Oleh: Dipa Arif*
*)Kolaborator di Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Wali gereja Prancis.
Pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) oleh Indonesia dari Prancis—meliputi 42 jet tempur Rafale, dua kapal selam kelas Scorpène, dan 13 sistem radar Thalès—menimbulkan sejumlah kekhawatiran, terutama dalam konteks konflik sosial dan kemanusiaan yang masih berlangsung di Papua.
Secara resmi, penguatan militer ini dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan maritim Indonesia di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan Indo-Pasifik, terutama terkait sengketa Laut Cina Selatan. Namun, kekhawatiran publik tak bisa diabaikan: potensi penggunaan teknologi militer ini untuk keperluan pengawasan dan represi di dalam negeri, khususnya di Papua, menjadi isu yang perlu mendapat perhatian serius.
Papua merupakan wilayah yang secara historis sarat dengan konflik bersenjata, diskriminasi struktural, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Secara teknis, jet tempur, kapal selam, dan radar memang dirancang untuk pertahanan eksternal. Namun dalam praktiknya, alat-alat tersebut juga memiliki kemampuan yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat kontrol militer di wilayah yang mengalami ketegangan sipil. Risiko penyalahgunaan semacam ini bukanlah hal baru dalam praktik ekspor senjata global.
Rekam jejak ekspor alutsista Prancis menunjukkan bahwa produk militer buatan negara tersebut pernah digunakan dalam konflik-konflik yang berujung pada krisis kemanusiaan. Di Yaman, misalnya, howitzer Caesar dan kendaraan lapis baja Prancis digunakan oleh koalisi pimpinan Arab Saudi dalam serangan-serangan yang berdampak pada populasi sipil. Investigasi oleh media independen Prancis ‘Disclose’ (2019) mengungkap bahwa senjata tersebut terlibat dalam pengeboman wilayah sipil.
Di Mesir, Prancis menjual jet tempur Rafale dan kapal perang kepada rezim Presiden Abdel Fattah al-Sisi, meskipun terdapat laporan luas mengenai pelanggaran HAM setelah kudeta militer 2013. Laporan Amnesty International menegaskan bahwa alutsista tersebut memperkuat aparat yang terlibat dalam represi terhadap demonstran dan oposisi politik.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa ekspor senjata, walau dilabeli sebagai upaya pertahanan, berisiko besar menjadi alat represi bila tak disertai mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan. Jet tempur Rafale, selain untuk pertempuran udara, juga memiliki kemampuan pengintaian dan serangan presisi terhadap sasaran darat. Kapal selam Scorpène dapat menjalankan misi rahasia yang mendukung operasi militer di wilayah pesisir.
Radar Thalès pun memiliki kemampuan surveilans canggih yang memungkinkan pemantauan detail terhadap pergerakan manusia, yang dalam situasi tertentu bisa dimanfaatkan untuk menekan penduduk sipil.
Dalam konteks Papua, kekhawatiran ini menjadi semakin relevan. Ketertutupan informasi, lemahnya akuntabilitas militer, serta catatan panjang pelanggaran HAM membuat penggunaan alutsista canggih tanpa pengawasan sipil yang efektif berpotensi memperburuk situasi. Alih-alih menciptakan rasa aman, kehadiran teknologi militer mutakhir bisa menimbulkan trauma baru dan memperkuat atmosfer kekerasan struktural.
Karena itu, sangat penting agar kebijakan pengadaan senjata mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan akuntabilitas publik. Pengawasan independen, evaluasi dampak HAM, serta keterlibatan masyarakat sipil harus menjadi bagian integral dari kebijakan pertahanan, bukan sekadar tambahan administratif.
Kami mendorong pemerintah untuk menjadikan perlindungan HAM sebagai prioritas utama, khususnya di Papua. Pendekatan yang mengedepankan dialog, keadilan sosial, dan rekonsiliasi jauh lebih menjanjikan bagi perdamaian berkelanjutan dibanding militerisasi yang justru bisa memperpanjang luka sejarah.
Dalam hal ini, peran masyarakat sipil—termasuk lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, dan media independen—sangatlah penting untuk terus mengawal kebijakan negara agar tetap berada dalam koridor etika, hukum, dan nilai-nilai dasar Pancasila serta UUD 1945.
Ini bukan soal mencampuri urusan pemerintah, melainkan panggilan moral untuk menjaga harkat kemanusiaan dan martabat warga negara, terutama mereka yang selama ini hidup dalam bayang-bayang kekerasan dan marginalisasi.
Papua memerlukan keadilan dan perdamaian, bukan peningkatan kapasitas militer yang berisiko memperbesar luka lama. Semoga setiap langkah ke depan mengarah pada solusi damai, adil, dan bermartabat bagi seluruh rakyat Papua.