Oleh: Dipa Arif*
*)Kolaborator di Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Wali gereja Prancis.
Dalam perjalanan panjang kemerdekaan bangsa-bangsa pasca-kolonial, tidak jarang ditemukan sebuah paradoks yang mendalam: seruan keras menolak penjajahan secara formal, namun pada tataran budaya dan psikologis masih tersisa jejak-jejak subordinasi yang membelenggu pikiran dan identitas kolektif. Indonesia, sebagai sebuah negara yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya sejak 1945, pun tidak luput dari fenomena ini.
Tatkala kemerdekaan terjebak dalam simbolisme kulit putih
Aimé Césaire, filsuf kulit hitam asal Martinique, dalam “Discourse on Colonialism”, mengingatkan kita bahwa kolonialisme bukan hanya penaklukan wilayah, melainkan juga “suatu proses pembunuhan budaya yang melumpuhkan jiwa bangsa yang dijajah.” Ia menegaskan bahwa “penjajahan mengakar dalam struktur masyarakat, dalam cara berpikir, dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari.” Dengan kata lain, kemerdekaan formal tidak otomatis menjamin kemerdekaan mental dan kultural.
Militan antikolonial Frantz Fanon melanjutkan pemikiran ini dalam “The Wretched of the Earth”.
Ia menulis bahwa “dekolonisasi adalah proses yang revolusioner, bukan hanya pembebasan fisik, melainkan pembebasan pikiran dan pembentukan manusia baru.”
Fanon menegaskan bahwa kolonialisme meninggalkan luka psikologis yang mendalam, membuat bangsa yang dijajah sering terperangkap dalam dualisme identitas, antara penolakan dan penyerapan budaya penjajah.
Di Indonesia, paradoks ini tampak dalam berbagai manifestasi sosial dan budaya. Retorika anti-Barat yang lantang sering beriringan dengan keinginan bawah sadar untuk mengadopsi citra kulit putih sebagai standar kecantikan, kesuksesan, bahkan martabat. Produk pemutih kulit yang merajalela, idolatri terhadap budaya pop Barat dan Asia Timur, serta kompleks inferioritas yang terselubung, adalah gejala nyata dari apa yang Fanon sebut sebagai “penindasan internal” yang mengakar.
Kritik melalui refleksi sejarah dan budaya
Soekarno, tokoh kemerdekaan sekaligus simbol nasionalisme, tidak lepas dari kompleksitas paradoks ini. Di satu sisi, ia mendirikan Gerakan Non-Blok, menantang hegemoni Barat, serta melancarkan seruan “Go to hell with your aid!”, sebagai ungkapan tegasnya menolak bantuan asing yang mengekang kemerdekaan Indonesia secara politik dan ekonomi.
Namun, di sisi lain, kehidupan pribadi dan estetika publik Soekarno menunjukkan ketegangan yang lebih dalam. Ia mengagumi peradaban Eropa; mengutip filsuf Prancis, membandingkan dirinya dengan Danton atau Jean Jaurès selama pidatonya yang berapi-api, menghargai arsitektur klasik, dan menunjukkan ketertarikan yang luar biasa pada wanita berkulit terang.
Orang yang dipercayai Soekarno untuk menulis biografinya bukanlah wartawan dari negara Dunia Ketiga, melainkan seorang wartawati asal Amerika Serikat, Cindy Adams. Ini memang pilihan pribadi, tetapi dari perspektif pascakolonial, ini mencerminkan internalisasi prestise kulit putih.
Soekarno mencela Barat, tetapi secara implisit mengakui keunggulan budaya dan estetikanya. Bahkan Sang Maestro Revolusi tampaknya percaya bahwa “kulit putihlah yang tercantik.” Di sini letak ambivalensinya: menolak penjajahan secara politik, namun tetap menyerap nilai-nilai dan simbol-simbolnya secara kultural.
Papua dan konteks kekuasaan yang berkelindan
Lebih jauh, wilayah Papua, yang disintegrasi dua puluh tahunan setelah kemerdekaan Indonesia, mencerminkan dilema kolonial yang berlapis.
Serangkaian pelanggaran HAM dan segala bentuk marginalisasi yang terjadi bukan semata soal warna kulit, melainkan masalah kekuasaan dan penguasaan atas tanah dan identitas.
Kolonialisme tidak berhenti hanya karena bendera berganti, jika pola pikir dan struktur kekuasaan lama terus terpelihara dalam bentuk baru.
Menuju kemerdekaan pikiran dan identitas
Mengutip Césaire, “Kemerdekaan sejati adalah pembebasan dari semua bentuk penindasan, termasuk penindasan pikiran dan budaya.” Oleh karenanya, tantangan terbesar adalah melampaui sekadar pergantian rezim atau simbol politik, menuju transformasi mendalam dalam cara kita memandang diri sendiri dan dunia.
Fanon mengajak kita untuk “melahirkan manusia baru yang tidak lagi terbelenggu oleh nostalgia penjajah, tetapi mampu mencipta identitas yang autentik dan berdaulat.”
Di sinilah terletak esensi perjuangan pasca-kolonial yang sesungguhnya: membebaskan diri dari ⁰bayang-bayang lama dan menegaskan eksistensi yang utuh, di atas fondasi kesadaran kritis dan keberanian.
Refleksi terbuka
Siapkah kita menatap sejarah dan diri kita dengan kejujuran radikal, tanpa penyangkalan?
Apakah kita hanya berganti topeng, atau benar-benar melangkah menuju kemerdekaan yang hakiki?
Dialog ini bukan sekadar kritik, melainkan ajakan untuk pembebasan yang lebih luas — pembebasan pikiran, budaya, dan identitas. Sebab tanpa itu, kemerdekaan hanya akan menjadi fatamorgana dalam gurun waktu.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan refleksi independen yang mengajak pembaca untuk merenung dan berdialog secara kritis.