauhkan dari identitas serta kekuatan komunitasnya. Alkohol, hiburan, dan uang menjadi alat perlahan untuk menjauhkan mereka dari kebanggaan terhadap tanah dan budaya mereka sendiri. Mereka dibuat lupa, tidak peduli, dan pada akhirnya mudah dikendalikan. Penjajahan ini tidak hanya merampas kekayaan, tetapi juga merusak jiwa.
Ketika saya menonton film ini, saya merasa seolah sedang menyaksikan kisah dari tanah saya sendiri. Papua juga adalah tanah yang kaya raya: emas, tembaga, hutan, laut, dan segala bentuk sumber daya alam yang tak ternilai harganya. Namun seperti suku Osage, masyarakat Papua tidak menikmati hasil dari tanah mereka sendiri. Perusahaan besar seperti Freeport mengeruk isi perut tanah kami, tetapi yang kami lihat hanyalah kemiskinan, penggusuran, dan kekerasan yang tidak kunjung selesai. Kami dijanjikan pembangunan, tetapi dalam banyak hal justru kehilangan kendali atas tanah, adat, dan kehidupan kami sendiri. Kami didekati secara halus, dibuat bergantung pada bantuan, pada sistem yang tidak kami rancang, dan perlahan-lahan kami terpinggirkan di atas tanah yang sudah kami jaga sejak sebelum peta Indonesia ada.
Kami pun menyaksikan hal yang sama terjadi di Papua hari ini. Alkohol dan ketergantungan pada hiburan dan gaya hidup modern merusak generasi kami, laki-laki maupun perempuan. Banyak pemuda kehilangan arah, kehilangan masa depan, terlepas dari akar budaya, dan semakin jauh dari semangat untuk menjaga tanahnya. Ketika kami berbicara, kami dicap separatis. Ketika kami diam, kami dianggap pasrah. Padahal kami hanya ingin hak kami didengar, dihargai selayaknya manusia dan dihormati.
Saat ini, suku Osage masih ada dan tetap bertahan di tengah luka sejarah mereka. Mereka tinggal di wilayah Osage County, Oklahoma, dan terus berjuang memulihkan warisan dan martabat mereka. Populasi mereka sekitar 20.000 orang, dan mereka telah berhasil membentuk pemerintahan suku sendiri dengan sistem hukum, pendidikan, dan ekonomi yang lebih mandiri. Namun luka masa lalu tetap membekas. Hingga hari ini, banyak keturunan Osage masih berjuang mencari keadilan bagi leluhur mereka yang dibunuh dalam konspirasi yang pernah ditutupi begitu lama oleh negara.
Papua, bagi saya, juga adalah tanah surga, bagaikan taman bunga yang cantik. Tanah dengan potensi dan harapan yang begitu besar, namun sedang dihancurkan oleh kepentingan yang lebih besar daripada hidup masyarakatnya sendiri. Tanah kami berbunga, namun sedang dilukai. Masa depan kami tumbuh, namun ditekan. Generasi kami ingin terbang, namun terus dibatasi oleh ketidakadilan.
Film Killers of the Flower Moon bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah peringatan. Penjajahan tidak selalu datang dengan senjata. Ia bisa datang dalam bentuk cinta palsu, kontrak hukum, pembangunan yang menindas, dan sistem yang seolah legal tetapi menghancurkan secara perlahan. Kisah Osage mengingatkan saya, dan semoga mengingatkan kita semua, bahwa tanpa kesadaran dan keberanian untuk bersuara, sejarah bisa terus berulang.
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi untuk menyadarkan kita semua bahwa orang Papua bukan cerita masa lalu yang selesai. Kami masih ada, kami masih menjaga tanah kami, kami masih bernyanyi dan menari dengan adat kami, kami masih ingin hidup dengan damai di tanah kami sendiri. Kami hanya ingin satu hal: dihargai sebagai manusia yang utuh. (*)