JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) menyatakan masyarakat Tangma dan Kurima tak boleh menjadi korban konflik bersenjata hingga mengungsi dari kampung halamannya seperti terjadi di kabupaten Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak, Maybrat, dan daerah lainnya.
Berbicara di hadapan 482 orang dari 13 jemaat di Klasis Tangma Koordinator Yahukimo Gereja Kemah Injil Kingmi Tanah Papua, Minggu (24/5/2025) usai ibadah gabungan, Theo Hesegem, direktur eksekutif YKKMP, mengemukakan pandangan umum tentang perlindungan warga sipil dan situasi di wilayah rawan konflik.
Tim YKKMP hadir di distrik Tangma atas kerja sama Badan Pengurus Klasis Tangma mensosialisasikan kondisi keamanan dan perlindungan terhadap warga sipil di daerah berpotensi konflik bersenjata.
“Kami sosialisasikan kepada semua umat yang hadir ini untuk menjaga keamanan warga sipil. Status masyarakat Tangma tidak boleh menjadi pengungsi seperti yang telah terjadi di daerah lain di Tanah Papua,” ujarnya.
Theo Hesegem juga membeberkan sejumlah hal teknis terkait keamanan warga sipil di sana. Masyarakat menurutnya bebas beraktivitas tanpa diganggu oleh kedua kubu yang berkonflik, baik Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) maupun TNI-Polri.
“Masyarakat dalam setiap aktivitas mereka sehari-hari wajib dilindungi oleh kedua belah pihak,” tegas Theo.

Pembela HAM terkemuka Pegunungan Papua itu menyatakan, “Tangma adalah tempat kelahiran saya. Saya tidak menginginkan terjadi pertumpahan darah di sini. Semua jaga daerah ini, jaga Klasis ini, tetap aman. Aparat TNI-Polri dan TPNPB silakan perang, karena mereka saling berhadapan dengan senjata. Tetapi jangan korbankan masyarakat. Jangan korbankan warga sipil. Jangan korbankan umat Tuhan.”
Theo pertegas lagi, “TNI dan Polri lawan TPNPB itu silakan. Tetapi kedua kubu wajib lindungi masyarakat di daerah konflik bersenjata. Karena hukum humaniter internasional (HHI) memberikan perlindungan terhadap masyarakat sipil dalam konflik bersenjata dengan berbagai prinsip, termasuk larangan menyerang, prinsip pembedaan, proporsional, dan prinsip menghindari penderitaan yang tidak perlu. Tujuan HHI adalah untuk memanusiakan perang dan membatasi kekerasan, sehingga masyarakat sipil tidak menjadi sasaran, dan hak asasi mereka dilindungi.”
HHI lanjut Hesegem, melarang penggunaan kekuatan militer berlebihan terhadap warga masyarakat sipil, serangan terhadap infrastruktur sipil, dan pengepungan yang menyebabkan penderitaan manusia.
“Tindakan tersebut dapat dianggap sebagai kejahatan perang karena melanggar nilai-nilai universal yang penting, bahkan tanpa membahayakan orang atau objek secara langsung, tindakan tersebut meliputi, misalnya penyiksaan mayat dan perekrutan anak-anak di bawah umur 15 tahun kedalam angkatan bersenjata.”
Karena itu, TPNPB dan TNI-Polri ditegaskan untuk wajib melindungi warga masyarakat sipil yang tidak memiliki senjata.
“Saya tidak mau di sini terjadi pertumpahan darah. Distrik Tangma dan distrik Kurima jangan ada korban,” tegasnya.

