JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pemilih dalam pemilihan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Papua yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat ini berhak mendapatkan informasi yang mencerahkan, bukan informasi negatif. Oleh sebab itu hentikan kampanye negatif yang menyesatkan.
Pernyataan itu disampaikan Hendrik Rewapatara, salah satu akademisi Universitas Cenderawasih kepada Suara Papua pada 2 Juli 2025.
Hendrik mengatakan prihatin dengan beredarnya informasi dan kampanye negatif menjelang tahapan pemungutan ulang ini. Ia menganggap kampanye seperti ini merusak etika politik, tetapi juga mengaburkan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
“Bentuk kampanye seperti ini dianggap tidak hanya merusak etika politik, tetapi juga mengaburkan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang jernih dan relevan demi menentukan pilihan secara rasional,” kata Hendrik.
Menurut Dosen Fakultas Hukum Uncen itu ketika kampanye dipenuhi dengan narasi yang keliru secara hukum, maka nama baik dan demokrasi juga dikorbankan.
“Ketika kampanye dipenuhi oleh narasi yang keliru secara hukum dan menyerang personalitas calon tanpa dasar, maka yang dikorbankan bukan hanya nama baik individu, melainkan kualitas demokrasi itu sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, sejumlah narasi yang beredar belakangan ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mendiskreditkan salah satu calon dengan memanipulasi pemahaman publik terhadap hukum.
Untuk itu, mantan wartawan Suara Papua ini menegaskan pentingnya memperhatikan beberapa prinsip dasar demokrasi. Misalnya kata dia kepastian hukum harus menjadi pijakan bersama.
Proses penetapan calon bukanlah hasil opini publik atau tekanan politik, melainkan kewenangan konstitusional yang dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum . Maka jika meragukan keabsahan calon yang telah ditetapkan KPU, justru berarti meragukan integritas penyelenggara pemilihan umum itu sendiri.
Ia juga menilai pembedaan antara jabatan administratif dan politik harus dipahami secara jernih.
“Menyebarkan pandangan bahwa mantan penjabat kepala daerah tidak layak mencalonkan diri dalam Pilkada menunjukkan pemahaman yang keliru atas sistem ketatanegaraan kita.Penjabat ditugaskan melalui mekanisme administratif, bukan hasil politik elektoral.”
Pengalaman sebagai Aparatur Sipil Negara tidak boleh dijadikan alat delegitimasi. ASN yang ditugaskan menjalankan roda pemerintahan telah melaksanakan amanah negara.
Oleh karenanya, upaya untuk menggiring opini bahwa rekam jejak tersebut otomatis menghalangi hak konstitusional untuk mencalonkan diri adalah bentuk penyederhanaan hukum yang menyesatkan dan tidak proporsional.
“Oleh sebab itu kampanye berbasis hoaks dan pembelokan hukum harus dihentikan. Ketika opini dibangun dari misinformasi, potensi konflik horizontal meningkat, dan kepercayaan terhadap proses demokrasi dapat runtuh. Pemilu bukan ajang saling menjatuhkan, tetapi ruang kontestasi gagasan untuk masa depan Papua,” tukasnya.
Ia lalu mengajak seluruh peserta pemilih untuk meninggalkan cara-cara kampanye yang merusak dan kembali ke esensi demokrasi.
“Adu gagasan, bukan adu fitnah. Peran penting media massa agar berpihak pada pendidikan politik, bukan justru memperkeruh suasana dengan menyebarkan narasi yang belum terverifikasi.”
“Masyarakat Papua berhak mendapatkan informasi yang mencerdaskan, bukan narasi manipulatif yang membingungkan. Demokrasi hanya tumbuh di tanah yang subur oleh etika dan kebenaran.”