Salah satu pemuda suku Mee dengan aksesoris tradisional tampil di tengah kaum perempuan Mee dalam sebuah kegiatan festival budaya Papua di Kaimana, 4 Mei 2014. (johananita.com)
adv
loading...

Oleh: Agus Sumule dan Yusuf Sawaki

)* Dosen Universitas Papua

Pada tanggal 22 Februari 2024, ada berita kematian yang hampir tidak diperhatikan oleh publik di Papua maupun Indonesia pada umumnya. Tidak ada tanda perkabungan, tidak ada pernyataan belasungkawa.

Kantor berita Antara melaporkan, bahwa ada empat bahasa Papua yang telah punah. Telah mati. Hilang. Punah karena penuturnya sudah tidak ada. Sudah tidak ada itu tidak berarti karena mereka semua sudah meninggal dunia. Mereka itu mungkin saja masih ada, tetapi sudah tidak bisa lagi menggunakan bahasa itu, yang sesungguhnya adalah Bahasa Ibu mereka.

Pada saat yang sama hampir tidak ada hasil penelitian dan dokumentasi tertulis mengenai bahasa-bahasa itu, sehingga tidak mungkin lagi dipelajari secara lengkap – termasuk oleh keturunan para penutur bahasa tersebut.

ads

Bahasa-bahasa yang telah almarhum itu adalah: Tandia di Teluk Wondama, Air Matoa di Kaimana, Mapia di Supiori (Kepulauan Mapia dan Kepulauan Ayau di Raja Ampat), dan Mawes di Sarmi. Konon, masih ada sejumlah bahasa lagi yang sementara menuju kepunahan kalau tidak diambil tindakan-tindakan segera, seperti bahasa Dusner di Teluk Wondama, dialek Biak Doreri di Manokwari, bahasa Tobati dan Kayu Pulo di Jayapura.

Baca Juga:  Operasi Militer: Kejahatan HAM dan Genosida di Papua

Mengapa bahasa begitu penting? Mengapa bahasa harus dijaga, harus dipelihara, harus dikembangkan? Salah satu alasannya adalah karena bahasa itu bagian dari kebudayaan. Bahasa identik dengan jati diri dan identitas suatu kaum. Makanya semua bahasa itu indah, setiap bahasa itu unik.

Saya bertanya kepada fasilitas kecerdasan buatan di google tentang mengapa bahasa penting bagi pelestarian kebudayaan. Ini jawaban yang diberikannya:

“Bahasa adalah bagian penting dari budaya dan pewarisan [budaya] …[M]melestarikan Bahasa … memastikan kelanggengan tradisi untuk generasi mendatang. Bahasa merupakan cara berkomunikasi, mengekspresikan identitas budaya, dan mewariskan nilai dan tradisi. … [Bahasa] dapat membantu menumbuhkan perasaan identitas kelompok dan solidaritas. Ketika suatu bahasa hilang, maka sebagian budaya yang diwakilinya juga hilang.”

Untunglah bencana kematian bahasa tidak perlu terus menerus terjadi di Papua. Sudah ada orang-orang baik yang memiliki visi jauh ke depan yang telah, sementara dan terus berupaya mendokumentasikan bahasa-bahasa Papua.

Baca Juga:  Operasi Bibida dan Misi Ekspansi Militer

Mari kita ambil contoh bahasa Mee – bahasa yang dituturkan oleh kurang lebih 100.000 orang penduduk asli yang bermukim di sekitar danau-danau Wissel (Paniai, Tigi dan Tage).

Hingga sekarang sudah ada dua kamus bahasa Mee yang diterbitkan. Yang pertama terbit tahun 1960. Penyusunnya adalah ibu Marion Doble, seorang misionaris perempuan C&MA. Judulnya “Kapauku-Malayan-Dutch-English Dictionary”, diterbitkan oleh M. Nijhoff, Den Haag. Nama Marion ini diberikan oleh bupati Karel Gobay kepada putrinya, usi Marion Gobay, salah seorang anggota MRP yang pertama.

Kamus bahasa Mee yang kedua disusun oleh Steltenpool. Terbit tahun 1969 dengan judul “Ekagi-Dutch-English-Indonesian Dictionary” oleh Martinus Nijhoff, Den Haag, Belanda.

Saya sangat beruntung memiliki kamus-kamus ini. Kamus yang disusun oleh Steltenpool didapat dari pak John NR Gobay, anggota DPRP, lebih dari 10 tahun yang lalu.

Bahasa-bahasa lain juga sudah memiliki kamus. Misalnya, bahasa Yali dialek Apahapsili (Sonja Risberg 2016) telah memiliki kamus Yali-Inggris-Jerman.

Bahasa Meyah juga telah memiliki kamus Meyah-Indonesia. Kamus ini rampung tahun 2019, dikerjakan oleh Nathaniel Mandacan dan Giles Gravelle. Bapak Nathaniel Mandacan adalah mantan Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat.

Baca Juga:  MRP Rusak Ketika Perjuangkan Pemekaran DOB

Selain itu, ada kamus trilingual bahasa Sentani-Indonesia-Inggris yang ditulis oleh bapak Andreas Jefri Deda tahun 2018. Bapak Deda adalah dosen Fakultas Sastra Universitas Papua. Beliau meninggal dunia pada akhir Oktober 2021.

Masih banyak kamus bahasa lain yang sudah diterbitkan.

Ada juga kamus-kamus lain, namun belum diterbitkan, seperti kamus bahasa Mpur yang disusun oleh Boas Wabia. Beliau bekerja di Center for Endangered Languages Documentation, Universitas Papua. Kamus bahasa Wooi disusun oleh Jimmi Kirihio dan Yusuf Sawaki. Ada kamus bahasa Wano yang disusun oleh Wiem Burung. Masih banyak lagi kamus-kamus bahasa Papua yang menunggu untuk diterbitkan.

Untuk bisa menyusun kamus-kamus ini, pasti ahli yang disebutkan di atas harus secara tekun mewawancarai dan atau mencatat kata-kata yang mereka dengar dari para penuturnya. Tidak jarang mereka harus memeragakan arti dari kata-kata itu supaya catatan mereka akurat untuk dianalis lebih jauh. (*)

Artikel sebelumnyaULMWP Sebut Kunjungan Pejabat MSG Ke Papua Melecehkan Harga Diri Bangsa Papua
Artikel berikutnyaSP3 Kasus Teror Bom Terhadap Victor Mambor Dinyatakan Cacat Hukum