
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kehadiran anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di distrik Walaik, kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, sejak awal Mei 2025 tidak memberi warga masyarakat setempat nyaman. Sebaliknya, mereka ketakutan dan trauma. Oleh karenanya, Satgas Rajawali yang sedang bertugas di disrik Walaik diminta ditarik.
Tuntutan itu dituangkan di selembar surat oleh seluruh elemen masyarakat, baik tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh perempuan, dan pemerintah distrik bersama pemerintah lima kampung (Walaik, Elarek, Welekama, Holima, dan Yelai) yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Walaik.
Adapun isi pernyataan sikap tarik pasukan militer:
- Menolak kehadiran TNI di distrik Walaik yang tidak berdasarkan situasi darurat dan tanpa ada konflik
- Mengecam keras mobilisasi aparat militer pada malam hari melalui jalan Welei-Walaik mengganggu masyarakat sedang beristirahat.
- Mengecam keras mobilisasi aparat militer yang tidak berkoordinasi maksud dan tujuan kedatangannya kepada struktur pemerintahan distrik dan pemerintahan kampung.
- Mendesak kepada Dandim 1702/Jayawijaya untuk menarik kembali aparat militer yang ada di hutan dan perbukitan di wilayah kampung Walaik dan Welekama karena tidak dalam keadaan darurat.
- Mendesak kepada DPRK Jayawiijaya, MRP Papua Pegunungan dan lembaga terkait untuk melakukan investigasi atas tindakan operasi militer di distrik Walaik tanpa dalam keadaan darurat.
- Mendesak pemerintah kabupaten Jayawijaya untuk menarik pasukan milier dari wilayah sipil yang tidak dalam keadaan darurat.
- Menuntut transparansi dan akuntabilitas terhadap segala bentuk operasi militer di distrik Walaik yang berdampak langsung pada masyarakat.
- Menolak keras pembangunan pos TNI/Polri di distrik Walaik selama masyarakat hidup dalam keadaan aman, nyaman dan damai.
- Menolak keras terhadap aktor-aktor berkepentingan yang datang mengacaukan kehidupan di distrik kami.
Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) mengaku mendapat laporan dari seluruh lapisan masyarakat distrik Walaik, termasuk juga surat pernyataan tersebut.
Selanjutnya YKKMP mengeluarkan beberapa rekomendasi sehubungan dengan fakta di lapangan dan aspirasi masyarakat lima kampung di distrik Walaik.
- Presiden Republik Indonesia harus segera mencabut Undang-undang nomor 3 tahun 2025 yang dapat digunakan sebagai dasar hukum adanya konflik bersenjata yang melahirkan dugaan pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua.
- Panglima TNI segera tinjau kembali keputusan politik tentang penempatan militer di wilayah konflik bersenjata dan menarik kembali penempatan militer dari ranah sipil, khususnya di distrik Walaik.
- Pangdam XVII/Cenderawasih dan Koorps Habema telah melanggar:
a) Pelanggaran koordinasi wilayah menurut undang-undang nomor 34 tahun 2024 TNI pada pasal pelanggaran koordinasi wilayah yang merujuk Pasal 7 ayat 3 UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) terjadi ketika TNI melakukan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tanpa ada keputusan politik negara yang sah. OMSP hanya boleh dilakukan berdasarkan keputusan politik negara yang dihasilkan dari konsultasi dan rapat kerja antara pemerintah dan DPR, serta karena adanya keadaan darurat di mana sipil tidak bisa bekerja optimal.
b) Peraturan Panglima TNI nomot 44 tahun 2015 tentang tata cara koordinasi pelaksanaan tugas bantuan TNI kepada pemerintah daerah.
c) KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer) Pasal 103-106 tentang pelanggaran perintah dan penyalahgunaan wewenang oleh militer.
d) “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”, Pasal 30 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
e) “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, Pasal 9 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
f) Tindakan ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang dimaksud pada Pasal 9 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
g) Selain dugaan tindak pidana pelanggaran HAM berat, kami juga memberikan catatan atas adanya ketidakjelasan status daerah darurat konflik: Pasal 7 ayat (4) Undang-undang nomor 3 tahun 2025 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang berbunyi “Pelaksanaan operasi militer selain perang lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang-undang”.
