Oleh: Oktovianus Pekei*
*) Pengamat Konflik Papua, Dosen STK “Touye Paapaa” Deiyai
Tanah Papua yang kini dimekarkan menjadi 6 provinsi menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang masih tercatat sebagai daerah rawan konflik. Hal itu disebabkan karena konflik dan kekerasan selalu mewarnai dinamika hidup masyarakat Papua. Konflik horizontal antar kelompok masyarakat sipil seringkali muncul dalam situasi tertentu. Aksi-aksi protes atas kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat menjadi sorotan utama para demonstran. Aspirasi memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah lama disampaikan kepada publik yang hingga kini masih terdengar.
Demikian pula aksi-aksi kekerasan antar kelompok bersenjata yang bermotif politis dan ekonomi tidak pernah berakhir. Jatuhnya korban jiwa antar pihak baik Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) maupun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), bahkan masyarakat sipil pun tak dapat dibantah. Tuntutan dibukanya ruang demokrasi, penegakkan hukum secara adil dan perlunya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masih terdengar suaranya dalam aksi demonstrasi. Situasi ini menunjukkan bahwa konflik yang disertai dengan kekerasan telah mengorbankan banyak nyawa baik dari kalangan bersenjata maupun masyarakat sipil akibat belum diselesaikannya konflik Papua.
Dalam rangka menanggapi tuntutan masyarakat Papua untuk memisahkan diri tersebut, pemerintah pusat memberikan Otonomi Khusus (Otsus). Pemerintah pusat menganggap Otsus sebagai solusi penyelesaian atas semua persoalan di Tanah Papua. Pertanyaannya, apakah konflik Papua telah ditangani dalam kerangka Otsus? Sejauhmana penerapan Otsus berhasil meredam aspirasi memisahkan diri?
Harapan pemberlakuan Otsus justru berbanding terbalik dengan kenyataan. Fakta menunjukkan bahwa tuntutan memisahkan diri masih disuarakan di era Otsus. Kekerasan dalam berbagai bentuk pun terjadi dimana-mana di seluruh Tanah Papua. Kekerasan bersenjata makin mengemuka akibat penyampaian aspirasi secara damai tertutup kemungkinan. Kekerasan dijadikan sebagai cara menyelesaikan konflik di Tanah Papua. Situasi ini berlangsung lama baik sebelum maupun setelah kebijakan Otsus diterapkan.
Menyadari atas situasi di Tanah Papua yang kian terpuruk tersebut, muncul ide dialog secara bermartabat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Papua kepada Presiden RI. Dialog yang dikenal dengan istilah “Dialog Nasional” yang diwakili oleh 100 orang perwakilan masyarakat Papua dengan Presiden RI di Istana Negara di Jakarta tersebut, hasilnya tidak menyelesaikan berbagai persoalan di Tanah Papua dan konflik kekerasan terus berlanjut. Kemudian muncul ide dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan konflik Papua yang berkepanjangan.
Ide dialog Jakarta-Papua yang ditawarkan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) sebagai salah satu alternatif yang bisa digunakan para pihak yang berkonflik untuk mengambil langkah demi membicarakan persoalan-persoalan utama dari masing-masing pihak hingga menghasilkan solusi secara damai dan bermartabat. Di lain pihak, JPD pun menyadari bahwa dialog sebagai sebuah ide yang ditawarkan, maka tak menutup kemungkinan bagi para pihak untuk dapat menempuh cara atau jalan penyelesaian konflik yang dianggap tepat dan bermartabat. Lantas, sejauhmana sikap pemerintah atas dialog Jakarta-Papua tersebut?
Otonomi Khusus: Solusi?
Dalam rangka mengatasi konflik Papua, pemerintah menerapkan Otsus sebagai solusi dengan memberikan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Lantas, pertanyaannya: Sejauhmana Otsus telah mengakomodir aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua?
Bagi pemerintah pusat, masalah Papua yang membutuhkan penanganan segera adalah kemiskinan, pembangunan sosial, dan ekonomi yang timpang dari provinsi-provinsi lain di Indonesia, pengakuan budaya dan hak berpolitik. Isu sejarah integrasi Papua menurut pemerintah dianggap sudah selesai sekalipun bagi orang Papua dan sejumlah kelompok perlawanan masih dianggap belum selesai. Oleh karena itu, Otsus diberlakukan di Papua untuk menjawab persoalan terjadinya pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua, sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi antara provinsi Papua dengan provinsi lain di Indonesia, meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua dan memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua. Juga munculnya kesadaran masyarakat Papua akan pemenuhan hak-hak dasarnya dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pelanggaran HAM penduduk asli Papua pun turut melatarbelakangi kebijakan Otsus tersebut.
