ArtikelOtsus Sudah Mati, Papua Tentukan Pilihan Politik

Otsus Sudah Mati, Papua Tentukan Pilihan Politik

Oleh: Dago Way)*
)* Penulis adalah peneliti independen di Tanah Papua

Tidak terasa, tahun berganti tahun, dari pemimpin satu ke pemimpin lainnya tetap sama, bahkan semakin kacau. Kita mulai sadar bahwa ternyata kontrak politik yang Indonesia berikan bagi Papua yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sedikit lagi akan berakhir. Selama 19 tahun rakyat bangsa Papua hidup dalam suasana Otsus, namun tidak jelas apa yang dikhususkan bagi rakyat bangsa Papua.

Otsus yang hadir di Tanah Papua untuk memperbaiki dosa-dosa negara ini terbukti gagal. Negara makin menambah dosanya. Operasi militer terus dilakukan di kota-kota, pesisir pantai hingga pelosok kampung di pegunungan. Pembunuhan, perampasan, penganiayaan, penangkapan dan pemenjaraan terhadap rakyat bangsa Papua terus terjadi.

Pembodohan dan pemiskinan struktural terus dilancarkan demi menciptakan ketergantungan sosial. Stigma berbagai bentuk label terus dialamatkan kepada rakyat Papua untuk membunuh karakter agar terus memuji Indonesia sebagai malaikat penyelamat.

Kebebasan pers ditutup rapat, ruang-ruang demokrasi juga dibatasi. Indonesia berusaha keras untuk mengisolasi Papua agar dunia tetap buta dengan kondisi bangsa Papua yang semakin terancam punah ini.

Elit politik nasional maupun daerah berlomba berebut kuasa. Tidak ada satupun yang menunjukkan tekad baik untuk memperhatikan kondisi kehidupan rakyat Papua. Semuanya tampil dengan sikap yang terkesan menaburkan benih-benih dendam kuasa dengan ego yang melebihi batas kewajaran, banyak rakyat kecil turut korban dalam perebutan kuasa ini.

Di akhir senja Otsus ini, seharusnya para elit berefleksi diri atas ketertindasan hidup rakyat Papua selama ini, tetapi yang terjadi saling mempersalahkan. Mereka hanya mempersoalkan dana Otsus yang terbukti tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi kehidupan rakyat bangsa Papua.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Kemana perginya dana Otsus triliunan rupiah yang dikucurkan selama ini?.

Cerita berikut ini mungkin menjadi jawaban atas pertanyaan tadi.

Di suatu sore, ada tiga orang pejabat, mereka dalam kondisi miras berbicara dengan sangat keras. Saya mendekati secara perlahan sambil pegang handphone agar tidak dicurigai. Saya duduk berjarak sekitar 10 meter dan mendengarkan pembicaraan mereka. Secara garis besar seperti dirangkum berikut ini.

“Kami mau menjadi pemimpin di daerah kami, tetapi biayanya sangat mahal. Harus bayar partai dengan uang miliaran rupiah. Biaya kampanye dan urusan sengketa Pilkada juga butuh miliaran rupiah.”

Dari mana uang miliaran itu?.

Uang itu merupakan pinjaman dari para pengusaha yang ingin berinvestasi di daerah; dipinjam oleh orang-orang yang ingin mendapatkan proyek; juga oleh mereka yang ingin menduduki jabatan tertentu setelah menang.

Bagaimana cara kerjanya?.

Semua pinjaman ini dikembalikan sesuai permintaan mereka.

“Mereka yang mau berinvestasi, kita beri izin, mereka yang mau proyek kita kasih, dan mereka yang mau jabatan, kita berikan juga. Dari situ berusaha kembalikan modal plus bunganya dengan cara kerja masing-masing.”

“Belum lagi uang pengamanan bagi TNI dan Polri yang suka mengadu domba situasi. Tidak peduli dengan kondisi alam, sosial budaya, ekonomi dan politik di daerah. Mengapa Jakarta bilang kami korupsi?”

“Biaya demokrasi di negara ini sangat tinggi, dan kami menyanggupi semuanya dengan uang pinjaman ini. Jadi memang, kami berusaha mengembalikan uang yang kami keluarkan plus bunga. Jangan jadikan kami sebagai kambing hitam, karena ini bukan korupsi. Di dunia ini tidak ada orang yang berusaha menjadi miskin, yang ada hanya berlomba menjadi kaya.”