h) Dibalik pengerahan militer ke lokasi tersebut, baik sebelum perubahan maupun setelah perubahan Undang-undang TNI, beberapa daerah di Papua seperti Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya telah sering terjadi konflik bersenjata antara TNI dan TPNPB. Padahal, hingga hari ini Presiden Republik Indonesia belum memberikan kejelasan status daerah Darurat Operasi Militer atau Darurat Operasi Sipil seperti dalam ketentuan Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1) UU nomor 3 tahun 2025 tentang perubahan atas UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
4. Pangdam XVII/Cenderawasih segera menarik pasukan Satgas Rajawali demi keamanan, kenyamanan dan kebebasan sipil di distrik Walaik.
5. Pangdam XVII/Cenderawasih memerintahkan kepada Satgas Rajawali di Wamena (Walaik) untuk segera melakukan pertemuan terbuka bersama masyarakat Walaik untuk memberikan keterangan dan tujuan kehadiran TNI di sana.
6. Gubernur Papua Pegunungan, bupati kabupaten Jayawijaya dan DPRK Jayawijaya segera membuka ruang untuk mempertemukan pihak TNI dan masyarakat adat Walaik.
Pengiriman Pasukan TNI Tanpa Alasan
Keterangan dari beberapa masyarakat, pasukan militer memasuki distrik Walaik pada Kamis (1/5/2025) sekira pukul 02.00 WIT.
Masyarakat mengaku melihat langsung lima truk menuju distrik Walaik. Sekitar jam 07.00 WIT, beberapa masyarakat temukan bekas sepatu laras TNI di tanah. Tak lama kemudian mereka bertemu dengan anggota TNI di daerah Werasumo, perbatasan distrik Welesi dan Walaik. TNI memenuhi jalan Welesi-Walaik, sehingga masyarakat yang hendak ke kota ketakutan dan tidak bisa melakukan perjalanan.
Begitu pula dengan mama-mama yang mau kerja di kebun, karena takut dengan banyaknya tentara di sepanjang jalan, terpaksa tak bisa berkebun.
Pasukan ditambah lagi pada 2 Mei 2025. Masyarakat melihat aparat TNI sekitar jam 2 dini hari menumpang beberapa truk memasuki distrik Walaik. Menempati kantor distrik, sehari kemudian, 3 Mei 2025, aparat dibagi ke 4 titik dataran tinggi, diantaranya Werasumo, Walelagenya, Pawikama, dan Munilagec.
Sebanyak 100 orang aparat TNI dengan berbagai jenis kini menguasai distrik Walaik.
Kehadiran aparat militer tanpa berkoordinasi dengan pihak pemerintahan distrik dan kampung. Masyarakat setempat juga tak tahu. Setelah tiba juga belum sosialisasikan lebih lanjut tentang kehadirannya di distrik Walaik. Sedangkan, pasukan TNI masuk ke distrik Walaik pada malam hari tanpa izin.
Daerah teraman itu kini telah dikuasai aparat keamanan. Pasukan TNI memenuhi seluruh wilayah distrik Walaik.
Distrik Walaik terletak di sebelah barat pada ketinggian 2.198 meter di atas permukaan laut. Lazimnya, dari Wamena ke distrik Walaik sekitar 25 kilo meter melalui jalur jalan Wamena-Habema, sedangkan jalur lainnya melalui Welesi-Walaik sekitar 20 kilo meter dengan kondisi jalan berbatu dan tanjakan tinggi serta curam. Karena sulitnya akses kendaraan ke distrik ini, biaya sewa kendaraan dari kota ke kantor distrik Walaik bisa mencapai Rp2,5 juta.
Distrik Walaik dengan lima kampung di dalamnya sepanjang sejarah tercatat sebagai daerah yang selama ini selalu aman, damai, tanpa konflik antara klen, antara suku maupun koflik kelompok lainnya. Masyarakat di sana biasa beraktivitas secara normal.
Kehidupan masyarakat mengandalkan hasil pertanian an berburu. Kebanyakan masyarakat di sana bekerja sebagai petani. Bekerja kebun, berburu di hutan, dan beternak.