Pertanyaannya, apakah ketimpangan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya sebagai penyebab konflik Papua? Apakah aksi-aksi protes dengan tuntutan memisahkan diri “merdeka” tidak muncul pasca penerapan Otsus?
Otsus dianggap sebagai pencapaian positif setelah ‘internal colonialism’ untuk menunjuk pada agresi militer rejim otoriter berakhir. Namun, sebagian kalangan menilai Otsus gagal, karena pendekatan Otsus belum berhasil meredam gejolak politik masyarakat Papua. Pembangunan melalui Otsus hanya menekankan pada aspek ekonomi dan mengesampingkan aspek budaya lokal. Juga ada kalangan yang berpendapat bahwa sekalipun pemerintah berkomitmen untuk membangun Papua, implementasi Otsus dinilai banyak pihak tidak efektif, tidak teratur dan tidak sistematis.
Otsus diyakini sebagai solusi untuk satu dimensi persoalan semata (kesejahteraan ekonomi, pemerataan hasil-hasil pembangunan). Sedangkan dimensi pengakuan terhadap hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dituntut selama ini belum terakomodir dengan baik, apalagi menyelesaikan persoalan integrasi Papua dalam Indonesia yang masih terus diperdebatkan. Sementara itu, beberapa faktor yang menyebabkan Otsus dikatakan gagal.
Pertama, penerapan Otsus yang tidak didukung oleh solusi damai (tetapi faktanya solusi keamanan) membuka peluang politisasi Otsus baik di level pemerintahan pusat dan daerah. Konflik yang muncul sengaja dibiarkan tanpa upaya akomodatif atau langkah-langkah penyelesaian secara damai, bermartabat dan menyeluruh. Dalam situasi demikian, para pihak berwenang malahan mudah saling melemparkan tanggungjawab.
Kedua, solusi keamanan bertentangan dengan semangat dan substansi Otsus dalam hal penegakan HAM, keadilan, dan demokrasi masyarakat Papua. Pendekatan keamanan yang masih terus dikedepankan di era Otsus menjadi hambatan tersendiri dalam menegakkan HAM, upaya-upaya keadilan sosial dan membuka ruang demokrasi. Peristiwa-peristiwa kekerasan fisik maupun bersenjata terus terjadi. Jatuhnya korban nyawa tak dapat dihindarkan dalam situasi konflik bersenjata.
Ketiga, pemerintah yang masih cenderung menerapkan pendekatan-pendekatan lama yang sentralistik, seperti munculnya Inpres nomor 21 tahun 2003 tentang pelaksanaan UU nomor 45 tahun 1999 yang mengatur pemekaran provinsi Papua dan UU nomor 32 tahun 2004 yang menekankan implementasi otonomi pada tingkat kabupate/kota —kedua UU telah menyalahi UU nomor 21 tahun 2001 mengenai otonomi dengan penekanan implementasinya pada tingkat provinsi. Juga penerapan UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diterapkan dalam situasi pro kontra antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta gejolak penolakan oleh mayoritas masyarakat di Tanah Papua.
Keempat, kapasitas kelembagaan masih lemah. Majelis Rakyat Papua (MRP) berfungsi hanya sebatas simbol kultural dan belum mampu mempengaruhi keputusan politik.
Kelima, pelaksanaan Otsus cenderung lambat dengan peraturan pelaksana yang sebetulnya, padahal prosesnya bisa jauh lebih cepat. Perdasus, Perdasi dan Keppres selalu lambat hingga bertahun-tahun. Demikian pula tidak pernah disahkan partai politik lokal sepanjang 25 tahun pasca penerapan Otsus.
Keenam, tidak ada upaya pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pembentukan Pengadian HAM untuk menyelesaikan Kasus-kasus pelanggaran HAM masih jauh dari harapan akibat hanya sebatas catatan pasal dalam UU. Demikian pula pembentukan KKR untuk melakukan klasifikasi sejarah Papua dan upaya merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi tidak pernah dibahas sepanjang 25 tahun pasca penerapan UU Otsus.
