
SORONG, SUARAPAPUA.com — Masyarakat adat suku Moi mengancam akan menggelar aksi demonstrasi sekaligus melakukan sumpah adat serta melumpuhkan aktivitas kantor bupati kabupaten Sorong dan kantor gubernur Papua Barat Daya (PBD) jika pemerintah tak serius menyikapi kehadiran PT Surya Fajar Perkasa Grup (SFP) yang berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat adat suku Moi.
Masyarakat adat suku Moi di kabupaten Sorong baru tahu PT FSP telah mengirimkan surat permohonan dukungan ke gubernur PBD pada 27 Mei 2025 dengan nomor 002/FSP-JKT/III/2025. PT FSP mengklaim proyek ini sebagai bagian dari upaya hilirisasi pangan dan energi nasional.
Merespons rencana investor besar akan kuasai wilayah lembah Klaso, masyarakat adat suku Moi mulai melakukan berbagai aksi desakan guna mendesak pemerintah provinsi PBD menolak surat dari PT FSP karena mengancam ruang hidup masyarakat adat suku Moi di 13 distrik di kabupaten Sorong.
Menurut masyarakat adat suku Moi, kehadiran perusahan kelapa sawit sama sekali tak memberikan dampak kesejahteraan bagi mereka.
“Silakan datang ke lokasi kelapa sawit yang ada di kabupaten Sorong ini dan lihat masyarakat suku Moi sejahtera atau tidak?” ujar Obeth Ulimpa, tokoh adat Klaben.

Obeth mengatakan, sungai-sungai di wilayah Malalis lokasi PT Hendrison Inti Persada (HIP) yang dulunya jernih dan dapat dilihat hingga dasar, sekarang sungai-sungai sudah kabur dan keruh.
“Air di sana jernih sekali, tetapi itu dulu sebelum ada penelitian kelapa sawit. Dulu di sana tempat masyarakat mencari di sungai-sungai itu, tetapi sekarang sudah tidak,” ujarnya.
Desi Karongsan, perwakilan perempuan adat Moi, berpendapat sama. Desi tegaskan, kehadiran perusahaan sawit tak membawa kesejahteraan.
“Kami orang asli suku Moi hanya satu orang yang bekerja sebagai driver perusahaan, selain dari itu tidak ada yang kerja di perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah adat kami,” keluhnya.
Desi juga mengeluhkan limbah PT Inti Kebun Sejahtera (IKSj) di kampung Klasof, distrik Moisingin. Limbah telah mencemari laut, menyebabkan ikan mati, dan anak-anak biasa gatal-gatal akibat pencemaran.
“Saat musim hujan, sungai Klasof selalu tercemar karena limbah sawit. Warna air sungai Klasof kuning dan berminyak, padahal ini tempat kami mincing,” kata Desi dalam acara rapat dengar pendapat (RPD) antara DPRP PBD, lembaga adat Malamoi dan masyarakat 13 distrik yang menjadi sasaran perusahaan kelapa sawit PT Fajar Surya Perkasa Grup (FSP).

