![IMG_20240612_152811](https://ewr1.vultrobjects.com/suarapapuaweb/2024/06/IMG_20240612_152811-696x522.jpg)
SORONG, SUARAPAPUA.com — Pemuda adat se-Tanah Papua mendesak para calon kepala daerah (Cakada) di Tanah Papua agar harus memihak masyarakat adat.
Penegasan ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Konsolidasi 7 Seruan Pemuda Adat di Tanah Papua” yang diselenggarakan di salah satu hotel di kota Sorong, Papua Barat Daya, 10-12 Juni 2024.
Dalam kegiatan diskusi yang difasilitasi Greenpeace Indonesia, perwakilan pemuda adat mengingatkan kepada seluruh figur yang akan bertarung di Pilkada serentak tahun 2024, wajib berpihak pada masyarakat adat.
Roberth Meagi, perwakilan pemuda adat kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, mengungkapkan fakta selama ini masyarakat adat selalu dijadikan objek di saat Pilkada berlangsung.
“Masyarakat adat selalu korban. Pemerintah provinsi dan kabupaten tidak punya komitmen untuk melindungi masyarakat adat,” ujar Roberth.
Dikemukakan, tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat adat di Papua Selatan terbukti dengan gugatan masyarakat adat suku Awyu di Mahkamah Agung (MA) serta berbagai penolakan dari masyarakat adat terhadap perusahaan-perusahaan yang terjadi di beberapa daerah selama ini.
“Investasi kini semakin marak di wilayah Papua Selatan, sementara tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk melindungi hak masyarakat adat,” tuturnya.
Marice Sesa dari kabupaten Fakfak, Papua Barat, menyebutkan kehadiran smelter dan PT Pupuk Kaltim sangat mengancam kehidupan masyarakat adat di kabupaten Fakfak.
“Persoalan masyarakat adat yang terjadi Merauke, Boven Digoel, Sorong, juga sama di Fakfak. Smelter dan PT Pupuk Kaltim menjadi ancaman serius bagi masyarakat adat di sana,” ujar Sesa.
Maestro, pemuda perwakilan Jayapura, provinsi Papua, menyatakan, seringkali masyarakat adat dijadikan objek politik, meski Pasal 18b (ayat) 2 UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat. Nyatanya praktik di lapangan sangat bertolak belakang.
“Banyak janji yang disampaikan kepada masyarakat. Secara ekonomi, masyarakat adat kerap menghadapi masalah terkait kepemilikan lahan dan hak pengelolaan sumber daya alam,” ujarnya.
![](https://ewr1.vultrobjects.com/suarapapuaweb/2024/06/IMG_20240612_182038-scaled.jpg)
Fokus Isu Masyarakat
Feki Wilson Mobalen, ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, menyoroti tiadanya landasan hukum bagi masyarakat adat di Indonesia. Sebab Rancangan Undang-undang (RUU) masyarakat adat yang dari tahun ke tahun diperjuangkan oleh masyarakat adat tak kunjung disahkan.
“Kita ketahui bersama bahwa isu soal pengakuan masyarakat adat selalu dijadikan jualan politik setiap momen politik dan dijanjikan akan diprioritaskan. Termasuk janji presiden Jokowi, tetapi sampai saat ini juga hanya sebatas janji saja tanpa realisasi,” kata Feki.
Selain lahan masyarakat adat yang dirampas pihak korporasi, ia juga menyebut masyarakat menjadi korban kekerasan atas kepentingan korporasi.
“Selain lahan masyarakat yang dirampas secara paksa oleh para korporasi, masyarakat adatnya juga dikriminalisasi,” ungkapnya.
Sebagai salah satu pemateri dalam kegiatan tersebut, Feki tekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Karena upaya menjaga tanah dan hutan bukan semata untuk melindungi sumber kehidupan masyarakat adat, tetapi juga melindungi dunia dari ancaman krisis iklim.
“Hutan Papua menjadi paru-paru dunia dan saat ini mendapatkan ancaman dari korporasi. Sehingga saat ini sangat penting bagi calon kepada daerah baik itu gubernur maupun bupati dan wali kota untuk melihat hal ini,” ujar Mobalen.
Sementara itu, Khalisah Khalid, koordinator Pokja Politik Greenpeace Indonesia, mengatakan, masyarakat adat menjadi bagian dari negara yang selama ini diabaikan. Dalam praktik politik, isu masyarakat adat hanya dijadikan untuk mendulang suara.
“Kepala daerah sebagai garda terdepan dalam pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat, sehingga di ajang Pilkada besok sangat penting untuk calon kepala daerah memastikan hak-hak masyarakat adat dalam visi misi mereka,” ujar Khalid.
Diskusi tersebut tindak lanjut dari deklarasi pemuda adat pada Forest Defender Camp yang diadakan di kampung Manggroholo-Sira, distrik Saifi, kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, 20-22 September 2023. []