
TIOM, SUARAPAPUA.com — “Kami tidak ingin membangun dari atas. Kami mulai dari kampung.” Kalimat itu diucapkan bupati Lanny Jaya, Aletinus Yigibalom, bukan sebagai slogan semata, melainkan sebagai kompas kerja. Bupati bicara itu dari Tiom, ibu kota kabupaten Lanny Jaya, 19 Juni 2025.
Dalam wilayah yang terdiri dari 354 kampung yang tersebar di 39 distrik itu, pembangunan bukan lagi soal proyek di pusat kota. Tetapi bagaimana menyentuh hidup dari ujung kampung yang nyaris tak terjangkau, itulah yang menjadi inti dari pemerintahan Aletinus Yigibalom-Fredi Ginia Tabuni.
Tak banyak kata, tetapi kaya kerja. Aletinus Yigibalom dikenal sebagai birokrat tulen yang tak doyan publikasi.
“Pembangunan ini bukan dari atas, tetapi dari dalam,” kata Aletinus, dalam satu rapat distrik, tanpa podium dan tanpa kamera.
Dana Kampung Urat Nadi Pembangunan Lanny Jaya
Satu hal yang menjadi perhatian serius dalam kepemimpinannya adalah penggunaan Dana Kampung. Ia tak menganggapnya sebagai bantuan rutin semata, tetapi sebagai instrumen utama pembangunan yang bisa mengubah wajah kampung. Dana kampung yang selama ini kerap disalahgunakan, dikawal ketat. Dari distribusi, pelaporan, hingga implementasi.
“Dana kampung itu bukan sekadar uang. Itu alat kita untuk merobohkan tembok ketertinggalan,” tegasnya.
Setiap pembangunan harus dimulai dari bawah, dan pengawalnya bukan sekadar kepala distrik saja, tetapi pegawai distrik yang tinggal dan bekerja langsung di wilayah.
Distrik Sebagai Sentral Pemerintahan
Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang menumpuk semua kendali di ibukota kabupaten, Aletinus Yigibalom justru membalik piramida. Distrik dijadikan pusat kendali. Semua kegiatan birokrasi, pelayanan publik, pengawasan dana kampung, hingga sektor kesehatan dan pendidikan, dimulai dari distrik.
“Distrik bukan sekadar perpanjangan tangan, mereka adalah tangan itu sendiri,” kata Fredi, wakil bupati yang selama ini setia mendampingi bupati Aletinus Yigibalom.
Dengan memaksimalkan kapasitas pegawai distrik, Aletinus-Fredi berharap lahir kepercayaan dan kemandirian di tingkat lokal.
Membangun dengan Rasa Melihat dan Rasa Mendengar
Bagi Aletinus, pembangunan bukan soal data statistik. Tetapi soal kehadiran.
“Kita harus menjangkau yang tidak terjangkau, melihat yang tidak terlihat, dan mengangkat yang belum diangkat.”
Itulah mengapa ia kerap berjalan kaki ke kampung-kampung yang tak bisa dijangkau kendaraan.
Ia menyapa bukan hanya dengan suara, tetapi dengan telinga yang mendengar apa yang disampaikan warga masyarakat.
Dari sektor pendidikan hingga kesehatan, semuanya dimulai dari bawah. Puskesmas bukan dibangun di kota, tetapi di kampung. Guru tidak dikirim ke kota, tetapi ke distrik. Anak-anak tidak perlu berjalan belasan kilometer, karena sekolah kini mendekat ke mereka.
Visi “Dari Kampung ke Kota”
Dalam banyak kesempatan, Aletinus menolak menjadikan kata-kata sebagai panggung.
“Biarkan pekerjaan kami yang bicara,” ujarnya.
Visi “Membangun dari kampung ke kota” bukan janji kampanye, melainkan kenyataan sehari-hari. Rakyat Lanny Jaya diajak terlibat dalam proses pembangunan yang menyentuh tanah tempat mereka berdiri.
Dalam perjalanan yang penuh retorika, Aletinus – Fredi hadir sebagai pengecualian. Keduanya memimpin dengan kerja yang senyap, tetapi nyata berdampak. []