Wacanakan Perda, DPRP PBD: PSN Sawit Harus Dihentikan
DPRP Papua Barat Daya dalam RDP di kabupaten Sorong berkomitmen akan mendorong peraturan daerah (Perda) guna melindungi hak-hak masyarakat adat di 5 kabupaten dan 1 kota.
Zeth Kadakolo, anggota DPRP PPBD sekaligus pimpinan RDP di wilayah kabupaten Sorong, mengatakan, pihaknya akan moratorium perusahaan kelapa sawit di kabupaten Sorong guna membuka persoalan yang ditemukan DPRP saat meninjau langsung di lokasi perusahaan. Moratorium sebagai tindak lanjuti hasil temuan tim di lapangan terkait perusahaan sawit yang telah beroperasi salah satunya PT IKSj. Salah satu sorotan utama adalah praktik sewa lahan adat yang sangat tak adil.
“Persoalan yang terjadi, di perusahaan yang beroperasi di lahan masyarakat adat dan masyarakat transmigrasi, mereka yang pemilik sertifikat lahan ini menyewakan lahannya itu satu hektar ratus ribu rupiah per bulan,” ungkap Zeth.
Kadakolo menyebutkan banyak masyarakat adat yang bahkan tak mengetahui luas pasti lahan mereka yang digunakan perusahaan karena tak dilibatkan dalam proses pengukuran.
“Perusahaan menggunakan drone untuk pencitraan, lalu menerbitkan hak guna usaha (HGU) yang kemudian dijadikan jaminan ke bank untuk modal operasional,” kata politisi partai Nasdem.
Lanjut Zeth, masyarakat adat Moi sangat minim dilibatkan dalam operasional perusahaan sawit.
“Tidak ada satu orang Moi yang dilibatkan dalam perusahaan kelapa sawit,” tegasnya.
Temuan paling umum adalah pencemaran limbah cair dari kebocoran tanggul perusahaan kelapa sawit yang mencemari lingkungan sungai Klasof. Dampak dari pencemaran lingkungan, masyarakat setempat berhenti melakukan aktivitas di sungai Klasof.
“Bahkan ada korban yang meninggal di daerah sungai limbah tersebut,” kata Kadakolo.
Sementara itu, Edo Kondologit, anggota DPRP PBD, menyatakan, PSN sawit ini harus dihentikan.
“PSN ini hanya sebagai proyek sengsara nasional. Ini tidak boleh berlaku di provinsi Papua Barat Daya,” ujarnya.
Edo mengungkapkan, DPRP PBD sedang berpikir untuk membuat Perda guna melindungi hak-hak masyarakat adat, selain itu juga untuk lapangan kerja.
“Semua masukan akan diakomodir dalam draf sebelum sahkan Perda yang melindungi hak-hak masyarakat adat,” ujar legislator yang juga artis nasional itu.

Rencana Lumpuhkan Roda Pemerintahan
Masyarakat suku adat Moi meminta pemerintah provinsi PBD segera menyurati PT FSP tentang penolakan permohonan yang diajukan.
Dalam surat yang disampaikan PT FSP, perusahaan mengklaim pembangunan industri pangan terpadu akan menyasar distrik-distrik penting di kabupaten Sorong dan kabupaten Tambrauw sebesar Rp24 Triliun dengan lahan seluas 98.824.97 hektare.
PT FSP dengan luas area sekitar 176.34 hektare sebagai pusat industri pangan dengan konsorium diantaranya:
- PT Inti Kebun Sawit (IKS) dengan luas area 18.425,78 hektare
- PT Inti Kebun Sejahtera (IKSj) dengan luas area 307,91 hektare
- PT Sorong Global Lestari (SGL) dengan luas area 12.115,43 hektare
- PT Omni Makmur Subur (OMS) dengan luas area 40.000,00 hektare
- PT Graha Agrindo Nusantara (GAN) dengan luas area 13.799,51 hektare
Ketua Dewan Adat Klaben, Dance Ulimpa mengatakan, sejak mendapatkan informasi rencana pembangunan industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit sebagai PSN di kabupaten Sorong dan Tambrauw, masyarakat adat Moi mulai melakukan konsolidasi dan melakukan berbagai upaya penolakan PSN.
“Kami pemilik negeri ini. Kami pemilik hutan dan tanah ini akan tetap menolak dan menolak,” ujar Dance.
Meski dua bulan sudah berlalu, belum juga terlihat sikap pemerintah provinsi PBD. Ia menduga Pemprov PBD sengaja membiarkan masyarakat adat berjuang sendiri melawan PSN, padahal masyarakat adat dari 13 distrik yang akan terdampak dari program PSN telah menolaknya.
“Gubernur Papua Barat Daya segera menyurati pihak perusahaan untuk menolak permohonan PSN dari PT Fajar Surya Perkasa Grup. Jangan pemerintah diam dan biarkan kami masyarakat adat sendiri yang melawan investor kelapa sawit ini,” tegasnya.
Ulimpa mempertegas, demi mempertahankan hutan terakhir dan tersisa milik suku Moi, maka masyarakat adat Moi akan menduduki dan melumpuhkan aktivitas pemerintahan di kantor gubernur PBD dan kabupaten Sorong.
“Kami bisa hidup tanpa kelapa sawit, tetapi kami tidak bisa hidup tanpa hutan adat kami. Ini hutan tersisa dan terakhir kami, maka kami siap akan lumpuhkan aktivitas pemerintah demi hutan kami ini. Bambu Tui [pemali] itu kami adat Moi akan tancap di depan kantor gubernur dan kantor bupati,” tandasnya. []