Nilai-nilai adat juga masih kuat dipegang masyarakat. Mereka hidup majemuk tanpa ada konflik sosial.
Kronologi Kehadiran Militer
Kehadiran aparat militer di distrik Walaik sebenarnya perlu diketahui pemerintah distrik dan kampung. Tetapi sama sekali belum pernah diinformasikan. Setelah tibapun belum ada sosialisasi lebih lanjut tentang kehadiran militer di Walaik.
Jangankan masyarakat, pemerintah distrik dan pemerintah kampung serta para tokoh di distrik Walaik juga tak tahu dengan kedatangan TNI. Maklum, pasukan TNI masuk ke distrik Walaik pada malam hari. Mereka datang tanpa izin.
Keterangan beberapa masyarakat, pada Kamis (1/5/2025) sekitar pukul 02.00 WIT, lima truk terpantau menuju distrik Walaik. Sekira jam 07.00 pagi, beberapa orang lihat bekas sepatu laras TNI di tanah. Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan tentara di daerah Werasumo, perbatasan distrik Welesi dan Walaik.
Karena TNI memenuhi jalan Welesi-Walaik, masyarakat yang bertujuan ke kota merasa ketakutan dan tidak bisa melakukan perjalanan. Beberapa ibu yang hendak pergi ke kebun menjadi takut, karena banyaknya anggoat TNI di sepanjang jalan. Mereka tak bisa berkebun.
Pada 2 Mei 2025, anggota TNI masih ada. Sekitar jam 2 dini hari, beberapa truk memasuki distrik Walaik. Sehari kemudian, 3 Mei 2025, pasukan dibagi ke 4 titik dataran tinggi, yakni Werasumo, Walelagenya, Pawikama, dan Munilagec.
Hingga kini hampir 100 orang anggota TNI dengan berbagai jenis ada di distrik Walaik.
Kondisi Sebelum TNI Tiba
Masyarakat distrik Walaik yang terdiri dari 5 kampung umumnya memiliki kebun. Letaknya di sekitar pemukiman, juga sebagian ada di perbatasan hutan, bahkan di area hutan. Jarak antara kebun dan tempat pemukiman bervariasi, tergantung lokasi dan kondisi geografis masing-masing kampung.
Secara umum, kebun-kebun tersebut dapat dijangkau dalam waktu 20-30 menit, paling lama 1-2 jam berjalan kaki dari rumah.
Sejak nenek moyang, masyarakat distrik Walaik hidup mandiri tanpa ada intervensi dari pihak luar untuk memindahkan, menggeser dan atau mengambil alih tempat dan kehidupan mereka.
Di wilayah distrik Walaik terdapat 1 sekolah dasar (SD) dan 1 pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Juga 8 buah gereja, Katolik (3) dan Protestan (5) di lima kampung.
Kondisi Setelahnya
Sejak hadirnya aparat TNI di wilayah distrik Walaik sejak Kamis (1/5/2025) hingga kini telah menimbulkan beberapa masalah.
Masyarakat mengalami ketakutan, sehingga tidak bisa beraktivitas seperti sebelumnya.
Kebebasan masyarakat terancam. Tak bebas keluar malam. Tak bebas pergi ke hutan untuk berburu. Juga tak bebas berkumpul di balai kampung.
Tak ada kebebabasan karena trauma. Rasa trauma muncul karena kehadiran TNI yang tiba-tiba hingga bangun pos di sana.
Trauma sosial dan psikologis. Kehadiran aparat bersenjata tanpa pemberitahuan resmi membuat warga merasa tak aman.
Aktivitas masyarakat terganggu. Masyarakat merasa takut untuk berkebun, aktivitas belah kayu.
Trauma dan susah keluar malam. Masyarakat susah keluar malam berkunjung dari rumah ke rumah sesama keluarga.
Gangguan sosial dan ekonomi. Masyarakat tidak bisa ke kota membawa jualan. Aktivitas sekolah nyaris mogok. Perkebunan warga tak terurus karena pemilik ketakutan melihat pasukan bersenjata.
