ArtikelDampak Deforestasi pada Petani Kopi di Papua

Dampak Deforestasi pada Petani Kopi di Papua

Oleh: Peitrick Nathosi Marani*
*) Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura

International Coffee Organization (ICO) merupakan lembaga antar-pemerintah yang beranggotakan negara-negara eksportir dan importir kopi, dibentuk berdasarkan International Coffee Agreement yang pertama kali ditandatangani tahun 1962. Salah satu misi utama ICO adalah mendorong keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam industri kopi global. Meski begitu, keberadaan ICO belakangan ini menuai sorotan, terutama ketika publik mengaitkannya dengan isu deforestasi yang terjadi di wilayah produsen kopi, termasuk di Tanah Papua.

Papua dikenal memiliki ekosistem hutan tropis yang luas dan kaya biodiversitas. Beberapa wilayah pegunungan di Papua, seperti di kabupaten Pegunungan Bintang dan Jayawijaya, merupakan sentra budidaya kopi Arabika dengan cita rasa khas. Petani kopi di daerah tersebut sebagian besar berasal dari masyarakat adat yang menjalankan sistem pertanian tradisional yang ramah lingkungan dan sangat bergantung pada integritas hutan. Ketika laju deforestasi meningkat akibat pembukaan lahan oleh korporasi atau proyek infrastruktur, keberlanjutan budidaya kopi rakyat menjadi terancam.

Kritik publik terhadap ICO terutama muncul dari kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi lingkungan yang menilai bahwa ICO belum memiliki peran yang cukup tegas dalam mencegah deforestasi di negara-negara produsen kopi.

Baca Juga:  Gereja dan Papua: Antara Misi, Kekuasaan dan Panggilan Profetis

Dalam sejumlah laporan seperti Coffee Barometer 2023 dan kajian dari Forest Trends, disebutkan bahwa sebagian ekspansi produksi kopi skala industri masih terjadi di area yang mengalami degradasi hutan, dan Papua termasuk salah satu wilayah yang rawan terkena dampaknya. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik tentang efektivitas kebijakan keberlanjutan yang dikembangkan ICO, khususnya dalam hal implementasi di tingkat akar rumput.

ICO memang telah memperkenalkan berbagai inisiatif, seperti Coffee Public-Private Task Force yang mendorong kerja sama antara sektor swasta dan negara anggota untuk menciptakan sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan dan inklusif. Selain itu, ICO juga merancang Coffee Sustainability Reference Code sebagai panduan prinsip produksi kopi yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosial. Meski inisiatif ini menunjukkan niat baik, dampaknya belum dirasakan secara nyata oleh petani kopi di Papua.

Salah satu persoalan pokok adalah kesenjangan akses informasi dan infrastruktur antara petani kopi lokal dengan sistem perdagangan kopi global. Sertifikasi kopi berkelanjutan seperti Fairtrade atau Rainforest Alliance kerap disyaratkan oleh pembeli internasional, namun prosesnya membutuhkan biaya, pelatihan, dan pendampingan teknis yang tidak selalu tersedia bagi petani kecil. Ketika petani Papua kesulitan mengakses sertifikasi tersebut, posisi tawar mereka dalam rantai pasok menjadi lemah, dan mereka cenderung terpinggirkan dari pasar premium yang menjanjikan harga lebih tinggi.

Baca Juga:  Ketika Gereja dan Negara Diam: Kisah Tragis Rufinus Tigau

Pemerintah Indonesia telah menetapkan berbagai kebijakan untuk mengendalikan deforestasi, termasuk moratorium izin baru di hutan primer dan gambut, serta penguatan sistem Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI). Namun, efektivitas kebijakan tersebut sangat bergantung pada keterlibatan semua pemangku kepentingan, termasuk peran aktif ICO sebagai badan internasional yang memiliki pengaruh dalam penentuan standar global.

Masyarakat mengharapkan agar ICO tidak hanya menjadi forum diskusi negara-negara penghasil dan konsumen kopi, tetapi mesti menjadi aktor strategis yang mampu menekan praktik eksploitatif dan memperjuangkan suara petani kecil di kawasan-kawasan terpinggirkan, seperti Papua.

Desakan publik juga mencakup aspek transparansi dalam rantai pasok kopi. Banyak konsumen global mulai peduli terhadap asal-usul produk yang mereka konsumsi, termasuk apakah produk tersebut dihasilkan dengan cara yang adil bagi petani dan tidak merusak lingkungan. Tuntutan ini menciptakan tekanan tersendiri bagi ICO dan para pelaku industri kopi untuk memastikan bahwa produk yang masuk ke pasar dunia berasal dari sumber yang berkelanjutan.

Baca Juga:  Google Dalam Perspektif Transnasionalisme: Antara Manfaat dan Ancaman

Dalam wacana yang berkembang, posisi petani kopi Papua tidak hanya sebagai korban deforestasi, tetapi juga sebagai penjaga keanekaragaman hayati dan penyangga ketahanan pangan lokal. Publik mengharapkan adanya transformasi kebijakan global yang lebih berpihak pada petani kecil, dengan mekanisme pembagian keuntungan yang lebih adil, perlindungan terhadap wilayah adat, serta sistem insentif bagi praktik budidaya kopi yang mempertahankan ekosistem hutan.

Situasi ini membuka peluang bagi ICO untuk mereformasi pendekatannya. Bila ingin tetap relevan dan dipercaya publik, ICO perlu memperluas kemitraan langsung dengan komunitas petani, menyediakan dukungan teknis dan keuangan untuk inisiatif lokal yang berbasis konservasi, serta mendorong negara anggota dan pelaku pasar kopi global untuk menghormati hak-hak masyarakat adat.

Hal-hal tersebut menjadi penting bukan hanya untuk menjaga produksi kopi secara berkelanjutan, tetapi juga untuk menjamin keadilan ekologis dan sosial di wilayah, seperti Papua. (*)

Referensi:

Kurniawan, H. P. (2015). Kepentingan Indonesia Meratifikasi International Coffee Agreement. Doctoral dissertation, Riau University.

Lai, A., & Widjaja, O. H. (2023). Pengaruh Pengetahuan Kewirausahaan, Kreativitas, dan Inovasi Terhadap Keberhasilan UMKM Kedai Kopi. Jurnal Manajerial dan Kewirausahaan, 5 (3), 576-584.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemkab Dogiyai Permantapkan Dokumen LKHS RJPMD 2025-2029

0
“Tujuan dari tahapan konsultasi publik kedua KLHS RPJMD kabupaten Dogiyai tahun 2025-2029 ini adalah untuk menyajikan berbagai alternatif skenario yang akan dilaksakan dengan upaya tambahan ataupun tanpa upaya tambahan dalam pencapaian target-target tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah ditentukan pemerintah pusat,” kata Willem Tagi membacakan sambutan tertulis bupati Dogiyai.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.