PolhukamDemokrasiSalah Tinjau Lokasi Tambang, Tim Advokasi Tambang Soroti Bupati Raja Ampat

Salah Tinjau Lokasi Tambang, Tim Advokasi Tambang Soroti Bupati Raja Ampat

SORONG, SUARAPAPUA.com — Tim Advokasi Tambang Raja Ampat menilai bupati kabupaten Raja Ampat tak serius menanggapi aspirasi masyarakat tentang penolakan aktivitas penambangan di pulau Manyaifun dan Batang Pele.

Penilaian tersebut dikemukakan Ambrosius Klagilit, anggota Tim Advokasi Tambang Raja Ampat, menyikapi kunjungan bupati Raja Ampat pada tanggal 27 Mei 2025 ke pulau Kawei untuk meninjau lokasi pertambangan dari PT Kawei Sejahtera Mining.

Ambrosius menyatakan, seharusnya bupati Raja Ampat tak keluar dari konteks persoalan yang menjadi tuntutan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) pada 26 Mei 2025. Ia bilang, poin utama tuntutan massa aksi yakni persoalan tambang di pulau Manyaifun dan Batang Pele.

“Dalam kunjungan itu bupati Orideko Iriano Burdam dan rombongan tidak datang langsung ke kampung Manyaifun dan pulau Batang Pelei yang sedang dieksplorasi oleh PT Mulia Raymond Perkasa. Mereka malah pergi ke pulau Kawei yang juga terdapat satu perusahaan tambang, PT Kawei Sejahtera Mining,” kata Ambrosius Klagilit kepada Suara Papua di Sorong, Sabtu (31/5/2025).

Pada saat menerima massa aksi di halaman kantor bupati Raja Ampat beberapa hari lalu, Orideko mengaku belum bisa mengambil keputusan sebelum turun langsung dan menemui masyarakat baik yang menolak maupun menerima. Tetapi faktanya, kata Ambrosius, dalam kunjungannya bupati tak meninjau pertambangan dari PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).

“Kami menilai bupati Raja Ampat tidak punya sikap tegas untuk melindungi alam Raja Ampat dari ancaman perusahaan pertambangan nikel yang hendak beroperasi, sebut saja PT MRP itu,” ujarnya.

Baca Juga:  Apolos Sroyer Minta Wali Kota Jayapura Tidak Menambah Luka OAP

IUP Diterbitkan Tahun 2013

Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT MRP di pulau Manyaifun dan Batang Pele diduga masih menggunakan izin lama yang diterbitkan pemerintah di masa mantan bupati Raja Ampat pada tahun 2013.

Ambrosisus Klagilit menilai pemerintah kabupaten Raja Ampat tak mampu mengendalikan aktivitas pertambangan di Raja Ampat. Ia menyebutkan pernyataan bupati Raja Ampat di hadapan massa aksi pada 26 Mei 2025 merupakan bentuk kelemahan dari pemerintah daerah.

“Bupati mengaku bahwa sejauh ini pemerintah daerah belum bertemu dengan pihak perusahaan. Ini pernyataan yang menunjukkan kelemahan pemerintah daerah yang tidak mampu mengendalikan semua aktivitas di daerah yang dia pimpin. Bupati juga mengatakan bahwa kewenangan mengenai perizinan pertambangan ada di provinsi dan pusat,” tuturnya.

Ambrosius menegaskan, berdasarkan fakta IUP PT MRP seharusnya pemerintah daerah dapat mencabutnya meski telah terbit UU nomor 03 tahun 2020, namun terdapat pengecualian mengenai IUP terutama IUP yang terbit di bawah tahun 2020. Sehingga menurutnya, bupati Raja Ampat memiliki hak untuk mencabut izin PT MRP.

“Faktanya IUP milik PT MRP yang saat ini dijadikan dasar untuk kegiatan eksplorasi di pulau Batang Pele dan Manyaifun, distrik Waigeo Barat Kepulauan diterbitkan oleh mantan bupati sebelumnya pada tahun 2013. Meskipun setelah adanya UU nomor 03 tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batu bara, semua yang berkaitan dengan izin pertambangan menjadi kewenangan pusat, namun ada pengecualian mengenai IUP terutama untuk eksplorasi yang diterbitkan dibawah tahun 2020 masih tetap menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini bupati Raja Ampat yang menerbitkan IUP eksplorasi untuk PT MRP,” tegas Ambrosius.