Menyadari atas Otsus yang dinilai gagal tersebut, maka Majelis Rakyat Papua (MRP) provinsi Papua dan Papua Barat memfasilitasi wakil-wakil Orang Asli Papua (OAP) dari 7 wilayah adat Tanah Papua (Mamta/Tabi, Saireri, Doberai, Bomberai, Anim Ha/Ha-Anim, La-Pago dan Mee-Pago) melakukan evaluasi implementasi Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua versi Orang Asli Papua di Hotel Sahid Papua, Jayapura pada tanggal 24 – 27 Juli 2013 silam. Evaluasi Otsus versi OAP bertajuk “Rapat Dengar Pendapat Dalam Rangka Evaluasi Otonomi Khusus Papua” tersebut menghasilkan dua rekomendasi.
Pertama, Implementasi UU Otsus telah gagal dan pemerintah harus buka ruang dialog antara rakyat Papua dengan pemerintah pusat yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan di tempat netral pula.
Kedua, Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak boleh diamandemen sebelum melakukan dialog Jakarta-Papua sebagaimana disebutkan pada point 1 rekomendasi ini. Sekalipun demikian, pemerintah pusat menganggap Otsus penting dan positif sekalipun pemerintah pusat tahu sejauhmana implementasinya sedang tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah hanya memikirkan ukuran keberhasilan Otsus yaitu tata kelola dana Otsus, efektivitas keterwakilan di MRP, dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua serta bina kapasitas aparat birokrasi di Papua. Di lain pihak, pemerintah merespons cepat atas kegagalan Otsus tersebut dengan mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Namun, kebijakan tersebut implikasinya tidak terlihat dampaknya dan dianggap gagal. Kemudian, pemerintah mengusahakan revisi UU Otonomi Khusus Papua dengan ‘Otonomi Khusus Plus’. Proses revisi UU Otonomi Khusus Papua diserahkan kepada Gubernur Papua (saat almarhum bapak Lukas Enembe) beserta pihak-pihak yang berkepentingan di Papua.
Setelah UU Otsus Plus dirumuskan dan diserahkan pemerintah provinsi Papua kepada pemerintah pusat, malahan muncul perdebatan yang sengit antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua akibat beberapa pasal yang diusulkan pemerintah daerah Papua tidak disetujui oleh pemerintah pusat. Akhirnya, pemerintah daerah Papua menyatakan sikap tidak mau urus revisi UU Otsus. Kondisi tersebut berjalan hingga Gubernur Papua (Alm. Lukas Enembe) ditangkap dan dipenjara sampai meninggal dunia ketika sedang menjalani proses hukum di pengadilan.
Pemerintah pusat berjalan terus secara sepihak dengan menerapkan UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan disahkan pada 19 Juli 2021. Setahun kemudian, pemerintah pusat pun sahkan tiga UU yaitu UU nomor 14 tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, UU nomor 15 tahun 2022 tentang pembentukan provinsi Papua Tengah, dan UU nomor 16 tahun 2022 tentang pembentukan provinsi Papua Pegunungan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak konsisten dengan UU Otsus dan malah tindakan tersebut menunjukkan bentuk intervensi pemerintah pusat atas pemeritah daerah. Selain itu, pemerintah pusat hanya berkonsentrasi melakukan perubahan Undang-Undang, tetapi tidak menjalankan isi pasal-pasal yang berkaitan dengan penyelesaian konflik di Papua yang telah ditetapkan dalam UU tersebut.
Dialog Jakarta-Papua: Antara Harapan dan Kenyataan
Tentu publik baik lokal Papua maupun nasional tahu munculnya ide dialog sebagai cara menyelesaikan konflik Papua yang berkepanjangan. Ide dialog Jakarta-Papua yang ditawarkan oleh JDP sebagai salah satu alternatif yang bisa digunakan para pihak yang berkonflik untuk mengambil langkah demi membicarakan persoalan-persoalan utama dari masing-masing pihak, sehingga dapat menghasilkan solusi bersama secara damai dan bermartabat. Sekalipun demikian, para pihak tetap mempertahankan posisi dengan prinsip “Papua Merdeka Harga Mati” dan “NKRI Harga Mati”.
Selama prinsip tersebut dipertahankan dan dikumandangkan, kekerasan pun tak terhindarkan. Kekerasan dianggap pilihan terbaik untuk digunakan dalam berkonflik. Demikian pula, muncul berbagai persoalan lain yang merongrong suasana damai, adil dan berperikemanusiaan di Tanah Papua.
