SORONG, SUARAPAPUA.com — Perayaan misa syukur Keuskupan Timika bersamaan perayaan 131 tahun Katolik masuk Tanah Papua diadakan di Gereja Katedral Kristus Raja, Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (22/5/2025) petang.
Mei 2025 jadi bulan penuh rahmat bagi umat Katolik, karena dirakyakan tiga peristiwa penting, yakni bulan Maria, tahbisan episkopal Uskup Timika, dan perayaan misi Katolik di Tanah Papua.
Uskup Timika Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA menyampaikan pesan dan harapan terhadap kemajuan masyarakat Papua. Ia nyatakan, sudah saatnya Gereja Katolik di Tanah Papua menjadi gereja yang mandiri, tidak hanya secara finansial, tetapi juga dalam kepemimpinan.
“Gereja Katolik di Tanah Papua harus mandiri di segala aspek,” ujarnya.

Kata Uskup Timika berharap setelah 131 tahun kehadiran Gereja Katolik di Tanah Papua, sudah waktunya umat lokal mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan, sebagaimana yang terjadi di banyak wilayah Katolik lainnya di dunia.
Oleh karena itu, Mgr. Bernardus menyampaikan harapan agar Vatikan memahami dan mendukung langkah kemandirian tersebut.
“Saatnya gereja dipimpin oleh orang Papua. Yang belum diberi ruang, harus diberi tempat, didorong agar bisa memimpin keuskupan yang ada di Tanah Papua dan seterusnya,” tandasnya.
Tidak hanya soal gereja, Uskup Timika juga menyoroti pentingnya perdamaian di Tanah Papua. Bagi Mgr. Bernardus, perdamaian adalah impian semua orang, namun buat mewujudkannya diperlukan keberanian dan niat baik dari semua pihak.
“Konflik harus diselesaikan dengan dialog. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, bersama gereja dan semua pemangku kepentingan harus duduk bersama.”
Mgr. Bernardus menyebut gereja harus menjadi mediator perdamaian, mengajak semua pihak agar terbuka dan mencari solusi terbaik demi masa depan Papua yang damai dan sejahtera.
Ia berpesan kepada umat Katolik dan seluruh masyarakat Papua agar bergerak menuju kemandirian dan perdamaian yang sejati demi mewujudkan Tanah Papua yang adil dan bermartabat.
“Jangan biarkan konflik terus terjadi, pengungsian berlarut-larut, akar masalah harus diselesaikan. Jangan pelihara kejahatan demi kepentingan segelintir orang,” tegas Berdardus.

Sejarah Singkat Agama Katolik di Kepala Burung
Tanggal 22 Mei 1894 Pastor Cornelis Le Cocq d’Armanville, SJ, menginjakkan kakinya di sebuah kampung Muslim “Sekru” di Fakfak. Pastor diterima oleh dua orang Muslim, yaitu Jawa Made Samai dan Ahmad Halilintar Serkanasa.
Keesokannya hari, Pastor Le Cocq mengunjungi masyarakat di sekitar Torea. Ia berhasil membaptis 8 orang anak Papua. Pastor tinggal di kampung Sekru selama 10 hari, dan berhasil membaptis 70 orang anak.
Setelah itu, pada Mei 1895 datang lagi dan menetap di pulau Bonjom, dekat kampung Brongkendik sekarang. Di pulau Bonjom, Pastor mulai buka sekolah dengan nama sekolah “Tertib” dan menerima murid sekitar belasan orang dengan guru seorang Protestan asal Ambon bernama Christian Platimu.
Maret 1896, Pastor d’Armanville bermaksud tourne ke bagian selatan Fakfak, yakni wilayah Mimika. Dalam perjalanan itu ia mengalami musibah, perahu terbalik dan Pastor tenggelam di daerah Kipia. Musibah ini terjadi pada Mei 1896. Selanjutnya pelayanan terhenti selama 27 tahun.
Setelah 27 tahun berlalu, muncul inisiatif dari murid-murid Le Cocq. Mereka minta Agama Katolik datang ke Fakfak. Diutus tiga pemuda asal Fakfak, yakni Petrus Kabes, Andreas Kabes, dan Yosep Kombertenggo.
Tanggal 13 Desember 1924 ke Tual Langgur, mereka menjadi kuli di seorang Cina yang bekerja sebagai pegawai Syahbandar pelabuhan laut Fakfak ketika itu.
Setelah tiga pemuda itu bertemu Uskup Vikariat Apostolik di Tual Langgur, maka diutus seorang guru Benediktus Renyaan. Januari 1925 ia datang mengecek kebenarannya, apa betul orang Fakfak minta Agama Katolik? Ternyata benar. Maka, utusan itu kembali memberi laporan bahwa betul masyarakat Fakfak minta Agama Katolik.
Akhirnya, tepat 25 Maret 1925, Pater Eduard Capers, MSC datang di Fakfak ditemani seorang bernama Kristianus Rettob. Kemudian, mulai membuka kampung, sekolah di Sakartemen. Resmi Agama Katolik mulai hadir kembali di Fakfak.
Misionaris Hati Kudus Yesus hadir di Papua bagian utara dari tahun 1925 sampai 1937 di daerah Fakfak, Babo dan Bintuni, kemudian ke daerah Mimika dan pedalaman suku Mee.
Tanggal 18 Maret 1937, para Misionaris Fransiskan menginjakkan kaki mereka di Tanah Papua untuk membantu mengambil alih wilayah pelayanan dari Misionaris Hati Kudus Yesus, yaitu daerah Fakfak, Babo, Bintuni dan Kaimana.
Tahun 1947 Pastor Frans Vanlewen pindah dari Babo ke Sorong menetap di Sorong. Pada Agustus 1948 Pastor Wilhelmus Rombouts tiba di Sorong dari Jayapura, lalu selanjutnya ke Teminabuan dan Ayamaru. Tiba di Ayamaru ada penolakan dari pihak Zending. Terpaksa Pastor Rombouts kembali ke Sorong.
Pada Januari 1949 Pastor Wilhelmus Rombouts bertemu dengan seorang bapak bernama Wilhelmus Yapen, lalu buat perjanjian bahwa lewat Sausapor, Werur, lalu menuju pedalaman Tambrauw tiba di Tabam Sere 8 Februari 1949.
Dari Tambrauw Pastor Rombouts berkunjung ke Hapeh Aifat Utara, Mosmara Aifat Timur, dan Mare, kemudian Fransiskan minta bantu tenaga dari Agustinian.
Tanggal 3 Januari 1953 di Jayapura, kemudian tahun 1959 terbentuk Keuskupan Manokwari. OSA diberi kesempatan untuk berkarya di bagian Kepala Burung.
Sejarah singkat Gereja Katolik masuk di wilayah Kepala Burung ini dibacakan Pastor Izak Bame, Pr, Vikjen Keuskupan Manokwari Sorong. []