JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Keputusan pemerintah membiarkan PT Gag Nikel —anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) Tbk— melanjutkan aktivitas pertambangan nikel di pulau Gag, distrik Waigeo Barat, kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, mendapat sorotan dari berbagai pihak. Berbeda dengan empat perusahaan yang izinnya telah dicabut, dinilai sebagai inkonsistensi negara menerapkan peraturan perundang-undangan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat, lingkungan hidup dan biota laut setelah beberapa waktu kemudian.
Mochdar Soleman, dosen dan pengamat politik lingkungan dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, menyatakan, kebijakan tersebut justru membahayakan masa depan lingkungan hidup di kawasan Raja Ampat. Karenanya, pemerintah didesak untuk segera mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT Gag Nikel.
“Ketika dunia memuji Raja Ampat sebagai surga laut, negara justru membuka jalan tambang di jantung kawasan itu. Ini bukan kelalaian, tetapi keputusan sadar yang membahayakan masa depan lingkungan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (13/6/2024).
Sikap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang membenarkan tambang atas dasar status PT Gag Nikel sebagai anak usaha BUMN disesalkan Soleman. Kata dia, hal ini menunjukkan wajah baru dari kolusi kekuasaan dan modal yang mempertegas negara tidak lagi netral, tetapi justru menjadi pelindung korporasi.
“Empat perusahaan kecil dicabut izinnya, tetapi PT Gag Nikel tetap dilindungi. Ini bukan pembangunan, ini kolonialisme gaya baru. Negara justru menindas rakyatnya sendiri demi kepentingan ekonomi elite,” ujar Soleman sembari menyebut Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai aktor utama yang mendorong eksploitasi di kawasan konservasi atas nama hilirisasi industri.
Pulau Gag terletak di dalam kawasan konservasi Geopark Nasional Raja Ampat dan dilindungi Undang-undang nomor 1 tahun 2014, yang melarang tambang di pulau kecil. Tetapi hukum kerap dilenturkan untuk kepentingan BUMN.
Soleman meminta pemerintah segera melakukan sejumlah langkah mendesak untuk menyelamatkan kawasan “wisata dunia” itu.
Pertama: Mencabut izin PT Gag Nikel dan seluruh bentuk tambang di Raja Ampat.
Kedua: Keluarkan Raja Ampat dari peta industri ekstraktif nasional secara permanen.
Ketiga: Mengaudit secara menyeluruh dan transparan terhadap proses perizinan tambang oleh negara.
Keempat: Menghentikan praktik kooptasi terhadap komunitas adat.
Kata Soleman,komunitas adat perlu dilibatkan sebagai penentu, bukan pelengkap.
“Presiden Prabowo dan jajarannya harus menjawab satu pertanyaan, yakni mereka melindungi rakyat atau korporasi negara? Jika berpihak pada rakyat, hentikan tambang di Raja Ampat sekarang juga,” tegas Soleman.
Mochdar Soleman mengajak para akademisi dan masyarakat sipil untuk bersatu melawan penghancuran lingkungan oleh persekutuan kekuasaan dan modal.
“Raja Ampat bukan warisan investasi, tetapi warisan hidup. Dan warisan itu sedang terancam,” tutupnya.
Institut USBA mengingatkan pemerintah pusat untuk meninjau kembali keputusan tak adil itu. Semua IUP tambang nikel di Raja Ampat didesak untuk dicabut tanpa ada pengecualian.
“Institut USBA mendesak agar seluruh IUP, termasuk milik PT Gag Nikel, juga dicabut demi keadilan ekologis dan perlindungan hak masyarakat adat,” ujar Charles melalui siaran persnya, Kamis (12/6/2025).
Bagi masyarakat adat, kata Charles Imbir, pencabutan empat IUP tambang nikel di Raja Ampat kemenangan semu. Dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat adat sudah pasti akan terjadi di kemudian hari lantaran satu IUP masih dibiarkan berlanjut.
“Satu perusahaan masih beroperasi itu sama saja melanggar regulasi. Seharusnya lima IUP itu dicabut permanen,” tegasnya. []