Baca Juga:  Distrik Walaik Teraman, Kini Justru Dikuasai Pasukan TNI: Segera Ditarik!

Sebelumnya, ALJARA menggelar aksi penolakan terhadap ekspansi dan eksploitasi pertambangan nikel yang dilakukan PT MRP di pulau-pulau kecil: Manyaifun dan Batang Pele, kabupaten Raja Ampat. Aksi ini menyoroti konflik kepentingan antara industri tambang dan pelestarian lingkungan di salah satu kawasan dengan biodiversitas laut tertinggi di dunia itu.

Data ALJARA menyebutkan deforestasi akibat pembukaan lahan tambang menimbulkan sedimentasi tinggi yang terbawa sungai hingga ke laut. Endapan lumpur menutupi terumbu karang, habitat penting bagi berbagai spesies laut, termasuk penyu sisik yang dilindungi. Limbah tambang juga berpotensi mencemari ekosistem mangrove yang berperan krusial dalam mitigasi perubahan iklim dan melindungi garis pantai dari abrasi.

“Pohon-pohon ditebang, lubang-lubang tambang terbuka dengan tanah berwarna jingga-coklat merusak pulau-pulau kecil. Sedimen tambang terbawa arus laut dan menumpuk di sepanjang pantai, mengancam kehidupan bawah laut yang menjadi keajaiban Raja Ampat,” kata Yoppy L. Mambrasar, koordinator aksi ALJARA.

Dalam aksi yang berlangsung 26 Mei 2025, ALJARA dengan tegas menyatakan menolak kegiatan PT MRP yang telah memiliki IUP seluas 2.194 hektare di pulau Manyaifun dan Batang Pele. Mereka mendesak Pemkab Raja Ampat, Pemprov Papua Barat Daya, dan pemerintah pusat untuk menghentikan segala bentuk aktivitas tambang nikel dan fokus melindungi kawasan konservasi dan destinasi wisata bahari ini.

Baca Juga:  Menteri Bahlil “Kabur” Lewat Pintu Belakang Saat Disambut Aksi Spontan

Yoppy menegaskan, “Kami tidak bisa diam melihat kehancuran alam di Raja Ampat atas nama pembangunan dan hilirisasi nikel yang katanya untuk energi bersih. Ini adalah rantai pasok berdarah yang merusak surga bahari kita.”

ALJARA juga mengecam pemerintah yang dinilai belum serius menjalankan fungsi perlindungan lingkungan, kendati Mahkamah Konstitusi RI telah memutuskan pada Maret 2024 agar pulau-pulau kecil mendapatkan perlindungan khusus dari aktivitas berbahaya seperti pertambangan.

“PT Mulia Raymond Perkasa terang-terangan beroperasi di kawasan Geopark Raja Ampat dan hutan lindung, menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Pemerintah daerah mengaku tidak bisa berbuat banyak, sementara para pemimpin pusat seolah hanya memberi janji tanpa tindakan nyata,” ujar Mambrasar.

Kerusakan ekosistem laut dan darat akibat pertambangan nikel bukan hanya ancaman bagi lingkungan, tetapi juga bagi keberlanjutan ekonomi masyarakat pesisir yang bergantung pada pariwisata dan perikanan. Penurunan kualitas air laut dan sedimentasi mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan ikan yang secara langsung memengaruhi kehidupan ribuan warga.

“Perjuangan kami adalah melawan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil dan alam. Kami ingin Raja Ampat tetap menjadi surga bahari, bukan daerah yang dirusak untuk keuntungan segelintir orang,” tegas Yoppy. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Mahasiswa Deiyai Tolak Pembangunan PLTA Urumuka

0
DEIYAI, SUARAPAPUA.com --- Rencana pembangunan pelabuhan di Kapiraya sebagaimana diwacanakan gubernur Papua Tengah dan rencana pembangunan PLTA (pembangkit listrik tenaga air) Urumuka kali Yawei,...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.