Rasa tak aman. Hilangnya rasa aman dan nyaman di lingkungan sendiri sejak kehadiran anggota TNI.
Terputus hubungan keluarga. Seluruh masyarakat distrik Walaik dan distrik Welesi sebagai daerah perbatasan tak bebas berinteraksi sebagai hubungan kekeluargaan, begitupun tak lagi saling mengunjungi. Situasi berbeda dengan sebelum hadirnya prajurit TNI. Kehadiran TNI membangkitkan trauma. Hubungan kekerabatan yang terbangun lama mulai terkikis sejak TNI tiba di si sana hingga saat ini.
Warga merasa tertekan dan bingung, karena tak ada kejadian konflik atau gangguan keamanan yang menjadi alasan logis untuk penugasan prajurit TNI.
Menurunnya aktivitas ekonomi dan sosial, karena warga takut beraktivitas seperti biasa di kebun, pasar, atau pertemuan secara keluarga, terutama antara distrik distrik Walaik dengan distrik Welesi.
Beberapa Kejadian
Setelah aparat militer menempati kampung Walaik di distrik Walaik pada 1 Mei 2025, tiga hari kemudian, tepat pada Minggu (4/5/2025), masyarakat yang hendak pergi ke gereja melihat pasukan TNI, menjadi bahan cerita di Gereja. Kebanyakan umat tak berani pergi beribadah akibat kehadiran tentara denga senjata lengkap dalam posisi siaga.
Ada beberapa situasi semenjak TNI kuasai wilayah distrik Walaik:
Setiap aktivitas masyarakat dipantau menggunakan Drone, sehingga menimbulkan perasaan tak nyaman di kampung halaman mereka sendiri.
TNI tak menyampaikan ke publik terkait kehadirannya di sana.
TNI membawa Alkitab ke salah satu gereja yang dimana kepala distrik berjemaat, namun ditolak.
TNI mengambil alih peran Pastor dan Pendeta di distrik Walaik. Terdapat 8 gereja, baik Protestan maupun Katolik.
TNI memberikan makanan kepada masyarakat. Dengan ini secara sadar anggota TNI mematikan semangat mencari nafkah masyarakat setempat.
TNI bertugas sebagai pengganti medis melayani masyarakat. Dalam hal ini mereka juga mengambil alih tugas tenaga kesehatan.
Langgar Aspek Hukum
Mobilisasi anggota TNI, terutama dalam jumlah dan kegiatan signifikan seperti operasi malam hari di wilayah sipil (desa, hutan dan lereng) wajib mengikuti hukum yang berlaku sah. Khususnya yang mengatur koordinasi instansi dan peran militer dalam wilayah sipil.
Pelanggaran koordinasi wilayah menurut Undang-undang nomor 34 tahun 2024 tentang TNI pada pasal pelanggaran koordinasi wilayah yang merujuk pada Pasal 7 ayat 3, terjadi ketika TNI melakukan OMSP tanpa ada keputusan politik negara yang sah. OMSP hanya boleh dilakukan berdasarkan keputusan politik negara yang dihasilkan dari konsultasi dan rapat kerja antara pemerintah dan DPR, serta karena adanya keadaan darurat di mana sipil tak bisa bekerja optimal.
Peraturan Panglima TNI nomor 44 tahun 2015 tentang tata cara koordinasi pelaksanaan tugas bantuan TNI kepada pemerintah daerah.
KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer) Pasal 103-106 tentang pelanggaran perintah dan penyalahgunaan wewenang oleh militer.
Dalam kasus ini, Pangdam XVII/Cenderawasih dan Koorps Habema dianggap telah melanggar dasar hukum. Pasukan Satgas Rajawali harus ditarik kembali demi kenyamanan dan kebebasan sipil di distrik Walaik.
Dalam kaitan itu, Undang-undang nomor 3 tahun 2025 yang digunakan sebagai dasar hukum adanya konflik bersenjata yang melahirkan dugaan pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua harus segera dicabut.
Panglima TNI juga mesti segera meninjau kembali keputusan politik tentang penempatan militer di wilayah konflik bersenjata dan menarik kembali penempatan militer di ranah sipil, khususnya di distrik Walaik. []