Masyarakat adat suku Moni nyatakan tolak PSN senilai Rp24 Triliun. Penolakan disampaikan saat Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai gelar press release bertepatan dengan hari Lingkungan Hidup Sedunia, Kamis, 5 Juni 2025. (Reiner Brabar - Suara Papua)
adv
loading...

SORONG, SUARAPAPUA.com — Masyarakat suku Moi yang terdiri dari 8 sub suku tersebar di 4 kabupaten dan 1 kota di provinsi Papua Barat Daya menolak dengan tegas proyek senilai Rp24 Triliun yang diusulkan PT Fajar Surya Persada Group.

Penolakan terhadap rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) industri pangan berbasis kelapa sawit di wilayah adat Moi, Papua Barat Daya, menguat bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2025.

Masyarakat adat dari delapan wilayah suku Moi menegaskan sikap tolak proyek yang mencakup area seluas 98.824,97 hektare tersebut sebagai ancaman sistematis terhadap kelestarian hutan, ruang hidup masyarakat adat, dan keberlanjutan ekosistem di Tanah Papua.

“Negara tidak boleh terus-menerus menjadi alat kapitalisme dan imperialisme yang menindas masyarakat adat Papua,” ujar Ayub Paa, perwakilan masyarakat adat Moi.

Menurutnya, saat ini masyarakat adat tak membutuhkan janji investasi triliunan yang kemudian menghancurkan hutan, tanah, dan hidup mereka.

ads

“Kami butuh pengakuan, perlindungan, dan ruang untuk hidup sebagai masyarakat adat Papua yang bermartabat,” ujarnya.

Hutan Papua yang merupakan rumah bagi lebih dari 271 suku dan menjadi pusat keanekaragaman hayati dunia, kini terus dihancurkan demi kepentingan industri.

Baca Juga:  Indonesia Bantah Dugaan Pelanggaran HAM dan Lingkungan Dampak PSN Merauke

“Dari transmigrasi, HPH, tambang, sampai kelapa sawit, semuanya dibungkus proyek pembangunan. Sebenarnya itu perampasan ruang hidup kami,” tegas Ayub.

Toriyanus Kalami, ketua AMAN Malamoi, mengakatan, perusahaan-perusahaan sawit yang telah beroperasi di kabupaten Sorong tak menghargai hukum adat masyarakat Moi.

“Kami saksi dusun sagu dan tempat-tempat keramat kami dirusak. Hutan kami hilang, anak cucu kami tidak akan tahu lagi seperti apa tanah adat itu,” ujarnya.

Kalami juga menyoroti rencana pembangunan industri pangan terpadu senilai Rp24 triliun oleh PT Fajar Surya Persada di atas lahan seluas hampir 99 ribu hektare.

“Kami melihat ini sebagai bentuk konsolidasi bisnis besar. Ini bukan pembangunan, tetapi penguasaan pasar oleh segelintir elit dengan mengorbankan masyarakat adat,” ujarnya geram.

Ditegaskan, yang diuntungkan adalah korporasi, dan yang ditindas adalah masyarakat adat.

“Sistem ini membuat kami makin tersingkir dan makin miskin. Kami tidak akan diam,” ujar Tori Kalami.

Baca Juga:  Blokir Jalan Klayili, Masyarakat Pertanyakan Anggaran Peningkatan Ruas Jalan

Tori menuntut negara segera berhenti mendorong PSN yang merampas ruang hidup masyarakat adat.

“Stop jadikan Papua sebagai ladang uji coba pembangunan rakus dan serakah,” tegas Kalami.

Ancaman Serius Masyarakat Adat

Diketahui, PT Fajar Surya Persada (FSP) belakangan ini baru mengirim surat permohonan dukungan kepada gubernur Papua Barat Daya, 27 Mei 2025 (Nomor 002/FSP-JKT/III/2025). PT FSP menyebut proyek ini sebagai bagian dari upaya hilirisasi pangan dan energi nasional.

Dalam surat itu, perusahaan mengklaim pembangunan industri pangan terpadu akan menyasar distrik-distrik penting di kabupaten Sorong dan kabupaten Tambrauw sebesar Rp24 Triliun dengan lahan seluas 98.824.97 hektare.

PT FSP dengan luas area sekitar 176.34 hektare sebagai pusat industri pangan dengan konsorium diantaranya:

  1. PT Inti Kebun Sawit (IKS) dengan luas area 18.425,78 hektare
  2. PT Inti Kebun Sejahtera (IKSj) dengan luas area 307,91 hektare
  3. PT Sorong Global Lestari (SGL) dengan luas area 12.115,43 hektare
  4. PT Omni Makmur Subur (OMS) dengan luas area 40.000,00 hektare
  5. PT Graha Agrindo Nusantara (GAN) dengan luas area 13.799,51 hektare
Baca Juga:  Hentikan Kampanye Negatif, Pemilih Papua Berhak Mendapatkan Informasi yang Mencerahkan

Perusahan Sawit di Sorong

Sejak perusahan sawit masuk di kabupaten Sorong, ruang hidup masyarakat adat suku Moi di kabupaten Sorong mulai terancam. Mereka  tergusur dari wilayah adatnya. Sumber-sumber mata pencaharian, makanan lokal, obat-obatan, dan tempat keramat pun hilang.

Meski perkebunan sawit memberikan kontribusi ekonomi, ada juga dampak negatif, seperti deforestasi dan dampak sosial terhadap masyarakat adat. 

  1. PT Henrison Inti Persada (HIP) – 32.546 ha
  2. PT Inti Kebun Sejahtera (IKSj) – 38.000 ha
  3. PT Inti Kebun Sawit (IKS) – 37.000 ha
  4. PT Sorong Global Lestari (SGL) – 16.305 ha

Tiga dari empat perusahaan itu diketahui terafiliasi dengan Ciliandry Anky Abadi (CAA) Group, sebuah konglomerat agribisnis nasional yang diduga terlibat dalam deforestasi, perampasan tanah, dan perusakan situs adat.

Ironisnya, masyarakat adat Moi mengaku nilai tanah adat mereka hanya dihargai Rp6.000 per hektare. Sudah begitu, sungai Klasof yang dulu menjadi sumber pangan kini tercemar, dan dusun-dusun sagu serta situs keramat dihancurkan demi perluasan lahan kebun sawit. []

Artikel sebelumnyaDewan Adat Suku Besar Moi dan MRP Papua Barat Daya Tolak PSN
Artikel berikutnya18 Organisasi Nyatakan Tolak PSN 24 Triliun di Papua Barat Daya