Hesegem menyatakan, kaca mobil dan truk jurusan Wamena-Tangma harus diturunkan dan jumlah penumpang pun dibatasi. Itu supaya masyarakat sipil yang menumpang kendaraan tersebut tidak menjadi sasaran dari kedua kubu.
Selain itu, ia mengajak para Hamba Tuhan dan intelektual agar berperan aktif mendampingi 13 jemaat di Klasis Tangma saat terjadi konflik bersenjata.
“Konflik sudah ada depan mata, maka tidak boleh ada masalah antar keluarga atau suku di Tangma sini. Kita fokus bersiap ketika ada konflik bersenjata di sini,” pinta Theo.
Pemegang kartu Human Rights Defender (HRD) itu mengaku pertemuan ini bersifat resmi karena pihaknya telah menyurat ke Pangdam dan Kapolda dengan tembusan presiden Republik Indonesia, Panglima TNI, Kapolri, DPR RI, DPD RI, dan Komnas HAM RI, gubernur, para bupati se-provinsi Papua Pegunungan, dan pihak terkait lainnya.
Ditulis dalam surat tersebut, pertemuan akan diadakan YKKMP menyusul kejadian penyerangan pos Koramil dan Polsek Kurima oleh pasukan TPNPB Kodap III Ndugama Derakma tanggal 17 Mei 2025, kemudian 18 Mei 2025 terjadi kontak senjata antara pasukan TNI dan TPNPB di kali Yetni yang menewaskan satu anggota TPNPB atas nama Esa Giban.
Pertemuan dengan dengan masyarakat distrik Tangma dan Kurima diadakan untuk menyampaikan himbauan agar masyarakat sipil tetap beraktivitas seperti biasa dan tidak mengungsi ke daerah lain.
Tujuan lain adalah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat maupun kedua kubu tentang pentingnya akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi di wilayah konflik. Khususnya di dua distrik: Kurima dan Tangma, kabupaten Yahukimo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Jayawijaya.
“Pada pertemuan resmi ini saya mau sampaikan bahwa gedung sekolah, Gereja, Puskesmas, dan tempat-tempat umum lainnya tidak boleh dijadikan sebagai pos militer atau pos TPNPB. Saya pertegas ini karena beberapa daerah konflik bersenjata sedang terjadi dan sasaran utama,” tuturnya.
Pdt. Kones Kogeya, ketua Klasis Mugi koordinator Nduga yang juga salah satu pengungsi di Wamena, menyampaikan, pengalaman buruk yang telah dan sedang dialami sesama anak Tuhan di pengungsian jangan terulang lagi.
“Cukup kami yang korban. Jangan Tangma lagi menjadi korban. Saya sudah delapan tahun di pengungsian. Saya sebagai seorang Pendeta, namun tidak memiliki gedung Gereja atau jemaat tetap. Saya tidak menerima persembahan atau perpuluhan dari jemaat. Karena umat saya semua mengungsi ke mana-mana di Tanah Papua,” kata Kones.

Pesan penting disampaikan Ohena Elopere, kepala suku di Tangma. Ia mengajak masyarakat hidup berdamai dengan diri sendiri, dengan keluarga dan dengan seluruh masyarakat di distrik Tangma.
Ohena tegaskan, orang Tangma tidak akan kemana-mana entah dalam kondisi genting sekalipun.
“Kalau ada konflik atau serangan, saya akan tetap bertahan di sini. Dan kita semua harus di sini. Karena wilayah Tangma diberikan oleh Tuhan kepada orang Tangma. Orang Tangma tidak bisa mengungsi kemana-mana. Kita bertahan di sini demi daerah kami,” ujarnya.
Ketua Klasis Tangma Pdt. Yenius Hesegem, S.Th juga berharap tak korbankan umat Tuhan.
“Jangan ada pertumpahan darah di Tangma. Dan warga sipil di sini harus dilindungi dari kedua kelompok yang bertikai, baik itu TPNPB maupun TNI dan Polri. Masyarakat harus beraktivitas dengan bebas,” pinta Yenius.
Setelah dari Tangma, pertemuan serupa diadakan di distrik Kurima, kabupaten Yahukimo, Senin (26/5/2025) dengan agenda yang sama. []