Menyadari konflik yang berkepanjangan hingga pasca pemberlakuan Otsus di Papua tersebut, JDP menawarkan alternatif penyelesaian konflik Papua melalui dialog dengan membicarakan empat persoalan pokok sebagai agenda dialog. Keempat persoalan pokok tersebut ialah: Pertama, masalah kegagalan pembangunan yang berakibat pada marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua; Kedua, Otonomi Khusus yang bertujuan memproteksi Orang Asli Papua dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan serta pengakuan hak-hak dasar masyarakat pribumi; Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Indonesia; dan Keempat, masalah pelanggaran HAM oleh negara terhadap orang asli Papua.
Keempat persoalan ini memang sulit diselesaikan, namun keempat masalah tersebut sangat terkait antara satu dengan yang lain yang tak dapat dipisah atau dilihat secara parsial. Dalam hal ini, upaya menangani konflik Papua tentu tidak bisa bertitik tolak pada persoalan “kebijakan pembangunan”. Sementara, ada pula persoalan lain yakni kekerasan dan pelanggaran HAM serta kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Indonesia. Barangkali kedua persoalan ini dirasa sulit bagi salah satu pihak, namun apabila kedua belah pihak menyadari apa yang menjadi kesalahan atau kelemahan selama ini terhadap pihak lain, maka sikap itu justru akan memudahkan kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan. Lantas, sejauhmana sikap pemerintah selama ini untuk merespons tawaran JDP mengenai pentingnya diselenggarakan dialog Jakarta-Papua tersebut?
Ide dialog Jakarta-Papua mendapat respons dari pemerintah Indonesia maupun oleh beberapa pihak di luar Papua. Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2011 mengatakan bahwa masalah Papua akan diselesaikan melalui dialog. Kemudian pada tanggal 9 November 2011, SBY mengumumkan pentingnya suatu dialog terbuka dengan rakyat Papua untuk mencari dan menyepakati solusi-solusi serta pilihan terbaik atas berbagai masalah di Papua.
Pengumuman disertai penunjukkan Farid Hussain dan Bambang Darmono untuk menyiapkan dialog Papua. Tetapi, mereka hanya bertemu dengan beberapa kalangan di Papua yang berasal dari pemerintah daerah dan beberapa orang secara individu. Hasil dialog dan tindaklanjutnya tidak jelas, sehingga banyak kalangan di Papua mempertanyakan dialog tersebut. Sementara itu, terkesan bahwa dialog tersebut sangat jauh berbeda dengan konsep dialog Jakarta-Papua yang dimaksudkan JDP.
Pada tanggal 20 Juni 20212, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan sikap kesediaan menjadi fasilitator untuk memfasilitasi dialog Jakarta-Papua. Ia mengatakan, “Yogyakarta siap memfasilitasi terwujudnya dialog Jakarta-Papua. Jika memang masyarakat Papua menghendaki hal itu, maka saya berjanji meminta kepada pemerintah pusat supaya terselenggara dialog Jakarta-Papua yang difasilitasi oleh Yogyakarta”. Selanjutnya, tidak ada langkah kongkrit akibat dibutuhkannya keinginan dan persetujuan dari para pihak yakni pihak Papua dan pihak pemerintah RI.
Selanjutnya, pada tanggal 13 Januari 2013, salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) di bidang Hukum dan HAM, Dr. Albert Hasibuan dari Jayapura menyampaikan bahwa Presiden SBY telah menyetujui untuk akan menggelar dialog Jakarta-Papua dalam tahun ini (2013). Dialog yang dimaksudkan tersebut ialah dialog konstruktif. Namun, dialog konstruktif yang disebut-sebut pemerintah tersebut tidak pernah diselenggarakan hingga masa jabatan presiden berakhir.
Dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo alias Jokowi, isu dialog Jakarta-Papua dibicarakan di Istana Negara. Dalam pertemuan tersebut, JDP menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan pentingnya konflik Papua diselesaikan melalui dialog. Sementara itu, perwakilan pemerintah menyampaikan berbagai hal yang berkaitan dengan upaya pemerintah dalam membangun Papua, situasi Papua yang diketahui. Sedangkan, pentingnya dialog Jakarta-Papua perlu koordinasi dengan Presiden untuk menyampaikan hasil pertemuan bersama tersebut.
