Oleh: Roberto Payokwa*
*) Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura
Papua dikenal sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Hutan-hutannya bukan hanya rumah bagi flora dan fauna endemik, tetapi juga merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat adat. Namun, dalam dua dekade terakhir, tekanan terhadap hutan adat Papua meningkat akibat alih fungsi lahan untuk kepentingan ekonomi, seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan infrastruktur.
Fenomena ini bukan hanya masalah lokal, tetapi berkaitan erat dengan isu lingkungan global, seperti perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan ekologis.
Alih Fungsi Lahan: Motif dan Dampak Lokal
Alih fungsi lahan di Tanah Papua umumnya dilakukan atas nama pembangunan dan investasi. Proyek-proyek besar, seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) serta konsesi perkebunan sawit telah mengubah ribuan hektar hutan adat menjadi lahan industri. Proses ini seringkali dilakukan tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (Free, Prior and Informed Consent/FPIC) dari masyarakat adat, yang selayaknya dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional (AMAN, 2020).
Dampaknya sangat luas. Dari sisi ekologis, alih fungsi lahan menyebabkan deforestasi, degradasi tanah, dan polusi air (Greenpeace Indonesia, 2021). Dari sisi sosial, masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah leluhur, sumber pangan, dan identitas budaya. Ketimpangan sosial dan konflik lahan pun semakin meningkat (Yayasan Pusaka, 2022).

Kaitan dengan Isu Lingkungan Global
Alih fungsi hutan adat Papua berkontribusi langsung pada isu lingkungan global, terutama dalam hal: (1) perubahan iklim, (2) kehilangan keanekaragaman hayati, serta (3) ketimpangan sosial dan ekologis global.
1). Perubahan Iklim
Hutan Papua merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di Asia Pasifik. Ketika hutan ditebang atau dibakar untuk kepentingan industri, karbon yang tersimpan dalam biomassa dilepaskan ke atmosfer, mempercepat laju pemanasan global (Global Forest Watch, 2023).
2). Kehilangan Keanekaragaman Hayati
Papua adalah habitat bagi lebih dari 20.000 spesies tanaman, 602 jenis burung, dan ratusan jenis mamalia, serta serangga yang tidak ditemukan di tempat lain (WWF Indonesia, 2020). Alih fungsi lahan menghancurkan habitat-habitat ini dan menyebabkan punahnya spesies yang bahkan belum sempat diteliti oleh ilmuwan.
3). Ketimpangan Sosial dan Ekologis Global
Isu Papua mencerminkan ketimpangan dalam tata kelola lingkungan global. Banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Papua berasal dari negara-negara maju, tetapi dampak ekologis dan sosialnya dirasakan oleh masyarakat lokal (Walhi Papua, 2021). Hal ini menimbulkan pertanyaan etis mengenai keadilan ekologis dan hak masyarakat adat di era globalisasi.
Upaya Perlindungan dan Tantangan
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk melindungi hutan adat Papua, seperti penerbitan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang pengakuan hak masyarakat adat, serta inisiatif seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Namun, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk lemahnya penegakan hukum, tumpang tindih kebijakan, serta tekanan politik dan ekonomi (UNDP Indonesia, 2022).
Kesimpulan
Alih fungsi lahan di kawasan hutan adat Papua bukan hanya persoalan pembangunan regional, tetapi juga bagian dari isu lingkungan global yang menyangkut keberlanjutan planet ini. Perlindungan terhadap hutan adat Papua adalah langkah penting untuk menanggulangi perubahan iklim, menjaga keanekaragaman hayati dunia, dan mewujudkan keadilan ekologis.
Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat adat, organisasi lingkungan, dan komunitas global untuk memastikan bahwa pembangunan tidak dilakukan dengan mengorbankan alam dan hak-hak masyarakat adat. (*)