JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Meningkatnya pertempuran antara pasukan keamanan Indonesia dan kelompok bersenjata Papua di Papua Barat serius mengancam keamanan warga sipil yang sebagian besar adalah orang asli Papua.
Pernyataan itu disampaikan Human Rights Watch pada, Jumat (29/5/2025).
Oleh sebab itu pihaknya minta semua pihak yang bertempur wajib mematuhi hukum humaniter internasional, yang juga disebut hukum perang.
Operasi militer pasukan keamanan di wilayah Pegunungan Tengah, yang berhutan lebat, diduga telah melukai dan menewaskan puluhan warga sipil dengan serangan pesawat nirawak (drone) dan penggunaan amunisi secara sembarangan, serta menyebabkan ribuan orang asli Papua mengungsi.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap bersenjata Organisasi Papua Merdeka, telah mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan 17 orang yang diduga penambang antara 6 dan 9 April 2025.
“Militer Indonesia memiliki sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dengan risiko khusus bagi masyarakat adat,” kata Meenakshi Ganguly, wakil direktur Asia di Human Rights Watch.
“Berbagai pemerintah yang peduli perlu menekan pemerintahan Prabowo dan organisasi bersenjata separatis Papua untuk mematuhi hukum perang,” kata Meenakshi Ganguly.
Pertempuran di Pegunungan Tengah meningkat setelah serangan beruntun terhadap para penambang, yang dituduh kelompok bersenjata ini sebagai “suanggi” — tentara atau informan.
Militer Indonesia meningkatkan kegiatan yang sedang berlangsung, yang disebut Komando Operasi Habema, di enam provinsi Papua Barat, terutama di Pegunungan Tengah, tempat berbagai kelompok militan Papua bergerak selama lebih dari empat dekade.
Pada tanggal 14 Mei, militer mengatakan telah menewaskan 18 militan Papua di Kabupaten Intan Jaya, dan menemukan senjata termasuk senapan, busur dan anak panah, alat komunikasi dan bendera Bintang Kejora, simbol perlawanan Papua Barat. Operasi militer lebih lanjut diduga mengakibatkan pembakaran kampung-kampung dan serangan terhadap gereja.
Beberapa aktivis dan pendeta Papua mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa pasukan pemerintah cenderung memperlakukan semua orang asli Papua, yang biasa membawa dan menggunakan panah untuk berburu, sebagai kombatan.
Informasi tentang berbagai pelanggaran ini sulit untuk diverifikasi karena permusuhan enam dekade di daerah terpencil di Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo, Nduga, dan Pegunungan Bintang.
Pendeta dan wartawan lokal yang diwawancarai oleh Human Rights Watch mengatakan bahwa pasukan Indonesia menggunakan pesawat nirawak dan helikopter untuk menjatuhkan bom.
Warga suku Korowai, yang dikenal dengan rumah pohon mereka yang tinggi, ikut terpengaruh dalam serangan ini, dan telah melarikan diri dari pertempuran. Orang kampung yang mengungsi, sebagian besar dari Intan Jaya, mencari perlindungan di Sugapa, ibu kota kabupaten tersebut.
Kelompok tersebut mengatakan bahwa serangan militer Indonesia pada tanggal 14 Mei, di mana militer mengklaim bahwa semua 18 orang yang tewas adalah militan, sebenarnya hanya 3 yang anggota mereka, sebagian besar adalah warga sipil yang terbunuh.
Ronald Rischardt Tapilatu, pendeta Gereja Kristen Injili Tanah Papua, mengatakan bahwa setidaknya 3 warga sipil termasuk di antara 18 jenazah tersebut.
Human Rights Watch memiliki daftar 18 korban tewas.
Kelompok bersenjata tersebut telah membuat tuduhan, yang tidak dapat dibuktikan oleh Human Rights Watch, bahwa serangan militer Indonesia telah melukai warga sipil.
Human Rights Watch melaporkan bahwa serangan mortir atau roket dekat sebuah gereja di Ilaga, Kabupaten Puncak, mengenai dua pemuda pada tanggal 6 Mei, menewaskan salah satu dari mereka, Deris Kogoya, seorang pelajar berusia 18 tahun.
Anak perempuan dari Hetina Mirip mengatakan bahwa ibunya ditemukan tewas pada 17 Mei di dekat rumahnya di Sugapa, ketika tentara Indonesia mengepung kampung mereka. Ia menulis bahwa tentara tersebut mencoba membakar dan menguburkan jenazah ibunya. Seorang juru bicara militer membantah penembakan tersebut.
Salah satu dampak nyata dari pertempuran yang kembali terjadi adalah ribuan orang asli Papua terpaksa meninggalkan tanah leluhur mereka.
United Liberation Movement for West Papua, yang berpusat di Vanuatu, melaporkan bahwa militer telah menyerang tujuh kampung di Ilaga dengan pesawat nirawak dan serangan udara, yang memaksa banyak perempuan dan anak meninggalkan rumah mereka.
Laporan media menyebutkan ada serangan di Gome, Kabupaten Puncak.
Hukum humaniter internasional mewajibkan semua pihak yang bertikai untuk selalu membedakan antara kombatan dan warga sipil. Warga sipil tak boleh menjadi sasaran serangan.
Pihak yang bertikai diharuskan untuk mengambil semua tindakan pencegahan yang memungkinkan untuk meminimalkan kerugian bagi warga sipil dan objek sipil, seperti rumah, toko, dan sekolah.
Serangan hanya boleh menyasar kombatan dan sasaran militer. Serangan yang menargetkan warga sipil atau gagal membedakan antara kombatan dan warga sipil, atau yang akan menyebabkan kerugian yang tidak proporsional bagi penduduk sipil dibandingkan dengan keuntungan militer yang diantisipasi, dilarang.
Pihak-pihak harus memperlakukan setiap orang dalam tahanan mereka secara manusiawi, tidak menyandera, dan menfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan.
Organisasi Papua Merdeka telah memperjuangkan penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan di Papua Barat sejak awal 1960an.
Alasannya, Penentuan Pendapat Rakyat yang dikendalikan pemerintah Indonesia pada tahun 1969 tak sah dan tak melibatkan orang asli Papua. Gerakan ini menganjurkan penyelenggaraan referendum, adil, dan transparan, serta mendukung perlawanan bersenjata.
Daerah konflik, termasuk Intan Jaya, berada di sisi utara Gunung Grasberg, membentang dari Sugapa hingga Oksibil di Kabupaten Pegunungan Bintang, dengan panjang sekitar 425 kilometer.
Sugapa juga dikenal sebagai lokasi Blok Wabu, yang menyimpan sekitar 2,3 juta kilogram emas, menjadikannya salah satu dari lima cadangan emas terbesar di Indonesia. Saat ini, Blok Wabu sedang dalam proses perizinan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia.
“Orang Papua mengalami rasisme sistemik selama puluhan tahun, yang meningkatkan kekhawatiran akan kekejaman lebih lanjut,” kata Ganguly.
“Baik militer Indonesia maupun kelompok bersenjata Papua perlu mematuhi standar internasional yang melindungi warga sipil.”