Pada kesempatan lain, Presiden Jokowi mengatakan, “Saya ke Papua itu saya berdialog dengan masyarakat Papua”. Hal ini menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memahami kunjungan-kunjungan ke Papua sebagai bagian dari dialog. Sementara, dialog Jakarta-Papua yang dimaksudkan JDP adalah bukan kunjungan presiden ke Papua. Dengan demikian, isu dialog hanya sebatas diskusi semata tanpa adanya niat untuk mengambil langkah-langkah menuju terlaksananya dialog Jakarta-Papua hingga masa jabatan Presiden Jokowi berakhir. Presiden Jokowi selama dua periode pemerintahannya tidak berhasil memadamkan konflik di Papua yang masih membara di Indonesia.
Perjalanan panjang konflik Papua yang tidak selesai tersebut menunjukkan bahwa dari masa ke masa pergantian presiden belum ada upaya-upaya serius untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai. Sementara, kebanyakan orang menyadari bahwa konflik Papua harus diselesaikan dengan pendekatan kemanusiaan sambil menghindari terjadi kekerasan. Lantas, apa sikap pemerintah kini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka atas konflik Papua?
Pada masa kampanye saat debat publik, Prabowo Subianto mengatakan, “perlu ada pendekatan dialog dan harus ada keadilan. Tetapi konflik di Papua bukanlah hal yang sederhana, sebab ada faktor-faktor lain yaitu ada faktor geo-politik dan faktor ideologi. Inilah masalahnya, sehingga konflik Papua tidak gampang diselesaikan. Tetapi setuju bahwa kita harus dialog, karena ini masalah bangsa. Semua kekuatan harus rangkul” untuk menyelesaikan masalah Papua (Metro TV, 11 April 20224).
Dalam rangka penyelesaian konflik Papua melalui dialog tersebut, Menko Polhukam (Hadi Tjahjanto, saat itu) menganjurkan pemerintahan Prabowo mengurangi ketergantungan pada operasi militer di Papua (Kompas, 6 Oktober 2024). Salah satu upaya yang direncanakan oleh pemerintahan Presiden Prabowo untuk menangani konflik Papua adalah memberikan Amnesti dan Abolisi kepada orang-orang atau kelompok pro kemerdekaan di Papua, namun rencana tersebut masih dipertimbangkan (BBC, 23 Januari 2025).
Berbeda lagi pernyataan dari Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI, Yusril Ihza Mahendra menanggapi tawaran dari aktivis perdamaian asal Finlandia yang menawarkan diri untuk menjadi mediator dialog antara pemerintah Indonesia dengan kelompok-kelompok di Papua dan kelompok pendukung kemerdekaan Papua di luar Indonesia.
Prof. Dr. Yusril mengatakan bahwa “pemerintah belum memerlukan adanya mediator untuk memfasilitasi perundingan damai dalam menyelesaikan masalah di Papua sebagaimana dilakukan di Aceh” (Kompas, 22 Januari 2025).
Sikap pemerintah dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto atas harapan akan adanya langkah serius untuk membuka dialog Jakarta-Papua ataupun perundingan masih menjadi misteri yang tak dapat dipastikan. Pemerintah belum menunjukkan niat untuk “berdialog” atau “berunding” untuk menyelesaikan konflik Papua. Jikalau penyelesaian secara damai dikesampingkan, apakah pemerintah berkehendak kedepankan pendekatan keamanan? Seberapa jauh pendekatan keamanan dianggap efektif untuk menyelesaikan konflik Papua?
Dalam hal ini, kiranya perlu disadari bahwa bagi mayoritas masyarakat sipil tidak menyetujui atau bahkan menolak pendekatan keamanan. Demikian pula, pendekatan keamanan hanya mengingatkan pengalaman penderitaan masa lalu “memoria passionis” dan malahan menambah amarah dan dendam bagi pihak korban.
Oleh karena itu, siapa saja yang beritikad baik, yang mengedepankan kemanusiaan dan menerima penyelesaian konflik dengan cara damai “nir-kekerasan” tentu kapan pun mengharapkan adanya langkah konkret dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai dan bermartabat demi memutus mata rantai kekerasan yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya.
Lantas, apakah ungkapan Prabowo Subianto saat debat publik bahwa “perlu ada pendekatan dialog untuk menyelesaikan masalah Papua” akan sungguh-sungguh direalisasikan dengan tindakan konkret di masa kepemimpinannya? Entahlah. (*)