JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Ikatan Mahasiswa Indonesia Papua (IMIPA) Sulawesi Utara menggelar diskusi publik bertajuk “Proyek Strategis Nasional (PSN), transmigrasi, daerah otonom baru (DOB) dan militerisme: ancaman bagi masyarakat pribumi atau kesejahteraan?”, Kamis (19/6/2025) sore, menghadirkan empat pemateri.
Marthen Goo, aktivis HAM, dalam pengantarnya mengungkapkan pentingnya peran mahasiswa dan secara umum pemuda progresif dalam melihat berbagai persoalan yang terus terjadi di Tanah Papua.
“Sesuai dengan isu atau tema yang diangkat dalam diskusi publik ini,ambil, saya mau bilang bahwa mulai hari ini mahasiswa harus keluar dari ruang isolasi untuk melihat masalah. Sebagai kaum terpelajar yang mampu mengatasi segala persoalan yang terus timbul di Tanah Papua,” tuturnya.
Setiap mahasisw Papua, harap Marthen, mulai sekarang harus bergerak untuk membangun pendidikan rakyat demi melawan hegemoni yang sengaja diciptakan oleh oligarki melalui pemekaran daerah atau DOB dan otonomi khusus (Otsus).
“DOB dan Otsus sebenarnya tidak berpihak pada orang asli Papua. Kebijakan ini yang membuat masyarakat Papua hidup dalam ketergantungan pada uang misalnya. Padahal dulu, orang Papua itu hidup tanpa uang dan itu lebih harmonis. Maka yang sekarang mahasiswa bahkan gerakan sipil harus mampu untuk bagaimana memberikan pencerahan kepada masyarakat awam di Papua. Kemudian pendidikan alternatif di setiap daerah agar mengembalikan moralitas bangsa yang sedang dihancurkan kolonial.”
Goo menyebut ancaman bagi Papua dengan kebijakan PSN, DOB dan militerisme ini membutuhkan kekuatan yang besar dan utuh dari masyarakat dan tentunya mahasiswa.
“Untuk mempersatukan itu harus ada kolaborasi peran masyarakat dan mahasiswa dalam melindungi tanah dan hutan adat. Sebelumnya mesti dilandasi dengan ilmu pengetahuan, yang mana ilmu itu akan mendorong persatuan dan pembagian kerja. Sehingga kolaborasi antara masyarakat, mahasiswa dan intelektual ini yang akan memandu kebangkitan semangat dan perlawanan tetap subur di atas tanah jajahan,” tandasnya.

Henli Rahman dari LBH Manado dalam pemaparan tentang “PSN dan dampak terhadap hak lingkungan hidup” mengemukakan, kebijakan negara kerap tidak patuh pada regulasi, bahkan terkesan melanggar HAM.
“Kita bisa lihat selama ini kebijakan pemerintah Indonesia tidak menghormati keberadaan masyarakat adat, tidak melindungi kekayaan alam, kebudayaan dan kearifan lokal, hingga kreativitas masyarakat adat dibonsai serta tidak ada jaminan terkait kebutuhan mendasar masyarakat adat yang selalu diskriminatif,” tutur Henli.
Hak masyarakat adat juga bagian tak terpisahkan dari HAM. Tetapi, kata Henli, sejauhmana tanggung jawab negara dan pemerintah dalam menjalankan “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia” pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945?.
Pemberlakuan kebijakan PSN, kata Henli, mulai dinasionalisasi di Indonesia tahun 2014 pada masanya Joko Widodo yang ditetapkan dalam peratuaran presiden (Perpres) nomor 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional, Perpres nomor 58 tahun 2017, Perpres nomor 56 tahun 2018 dan Perpres nomor 109 Tahun 2020. Dilanjutkan presiden Prabowo Subianto pada tahun 2024 dengan Perpres nomor 12 tahun 2025 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) tahun 2025-2029.
Dikemukakan, PSN adalah proyek yang dilaksanakan pemerintah, pemerintah daerah, dan badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
“Tetapi kenyataannya, apa yang dilakukan pemerintah tidak berpihak pada masyarakat adat dan masyarakat adat selalu menjadi korban misalnya di Merauke, Papua Selatan, dengan proyek cetak sawah baru dan optimalisasi lahan serta perkebunan tebu dan produksi bioethanol.”
Begitupun di Sulawesi Utara, kata Henli, ada pembangunan infrastruktur jalan tol Manado-Bitung, bendungan Lolak dan Kuwil.
“Itu secara tidak langsung mengusir masyarakat pribumi dari habitat hidupnya dan ini membuktikan bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah dan badan usaha lainnya tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat adat di Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya. Misalnya hak atas tempat tinggal yang layak, hak atas informasi, hak berkumpul dan menyampaikan pendapat dan hak atas lingkungan hidup,” bebernya.
Pembicara berikut, Frans Kurniawan, aktivis Sulut memaparkan topik seputar negara dan revolusi.
Sembari memperkenalan diri dan berbagai pengalaman saat menjabat ketua PRD dan pengalamannya membangun sayap Cenderawasih di Sulawesi Utara, ia mengingatkan mahasiwa agar mampu menjadi intelektual yang idealis, progresif dan revolusioner.
“Jadilah intelektual yang idealis, progresif dan revolusioner, dimulai dari sini [Sulawesi Utara] sampai nanti ke Papua,” ujar Frans.
Frans sebutkan sejumlah pemimpin progresif dan revolusioner, seperti Che Guevara, Mahatma Gandhi, atau Lenin pencetus teori negara dan revolusi.
“Mereka ini orang yang berintelek, progresif dan revolusioner, sehingga mampu mengorganisir buruh dan tani untuk merebut kekuasaan melalui revolusi.”
Pengalaman para tokoh progresif dan revolusioner, harap Frans, dijadikan pijakan bagi mahasiswa tentunya setelah selesaikan pendidikan.
“Kalian [mahasiswa] jikalau mau bangun negara berarti mesti dilandasi dengan pengalaman kerja, terlepas dari teori yang kalian tempuh. Pengalaman itu bisa dicari di sini misalnya, kerja di dalam organisasi maupun di lingkungan sekitar, dimana kita tinggal. Artinya, menjadi buruh agar bisa bergabung dalam organisasi atu aliansi buruh, bahkan petani di sini. Karena mau membentuk negara berarti mesti tahu bagaimana cara kerja buruh dan petani, sebab negara hanyalah organisasi yang disponsori oleh kaum buruh dan tani. Maka kalian mesti belajar, mencari pengalaman di organisasi atau aliansi buruh dan tani.”
Frans menyatakan, revolusi hanya bisa tercipta ketika kaum intelektual, mahasiswa, buruh dan petani berkolaborasi dan berkomitmen untuk membangun masyarakat yang hidup dalam kesetaraan tanpa diskriminasi rasial.
“Maka, penting bagi kawan-kawan mahasiswa mulai membuka diri dan bergabung dengan semua aliansi yang ada di Sulawesi Utara, dan mulai membangun emosi bersama untuk melawan sistem yang menindas dan merampok masyarakat pribumi,” tandasnya. []