Kriminalisasi dan Ancaman terhadap Pekerja Kemanusiaan di Tanah Papua (1961-2025)

0
4

Oleh: Elias Pekei*
*) Penulis adalah advokat, pekerja kemanusiaan di Papua

Papua, dengan kekayaan alam dan keragaman budayanya, juga menyimpan sejarah panjang konflik dan pelanggaran hak asasi manusia. Sejak tahun 1961 hingga saat ini, pekerja kemanusiaan di Tanah Papua menghadapi kriminalisasi dan ancaman yang sistematis, menghambat upaya mereka untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Esai ini akan mengkaji dinamika kriminalisasi dan ancaman tersebut, serta dampaknya terhadap upaya kemanusiaan di Tanah Papua.

Fase Awal (1961-1998)

Periode ini ditandai dengan pemerintahan otoriter yang membatasi ruang gerak organisasi kemanusiaan dan individu yang dianggap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kriminalisasi seringkali dilakukan melalui tuduhan subversif, makar, atau pelanggaran keamanan negara.

ads

Akses informasi yang terbatas dan kontrol ketat terhadap media massa membuat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sulit diungkap dan dipertanggungjawabkan. Pekerja kemanusiaan yang berani menyuarakan kebenaran seringkali menghadapi intimidasi, penahanan, bahkan pembunuhan. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas hukum memperparah situasi ini.

Era Reformasi (1998-2000an)

Reformasi 1998 membawa harapan baru bagi peningkatan hak asasi manusia di Indonesia, termasuk di Papua. Namun, kriminalisasi dan ancaman terhadap pekerja kemanusiaan tetap berlangsung, meskipun dengan modus operandi yang lebih halus.

Tuduhan-tuduhan yang digunakan mungkin lebih beragam, seperti pencemaran nama baik, penghasutan, atau pelanggaran izin. Namun, akar masalahnya tetap sama: ketakutan pemerintah terhadap pengawasan dan kritik terhadap kebijakannya di Papua. Organisasi kemanusiaan internasional pun tak luput dari tekanan dan pembatasan akses.

Tantangan Kontemporer (2010-2025)

Pada dekade terakhir, kriminalisasi dan ancaman terhadap pekerja kemanusiaan di Papua semakin kompleks.

Selain ancaman dari aparat keamanan, muncul pula ancaman dari kelompok-kelompok bersenjata non-negara. Situasi ini menciptakan lingkungan yang sangat berbahaya bagi pekerja kemanusiaan yang beroperasi di daerah konflik.

Akses ke informasi dan dokumentasi pelanggaran HAM masih sangat terbatas, membuat upaya advokasi dan penegakan hukum menjadi semakin sulit.

Stigmatisasi terhadap pekerja kemanusiaan sebagai ”antagonis” pemerintah atau “mata-mata asing” juga memperburuk situasi.

Dampak Kriminalisasi

Kriminalisasi dan ancaman terhadap pekerja kemanusiaan berdampak luas.

Upaya bantuan kemanusiaan terhambat, akses masyarakat terhadap layanan kesehatan dan pendidikan berkurang, dan pelanggaran HAM terus terjadi tanpa pengawasan yang memadai.

Ketakutan yang ditimbulkan membuat banyak pekerja kemanusiaan enggan bekerja di Papua, meninggalkan masyarakat yang rentan tanpa perlindungan. Hal ini menciptakan siklus kekerasan dan ketidakadilan yang sulit diputus.

Kesimpulan

Kriminalisasi dan ancaman terhadap pekerja kemanusiaan di Tanah Papua merupakan masalah serius yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan komitmen kuat dari pemerintah untuk menghormati hak asasi manusia, melindungi pekerja kemanusiaan, dan menjamin akses informasi yang bebas dan transparan.

Investigasi yang independen dan akuntabilitas hukum bagi para pelanggar HAM juga sangat penting. Hanya dengan demikian, upaya kemanusiaan di Tanah Papua dapat berjalan efektif dan berkontribusi pada perdamaian dan kesejahteraan masyarakat Papua. (*)

Artikel sebelumnyaDosen UNAS Desak Pemerintah Cabut IUP PT Gag Nikel di Raja Ampat
Artikel berikutnyaMerajut Kebersamaan Memperkokoh Jembatan Kasih Keluarga Besar Jurnalis di Papua