Hak Rakyat Papua Terabaikan

Para elit politik Jakarta maupun daerah berlomba mencuri uang rakyat. Sementara biaya demokrasi yang tinggi di negara ini memberikan peluang bagi para kapitalis mem-backup elit politik tertentu agar mempermudah dalam mengeruk kekayaan alam Papua.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pihak TNI/Polri menjadi anjing penjaga bagi kapitalis maupun pemerintah atas tuntutan keadilan dari rakyat bangsa Papua sambil menciptakan persoalan untuk meminta bagiannya: uang pengamanan.

Para elit politik, para kapitalis dan TNI/Polri saling mengamankan atau menguntungkan satu sama lain. Rakyat Papua tetap diposisikan sebagai korban di segala dimensi kehidupan. Korupsi semakin membudaya, perusahaan semakin menjamur, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terus terjadi dimana-mana.

Aksi protes menuntut keadilan selama ini direspons dengan moncong senjata, disambut dengan rantai borgol, dikurung di dalam terali besi, diberi berbagai bentuk stigma dan dijemput maut. Segala cara dilakukan demi menciptakan trauma sosial agar rakyat bangsa Papua terus tunduk tertindas tanpa mempertanyakan keberadaan diri mereka.

Hak hidup, hak bebas, dan hak milik rakyat bangsa Papua terus dirampok. Namun negara tidak pernah menyadari atas segala dosanya itu. Bahkan di akhir senja kontrak politik ini pun negara hanya mempersoalkan dana otsus triliunan rupiah yang jelas dikorupsi sendiri. Mempertanyakan dana ini hanya sebagai sandiwara politik para aktor yang tangannya berlumuran darah rakyat Papua selama ini.

Dana yang dimakan sendiri itu dipersoalkan agar segala macam persoalan yang diderita oleh rakyat bangsa Papua selama ini dibiarkan begitu saja. Meskipun gejolak politik Papua selama ini bukan lantaran hilangnya dana Otsus, melainkan karena hak-hak rakyat bangsa Papua yang selama ini terus dirampas negara.

Untuk Apa Otsus Jilid II?

Jika negara bersama kaki tangannya berusaha perpanjang Otsus yang terbukti gagal ini berarti rakyat bangsa Papua sudah harus siap punah di tanah leluhurnya sendiri. Bangsa ini akan tinggal cerita bahwa di pulau kaya raya ini pernah hidup (dihuni) oleh bangsa Papua ras Melanesia.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Motifnya jelas bahwa negara ingin mengeruk kekayaan alam Papua sambil memusnahkan rakyat secara perlahan, tetapi pasti.

Selama 54 tahun hidup bersama negara ini atau selama 19 tahun hidup dalam suasana Otsus, setidaknya menjadi pelajaran berharga bagi rakyat bangsa Papua. Menerima produk politik apapun dari negara ini hanya gantung diri. Memperpanjang kontrak politik dengan negara ini sama saja menjual diri. Rakyat bangsa Papua harus memilih jalan lain.

Para elit politik, birokrasi dan tokoh-tokoh serta kepala suku gadungan yang mengatasnamakan rakyat bangsa Papua dan berusaha menerima kontrak politik apapun dari negara ini harus dipandang sebagai musuh bersama rakyat bangsa Papua, karena mereka hanya memperpanjang penderitaan hidup rakyat bangsa Papua.

Kesimpulan

Otsus Jilid I sudah mati sejak kelahirannya. Mati saat mekarnya provinsi Papua Barat bersama sejumlah kabupaten/kota, mati pada saat dibunuhnya pemimpin kharismatik bangsa Papua, Theys Hiyo Eluay, dan sebagainya.

Peristiwa-peristiwa ini terjadi sejak awal diberlakukannya Otsus, belum lagi berbagai macam penderitaan rakyat bangsa Papua selama masa Otsus. Otsus Jilid II mati pada saat munculnya isu di permukaan publik. Para elit politik, elit birokrasi (Jakarta dan daerah), kapitalis dan TNI/Polri menjadi aktor dibaliknya.

Sikap penolakan Otsus Jilid II yang muncul di kalangan rakyat Papua saat ini hanya mempertegas yang sudah ditolak oleh para aktor tadi. Para aktor sudah dan sedang memaksa rakyat Papua untuk terus menolak produk politik atau kontrak politik apapun dari negara ini. Melalui sifat, sikap dan tindakannya terus memaksa rakyat Papua harus menentukan pilihannya sendiri.

Negara harus mendengar pilihan politik yang ditentukan oleh rakyat bangsa Papua. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

0
Kendati sibuk dengan jabatan komisaris BUMN, dunia jurnalistik dan teater tak pernah benar-benar ia tinggalkan. Hingga kini, ia tetap berkontribusi sebagai penulis buku dan penulis artikel di berbagai platform media online.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.