GKII Papua: TNI Tidak Perlu Takut untuk Mengakui Penembakan Terhadap Pdt. Zanambani

0
1678

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pdt. Petrus Bonyadone, Ketua Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Papua berharap pelaku penembakan Pdt. Yeremia Zanambani di Intan Jaya sebaiknya mengakui perbuatannya untuk mengakhiri polemik.

Pdt. Bonyadone menjelaskan, gereja [GKII Papua] telah membuat pernyataan dan kronologis berdasarkan keterangan para saksi di lapangan, kemudian meyakini bahwa pelaku penembakan adalah oknum anggota TNI.

“Bahwa kematian sudah terjadi. Sebenarnya kita gereja diajar untuk bisa mengampuni. Kami buat pernyataan mengenai kronologis kejadian dari para saksi, menyatakan bahwa itu 90 persen benar. Pelakunya adalah anggota TNI,” jelas Pdt. Bonyadone seperti dilansir seputarpapua.com, Senin (5/10/2020).

Karena itu, Pdt. Petrus berharap jika memang pelaku dari oknum anggota TNI, maka sebagai seorang prajurit kesatria, mestinya tidak perlu takut untuk mengakui perbuatannya.

Bahkan, kata dia, tidak menutup kemungkinan pelaku dapat diampuni bilamana secara gentelmen menyerahkan diri, kemudian meminta maaf kepada keluarga korban, umat, dan gereja.

ads

“Saya sudah sampaikan bahwa kami disana ada pendeta, mereka akan mendoakan supaya Tuhan mengampuni pelaku. Kalau itu sudah terjadi, saya pikir tidak jadi masalah,” katanya.

Baca Juga:  Walkot Sorong Tegaskan Musrenbang Otsus Bahas Pembangunan Prioritas OAP

Gereja Meragukan TGPF Buatan Mahfud MD

Pdt. Petrus mengungkapkan bahwa pihak gereja [sebenarnya] ada keraguan terhadap independensi tim investigasi bentukan pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD, meski melibatkan beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat.

“Karena banyak dari mereka (aparat negara) yang terlibat dalam tim investigasi itu tanpa melibatkan (seutuhnya), artinya kalau bisa pihak gereja 50 persen,” kata Petrus.

Menurut dia, ketidakpercayaan itu muncul ketika berkaca pada pengalaman lalu-lalu sebut saja peristiwa di Paniai, Nduga, Tolikara dan sebagainya yang tidak secara terbuka mengadili para pelaku.

“Memang kita tidak bisa mengintervensi terlalu jauh, itu hak negara. Tetapi kadang kasusnya hanya panas mula-mula, terus susut di tengah-tengah dan bahkan tidak ada kepastian. Itu kan membuat masyarakat bertanya-tanya,” kata Pdt. Petrus.

Meski begitu, gereja tetap menaruh harapan besar kepada Pdt. Henok Bagau dan seorang perwakilan PGI yang menjadi utusan gereja terlibat dalam tim investigasi tersebut.

Pdt. Henok Bagau, adalah gembala gereja yang berasal dari Suku Moni. Dia juga salah satu penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Moni, yang sebelumnya bersama-sama Almarhum Pdt. Yeremia Zanambani.

Baca Juga:  Sekolah Rakyat Nduga Sikapi 58 Tahun PT FI Ilegal di Tanah Papua

“Selaku orang Moni, dia tahu bahasa masyarakat di sana. Kita harap Pdt. Henok ini yang kemudian mengantar tim ke lapangan untuk berjumpa para saksi. Dengan demikian, maka informasi akurat bisa diperoleh,” kata Petrus.

Klaim TNI Diragukan

Terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, meragukan klaim TNI yang seketika itu langsung menyebut KKSB adalah pelaku.

“Klaim ini lemah kredibilitasnya. Karena tidak didasarkan pada pembuktian awal tentang apa benar itu dilakukan oleh KKSB,” kata Hamid menjawab seputarpapua.com dalam jumpa pers virtual beberapa waktu lalu.

Kemudian, menurut Hamid, pertanggungjawaban pidana atas sebuah pembunuhan bersifat individual, personal. Tidak bisa kemudian tuduhan dilempar begitu saja kepada kelompok siapa pun itu.

“Jadi harus diinvestigasi dengan bukti-bukti yang ilmiah untuk menunjuk siapa persisnya orang melakukan itu. Kalau lebih dari satu orang, apa peran persisnya,” kata dia.

Ia mengatakan, proses hukum atau pembuktian sebenarnya harus didahulukan. Sama halnya ketika anggota TNI ditemukan tewas, maka yang perlu dilakukan adalah mendorong proses penegakan hukum. Bukan kemudian mengambil jalan dengan operasi militer.

Baca Juga:  Kepulauan Marshall Mengubah Suara Ukraina di PBB

“Jadi, sebagai negara hukum maka setiap ada kematian dan pembunuhan harus dilakukan dengan penegakan hukum,” tegasnya.

Idealnya, lanjut Hamid, tidak bisa dan tidak seharusnya kekuatan pertahanan, kekuatan bersenjata negara, itu diturunkan melakukan operasi dalam teritori hukum Indonesia.

“Karena dia akan punya akibat yang tinggi pada kematian di kalangan warga kita sendiri. Padahal, kekuatan pertahanan TNI itu dimaksudkan untuk menghadapi musuh asing,” kata dia

Disamping itu, menurut dia, memang ada berbagai problem di Papua ketika menghadapi kasus-kasus kematian atau pembunuhan diluar proses hukum. Umumnya, yang terjadi adalah lempar tanggungjawab atau perang opini.

“Itu tidak akan menolong, baik itu TNI, pemerintah, atau kita semua, kalau sekedar hanya tuduhan,” katanya.

Dia menggambarkan, ketika Pater John Jonga dan Theo Hesegem mengumumkan hasil investigasi tim kemanusiaan mereka di Nduga, yang diserahkan ke kepolisian lalu kepolisian mengatakan itu laporan separatis.

“Jadi, tendensi semacam ini hanya akan menumpuk masalah kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, tanpa menyediakan kesempatan kepada negara untuk melakukan penegakan hukum,” pungkasnya. (*)

 

SUMBERSeputar Papua
Artikel sebelumnyaOtsus Sudah Mati, Papua Tentukan Pilihan Politik
Artikel berikutnyaTolak TGPF, PAHAM Papua Desak Komnas HAM Bentuk KPP HAM