Pulau Gag dan aktivitas pertambangan nikel oleh PT Gag Nickel. (Dok. Greenpeace)
adv
loading...

SORONG, SUARAPAPUA.com — Kebijakan pemerintah mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang ada di kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, menyisakan sejumlah temuan yang mencengangkan. Sebab, ternyata, di wilayah Raja Ampat terdapat 16 izin tambang nikel.

Empat IUP yang telah dicabut yakni PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Nurham. Sedangkan PT Gag Nikel di pulau Gag tetap diberi izin operasi.

Saat konferensi pers, Selasa (10/6/2025), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan aspek legal, historis, dan hasil verifikasi lapangan.

“Dari lima IUP, hanya PT Gag Nikel yang masih diizinkan beroperasi. Empat lainnya dicabut,” ujar Bahli.

Kendati empat IUP di kabupaten Raja Ampat dicabut, dan satu perusahaan masih berlanjut, artinya sorotan publik terkait kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya masih akan terdengar lagi di waktu-waktu mendatang. Sekalipun Menteri ESDM berdalih PT Gag Nikel tak masuk di dalam kawasan konservasi karena letaknya sekitar 42 km dari Piaynemo, pusat kawasan wisata utama, dan secara geografis lebih dekat ke Maluku Utara.

ads

Area Konsesi Dua Kali Luas Pulau Gag

Laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bertajuk “Nestapa Pulau Kecil Indonesia Alam Dijarah, Penduduknya Dimiskinkan dan Dikriminalisasi” menyebutkan, berdasarkan pantauan melalui citra satelit luas wilayah konsesi dari PT Gag Nikel dua kali lebih besar dari pulau Gag.

Baca Juga:  Mufakat Bersama, Masyarakat Adat Bikin Sumpah Adat Tolak PSN di Sorong

Hal ini menjadi ancaman serius bagi kehidupan masyarakat di pulau Gag, apalagi Jatam akui pertambangan nikel di pulau Gag bukan baru. Sejak 2017, PT Gag Nikel mendapat izin menambang nikel seluas 13.136 hektare hingga tahun 2047 dengan status kontrak karya.

Melky Nahar, koordinator nasional Jatam, merinci luas pulau Gag hanya 6.034,42 hektare, lebih kecil dibandingkan luas konsesi PT Gag Nikel.

“Artinya, perusahaan mendapatkan konsesi dua kali lipat lebih luas dari luas seluruh daratan pulau. Luas wilayah pulau Gag 6.030,53 hektare ini dibebankan sebuah izin pertambangan dari PT Gag Nikel dengan luas izin 13.136 hektare yang lebih besar dari luas pulau itu sendiri,” urainya.

Lanjut diulas Jatam, PT Gag Nikel mencaplok seluruh luas daratan dan perairan pulau Gag. Dengan luas hanya 6.500 hektare, pulau Gag dikategorikan sebagai pulau kecil menurut Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PWP3K). Menurut undang-undang ini, pulau kecil tak boleh ditambang.

“Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-XXI/2023 yang amar putusannya menolak gugatan PT Gema Kreasi Perdana saat mengajukan uji materiil terhadap pasal-pasal krusial mengenai larangan penambangan di pulau kecil, kian meneguhkan prinsip pulau kecil haram untuk ditambang.”

Baca Juga:  Ruang Hidup Kian Terancam, Suku Moi Tolak PSN 24 Triliun di PBD

PT Gag Nikel yang masih dapat menambang di pulau Gag lantaran tak dicabut IUP seperti halnya empat perusahaan lain, menyisakan tanda tanya besar: siapa sebenarnya pemilik perusahaan ini?

Diketahui, PT Gag Nikel adalah anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, perusahaan pertambangan dengan status badan usaha milik negara (BUMN). PT Antam bergerak dalam berbagai komoditas tambang, termasuk nikel, emas, batu bara, alumina, feronikel, dan bauksit. Sebagai perusahaan publik (Tbk), saham PT Antam sebagian dimiliki pemerintah melalui holding BUMN pertambangan MIND ID.

Karenanya, dapat dimaklumi bila ada pengecualian bagi PT Gag Nikel, dibiarkan izinnya berlanjut.

Ternyata Banyak IUP

Sementara dalam laporan Greenpeace berjudul “Surga yang Hilang? Bagaimana Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling Penting di Dunia?”, dibeberkan keberadaan 16 izin tambang nikel di Raja Ampat, meliputi 5 izin pertambangan aktif dan 11 izin yang sebelumnya pernah diterbitkan, tetapi telah dibatalkan atau dibekukan. Sebanyak 12 dari 16 izin yang ditemukan tersebut berada di kawasan UNESCO Global Geopark (UGGp).

Berikut beberapa poin kunci temuan Greenpeace Indonesia:

  1. Dua izin yang sebelumnya dibatalkan atau terhenti, tetapi diterbitkan kembali pada tahun 2025.
  2. Tiga izin lain yang sebelumnya dibatalkan atau izin yang aktif kembali setelah perusahaan menggugat ke pengadilan dan menang.
  3. Izin yang sebelumnya diterbitkan untuk pertambangan nikel di kepulauan Fam. Izin ini mencakup area tujuan wisata terkenal Piaynemo.
  4. Sejumlah Politically Exposed Persons (PEPs) di balik tambang nikel aktif di Raja Ampat.
  5. Rantai pasok menghasilkan nikel dari Raja Ampat ke PT IWIP (Indonesia Wedabay Industrial Park) di Maluku Utara.
  6. Rencana pembangunan smelter di Sorong, yang secara tak langsung menandakan bahwa ancaman tambang nikel di Raja Ampat belum berlalu.
Baca Juga:  Pelapor Khusus PBB Temui Korban Perampasan Tanah Adat di Papua

Arie Rompas, ketua tim kampanye hutan Greenpeace Indonesia, dalam diskusi peluncuran laporan tersebut, Kamis (12/6/2025) kemarin, mengatakan, pencabutan empat IUP di Raja Ampat oleh pemerintah tak serta merta menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan yang telah berlangsung.

Rompas mengatakan, Greenpeace khawatir pernyataan pemerintah tentang pencabutan izin itu hanya untuk meredam kehebohan dan tuntutan publik. Maka dari itu, Greenpeace bersama 60 ribu orang yang sudah menandatangani petisi akan terus bersatu agar Raja Ampat betul-benar dilindungi.

“Pemerintah harus melindungi seluruh Raja Ampat dan menghentikan semua rencana penambangan nikel serta rencana pembangunan smelter di Sorong,” ujar Arie. []

Artikel sebelumnyaPencabutan IUP Nikel di Raja Ampat Picu Konflik Saudara di Kawei
Artikel berikutnyaRDP DPRP PBD, Masyarakat Adat Moi Teriak Tolak Proyek Sengsara Rakyat